AGAMA HINDU
(Sejarah, Ajaran dan
Perkembangannya)
Oleh: Anwarsyah Nur
A. Pendahuluan
Berbicara
masalah agama Hindu, seseorang tidak akan terlepas membicarakan tentang wilayah
India karena India adalah sebagai asal muasal tempat lahirnya agama ini. Namun
, bila ingin memasuki wilayah kajian agama Hindu, seseorang harus sudah
menyiapkan diri untuik memasuki sebuah hutan tidak bertepi. Hal ini disebabkan
dua factor. Pertama, sedemikian
banyaknya gejala-gejala agama yang sulit diuraikan, Kedua, agama Hindu dalam perjalanan sejarahnya telah memasuki
fase-fase dengan cirinya yang sangat beragam antara dirinya sebagai budaya dan
juga ajaran yang datang dari Tuhan. Dalam hal ini sangat menarik uraian Govinda
Das tentang agama ini.
Agama Hindu
sesungguhnya adalah suatu proses antropologis, yang hanya karena nasib saja
diberi nama agama. Demgan berpangkal kepada Kitab Weda yang terkandung di
dalamnya adat istiadat dan gagasan-gagasan dari salah satu atau beberapa suku
bangsa, agama Hindu terus bergulir di sepanjang abad hingga kini, bagaikan bola
salju yang semakin besar karena menyerap adat istiadat dan gagasan bangsa yang
dijumpai di dalam dirinya. Tidak ada suatupun yang ditolak. Ia meliputi
sesuatu. Setiap gagasan tumbuh subur di dalamnya. Ia memiliki aspek rohani dan
jasmani yang berlaku untuk umum maupun individual saja. Subjektif maupun objektif,
yang rasional dan irrasional, yang murni dan tidak murni. Agama Hindu diibaratkan sebagi sebuah tubuh yang sangat besar
yang memiliki segi banyak sekali tanpa teratur. Satu bagi hal-hal yang praktis
dan yang lain untuk hal-hal yang melulu bersifat pertapaan, dan yang lain untuk
yang nafsani, dan bagi yang lain bersifat falsafah dan subjektif.[1]
Dengan kenyataan pernyataan di atas
bukan berarti kita harus menghindar untuk membicarakan agama Hindu yang dianut
sejumlah anak manusia di permukaan bumi ini. Untuk itulah dalam poin-poin atau
sub-bab berikut akan kita bahas hal-hal yang mendasar yang menyangkut agama
Hindu ini.
Karena
bagaimanapun juga sebagai agama tertua dan dianut oleh banyak penganut terutama
di anak benua India sampai saat ini perlu menjadi perhatian untuk didiskusikan.
Di samping itu juga agama Hindu pernah masuk ke Nusantara dan menjadi agama
terbesar di zaman Kerajaan Mojopahit dan zaman Kerajaan Singosari dan lain lain
sebelum agama Islam masuk ke Indonesia. Terbukti banyaknya
peninggalan-peninggalan berupa candi-candi yang sampai saat ini masih eksis di
Indonesia. Bahkan para penganutnya yang setia ketika agama Islam masuk ke
Nusantara, mereka tetap mempertahankan keyakinan mereka hingga kini seperti
Suku Bali di Propinsi Bali dan Suku Tengger di sekitar Pegunungan Bromo Jawa
Timur.
Hal
inilah yang menjadi daya tarik penulis untuk membahas sekilas tentang Agama
Hindu yang cukup unik dan penuh dengan nuansa kebudayaan para penganutnya. Hal
yang penting adalah bahwa penganut agama lain harus memberikan appresiasi
terhadap agama Hindu ini karena agama ini telah banyak memberikan kontribusinya terhadap perkembangan agama
lain juga terhadap perkembangan kebudayaan
para penganutnya maupun orang-orang lain di sekitarnya. Perbedaan itu
memang indah apabila setiap penganut agama yang berbeda mau saling hormat
menghormati ajaran agama lainnya.
B. Sejarah dan Asal Muasal.
Agama
Hindu berkembang sejak 1500 S.M. (B.C) bersamaan dengan masuknya suku bangsa
Arya (Indo German) ke India Utara. Mereka mula-mula menduduki daerah Sungai
Indus, yang kemudian bercampur dengan penduduk asli yang terdiri dari suku bangsa
Dravida dan suku-suku lain yang berdiam di India utara. Kepercayaan bangsa Arya
yang berpadu dengan kepercayaan penduduk asli menjadi semacam sinkretisme yang
kemudian membentuk agama Hindu. Teori-teori kegamaan yang kemudian timbul dari
agama tersebut juga menggambarkan pengaruh kebudayaan bangsa Arya dan penduduk
asli India Utara itu.
Dengan kata lain konsepsi-konsepsi
kebudayaan yang dibawa oleh bangsa Arya dalam bentuk kepercayaan terhadap
dewa-dewa alam yang banyak dipengaruhi oleh kebudayaan Yunani itu mengalami
peleburan atau sinkretisme dengan kebudayaan asli yang berisi kepercayaan
tentang hal-hal gaibyang berbentuk animisme, dynamisme serta fetisysme
disamping pemujaan kepada naga, peri dan sebagainya.
Ternyata di kemudian hari
masing-masing anasir dari kedua kebudayaan tersebut, tetap dipertahankan dalam
agama Hindu India. Akan tetapi anasir agama
dalam Hinduisme ini selalu berkembang menurut tarap perkembangan
kebudayaan masyarakat Hindu pada masa-masa selajutnya, sehingga periode permulaan
perkembangannya berbeda dibanding dengan tarap perkembangan lebih lanjut
setelah Buddisme muncul dan berkembang.[2]
Dengan demikian maka tampaklah
perbedaan yang menonjol antara agama
Hindu permulaan (yang biasa disebut dengan Hindu Wedha) dengan agama Hindu
setelah berkembang (yakni agama Hindu setelah berkembangnya Buddisme).
Perbedaan tersebut tampak dalam hal-hal sebagai berikut:
- Agama Hindu Wedha tidak mengutamakan pemujaan kepada patung-patung dewa, tetapi lebih mementingkan cara-cara berkorban kepada dewa-dewa, membuat mantera-mantera dan menggunakannya, serta ,mementingkan upacara-upacara (rites and ritual). Jumlah dewa yang dipuja ditetapkan sesuai dengan yang tersebut dalam kita suci Wedha.
- Agama Hindu sesudah munculnya Buddisme mengalami perkembangan dengan mementingkan pemujaaan patung-patung dewa. Jumlah dewa bertambah sehingga masing-masing golongan atau orang terutama golongan Brahmana memuja patung-patung dewa sendiri. Misalnya dewa-dewa rumah tangga yang terdapat dalam masing-masing rumah dipuja sebagai “dewa-dewa kula” (Kuladevata), sedangkan dewa-dewa pelindung perseorangan yang juga dipuja di setiap rumah dinamakan “Ishtadevata”
Dengan
memperhatikan banyaknya dewa-dewa yang harus dipuja itu maka nyatalah bahwa
dalam masyarakat Hinduisme pada masa itu, masalah upacara keagamaan menjadi
tgas pokok sehari-hari yang tidak boleh ditinggalkan. Oleh sebab itu Hinduisme
pada akhirnya dibedakan dalam dua pengertian sebagai berikut:
a).
Hinduisme Tua (agama Hindu Wedha) mengajarkan segala buah pikiran serta
kebiasaan bangsa Hindu yang bercorak keagamaan menurut kitab Wedha dan kitab
Brahma.
b).
Hinduisme setelah Buddisme, mengandung pengertian segala kebiasaan dan buah
pikiran bangsa Hindu yang berdasarkan atas kebudayaan bangsa Hindu. Pengertian
kedua ini lebih luas lagi, sebab memasukkan ke dalamnya anasir kebudayaan
selain Hinduisme.[3]
Seperti yang telah disebutkan
sebelumnya bahwa agama Hindu lahir dan berkembang untuk pertama kalinya di
India, dan oleh orang pribumi sendiri agama ini disebut juga Sanata Dharma, agama yang kekal.
Penamaan ini seakan-akan telah menyatakan keyakinan umat Hindu agama ini
sebenarnya tidak pernah terikat dengan waktu dan zaman. Agama berada bersamaan
dengan bermulanya kehidupan manusia, sebab agama adalah makanan rohani. Di
samping Sanata Dharma, agama ini juga
disebut Waidika Dharma, agama Wedha.
Dengan ungkapan ini dinyatakan bahwa Kitab Wedha adalah kitab suci agama Hindu.[4]
Nama Hindu yang kini lazim digunakan
termasuk kalangan dunia ilmu, sebenarnya nama asing bagi Hindu itu sendiri,
sebab nama itu dipopulerkan oleh orang yang buka Hindu. Nama itu diberikan
kepada sekelompok masyarakat yang memiliki agama dan tradisi Dharma. Ajaran
Dharma itu sendiri pada mulanya berasal dari lembah sungai Indus (Shindu),
yakni salah satu sungai terbesar di Pakistan (dahulu masih bersatu dengan
India). Ajaran Dharma itu dikenal dengan Indus
Culture atau kebudayaan lembah sungai Shindu (Indus). Di dalam pengucapan,
perubahan lafal “S” ke “H” mempemngaruhi ejaan Shindu menjadi Hindu yang
kemudian dikenal sekarang.[5]
Setiap agama mempunyai tujuan, dan
bagi agama Hindu tujuan agama itu dapat dirumuskan secara garis besar kepada
dua: Pertama, untuk mencapai
kebahagiaan dunia yang disebut jagad hita. Jagad bermakna dunia, dan hita,
bermakna baik. Jagad hita berarti kebaikan di dunia. Kedua, untuk mencapai
kebahagiaan rohani atau batin yang disebut Moksa,
satu keadaan mental dan rohani dimana tujuan pokok dari kehidupan rohani
dapat dicapai atau direalisir, satu kegembiraan keadaan batin dimana keadaan
bahagia benar-benar dirasakan.
Tujuan ini sering diungkapkan dalam
suatu kalimat berupa formula dalam bahasa Sanskerta yaitu:
Moksartham
Jagadhita ya ea iti Dharma, tujuan agama adalah untuk mencapai jagadhita (kesejahteraan jasmani/dunia)
dan moksa (kelepasan, kehormatan atau
ketenteraman batin).[6]
C. Kitab Suci.
Agama
Hindu Wedha termasuk agama tertua yang usianya sejajar dengan agama-agama kuno
lainnya seperti agama Babilonia, Agama
Mesir Kuno atau agama Yunani Kuno. Kelahiran agama Hindu hampir bersamaan
waktunya dengan agama Persia Kuno. Meskipun termasuk agama kuno, Hinduisme
mempunyai ajaran keagamaan yang tertulis dalam kitab-kitab sucinya disebut “Wedha”. Kitab suci tersebut ditulis
sejak masa masa permulaan secara bertahap. Penulisnya tidak dikenal sampai
sekarang, tetapi ada dugaaan keras bahwa para penulis Wedha ialah para Reshi
dari zaman ke zaman yang tidak dikenal. Keadaan demikian ada hubungannya dengan
pandangan tradisional masyarakat Hindu bahwa kitab suci adalah milik
masyarakat. Oleh karenanya penulisnya tidak perlu dicantumkan.
Kitab yang tertua adalah Reg Wedha yang diduga bukan berasal
dari India, yakni berisi kumpulan nyanyian-nyanyian suci untuk pemujaan
dewa-dewa yang disebut Samhita.
Kitab lainnya ialah Yajur Wedha yang berisi rumus-rumus upacara korban dewa.
Sama dengan kitab Wedha yang berisi melodi-melodi atau hymne-hymne yang
dinyanyikan oleh para pendeta yang bertugas dalam uapacara pemujaan dan korban.
Terakhir adalah Atharwa Wedha, sebuah kita
yang termuda usianya dan berisi rumusan matra yang mengandung kekuatan gaib
yang baik dan yang jahat. Kemudian masih terdapat lagi kitab-kitab agama yang
timbul setelah kitab-kitab suci tersebut.corak dan isinya terpengaruh oleh
Wedha yang berkembang sampai mencapai masa 300 tahun S.M. misalnya kitab
Brahmana, kitab Purana, kitab Bagavad Gita, kitab Upanisad dan sebagainya.[7]
D. Konsepsi Ketuhanan dalam Ajaran Agama
Hindu.
Konsepsi
ketuhanan dalam ajaran agama Hindu dapat dijelaskan secara garis besar sebagai
berikut:
- Agama Hindu Wedha (Hindu lama sebelum berkembannya Buddisme) mempunyai konsepsi ketuhanan yang bersifat polytheisme yang dimanifestasikan dalam jumlah dewa-dewa yang disebut dalam kitab-kitab Wedha sebanyak 32 dewa. Jumlah 32 dewa tersebut memiliki fungsi masing-masing dalam hubungannya dengan kehidupan manusia. Dewa-dewa tersebut dipandang sebagai tokoh simbolis dari satu dewa utama yakni Brahma. Nama-nama dewa yang disebutkan dalam kitab suci Wedha antara lain sebagai berikut:
- Dyaus Pitar sebagai dewa matahari, sama dengan dewa Mitra atau Surya dalam agama Hindu lama. Nama dewa Dyaus Pitar berasal dari dewa Yunani Kuno bernama Zeus yang dibawa oleh bangsa Arya (Indo German) ke dalam Hinduisme ini.
- Vairuna sebagai dewa air, yang menurut Hindu lama disebut Varuna sebagai dewa laut.
- Indra sebagai dewa perang, yaitu sebagai dewa pelindung bangsa Arya dalam peperangan-peperanganmelawan suku-suku bangsa lain. Kemudian dewa Indra ini dianggap sebagai dewa hujan yang dapat mengalahkan naga Wertra yang mengisap air hujan di langit tinggi.
- Yama sebagai dewa maut, yang mengingatkan kita kepada nama dewa Yamadipati dalam cerita-cerita wayang Jawa.
- Rudra sebagai dewa badai topan atau dewa yang mengejutkan dengan suaranya yang menggelegar.
- Vayu sebagai dewa angina yang disebut juga dewa Bayu.
- Soma sebagai dewa air soma (minuman yang digunakan dalam upacara korban soma yang memabukkan) yang kemudian dipandang sebagai dewa bulan.
- Agni sebagai dewa api, yang dipandang sangat penting pada zaman Wedha ini. Dalam upacara-upacara dewa ini dianggap sebagai pengantar dewa-dewa dalam mengabulkan doa dan mantra-mantra.
- Perjaniya sebagai dewa awan dan pembawa hujan disertai petir dan kilat.
- Asvin adalah pasangan dewa yang pada zaman Wedha ini belum mempunyai fungsi tertentu.
- Brahma sebagai dewa pencipta alam yang dianggap sebagai dewa yang paling tinggi, yang Esa pada masa kemudian.
- Wisnu sebagai dewa yang pada saat itu belum diberi kedudukan atau tugas tertentu. Baru di kemudian hari dipandang sebagai dewa pemeliharaan alam ini.[8]
- Upacara-upacara dan korban-korban yang Wajib Dilakukan.
Upacara-upacara/korban-korban ditetapkan dalam kitab-kitab pedoman agama
Hindu yakni kitab Sutra sebagai tafsir dari kitab Brahmana yang terdiri dari
dua jenis kitab sebagai berikut: Pertama, Srautra Sutra, berisi petunjuk-petunjuk tentang
upacara-upacara/korban-korban yang wajib dikerjakan oleh raja-raja yang yang
dibagi menjadi tiga macam: 1). Raja
Surya yaitu upacara dalam pelantikan raja naik tahta. 2). Aswameda yaitu korban hewan kuda yang
harus dilakukan raja s`ekali setahun sebagai tanda kebesaran raja yang dise`but
dengan Maharaja. 3). Perushameda yaitu
korban menunda yang diberikan oleh raja (yang kemudian sudah dihapuskan). Kedua,
Gerha-Sutra, ialah tatacara/korban
untuk setiap kepala keluarga yang terdi`ri dari pada: 1). Nitya, yaitu korban wajib dilakukan setiap hari oleh kepala
keluarga terhadap roh-roh nenek moyang (pitara). 2). Naimittika, ialah korban yang hanya dilakukan sekjali seumur hidup.
Korban yang demikian ini ada hubungannya dengan periode hidup manusia
(samskara) misalnya pada saat kelahiran, pemberian nama, makan nasi yang
pertama, memotong rambut pertama dsb. 3). Upanayana,
ialah upacara memasuki kasta dengan pemberian upavita (tali kasta) pada umur 8-12 tahun, setelah itu datanglah
upacara perkawinan dan sebagai penutup upacara ialah upacara kematian yang
berupa pembakaran mayat.
E. Perkembangan Agama Hindu Setelah
Buddisme.
Konsepsi Hinduisme sesudah Buddisme
mengalami perkembangan yang luas sekali, sehingga banyak hal-hal yang telah
dijadikan pedoman dalam kitab Wedha mengalami perubahan-perubahan dan
penambahan-penambahan atau pengurangan-pengurangan. Misalnya dalam konsepsi
ketuhanan yang sebelumnya tidak dikenal adanya dewa Trimurti yaitu rangkaian 3
tokoh dewa yang berkuasa atas alam semesta, maka dalam Hinduisme ini timbul
filsafat Trimurti tersebut.
Setelah munculnya aliran Vedanta,
dewa Trimurti tersebut dipandang sebagai penggambaran dari kekuasaan yang Esa
yaitu Brahman. Menurut rumusan dari Hindu Dharma dewa-dewa Trimurti itu adalah
manifestasi dari sifat dan kekuasaan Sang Hyang Widi Wasa, Tuhan Yang
Maha Esa.
Mengenai konsepsi Hinduisme tentang
masyarakat ada empat tingkatan atau golongan kasta dimana satu sama lainnya
tidak bolh bergaul dengan kasta lainnya. Empat kasta tersebut adalah: Brahmana
(Para Pendeta/Imam), Ksatrya (yang Memegang Pemerintahan), Waisya (Para
Pekerja) dan Sudra (Rakyat Jelata).
Dengan perbedaan kasta dan golongan
inilah kemudian merupakan salah satu munculnya agama Budha yamg mengajarkan
tentang persamaan hidup dalam masyarakat dan tidak memiliki tingkat atau
golongan maupun kasta dalam masyarakatnya yang kemudian agama Budha menjadi
pembaharu keadaan ini dalam agama Hindu.
F. Sekte-Sekte dalam Agama Hindu.
Seperti
halnya agama-agama besar lainnya, maka dalam agama Hindupun terdapat
aliran-aliran atau sekte-sekte yang masing-masing mempunyai konsepsi maupun
ajaran-ajaran tersendiri. Namun dalam makalah singkat ini tidak dibahas secara
rinci sekte-sekte yang ada dalam agama Hindu.
Sekte-sekte
itu antara lain seperti; Vendata, Sankya, Yoga, Jainisme, Vaisnawa, Siwaismae
(Saiva), Brahmaisme, Tantrisme (Tantrayana), dan terakhir adalah agama Hindu
Bali (Hindu Dharma). Dalam hal ini penulis akan membahas sekilas tentang Agama
Hindu Dharma yang banyak dianut oleh suku Bali di Indonesia. Hal ini menarik
karena Pulau Bali atau disebut juga Pulau Dewata dimana mayoritas suku Bali
adalah pemeluk agama Hindu.[9]
G. Agama Hindu Bali (Hindu Dharma).
Aliran agama Hindu Dharma ini nampak
merupakan syicritisme antara faham animisme setempat dengan Hinduisme India,
dan antara Siwaisme dan Budhisme yang telah mengalami proses rohaniah tipe
Jawa. Prinsip-prinsip Hinduisme-Budhisme tetap dipertahankan dalam agama ini,
sehingga dewa-dewa yang dipujanya pun berpusat pada Trimurti atau Trisakti
yaitu Brahma, Wisnu dan Siwa.
Disamping itu masih ada dewa-dewa
yang dipuja secara insidentil misalnya, dewa Ganesha sebagai lambang ilmu
pengetahuan, dewa Kama dan Ratih, dewa lambang cinta kasih; dewa Bregu sebagai
dewa sambung ayam, dewa Skanda sebagai dewa perang, dewa Kuwera sebagai dewa
kekayaan dan Bayu sebagai dewa angin dan sebagainya.
Dewa yang dijadikan titik lingkaran
pemujaan dalam Hindu Dharma ini adalah Siwa. Dewa inilah yang sangat ditakuti
oleh mereka karena dapat menghancurkan jalan hidup manusia serta alam
sekitarnya. Dewa ini pula bilamana banyak dilalaikan orang akan dapat
menimbulkan kemarahannya sehingga dapat merusak manusia serta alam pulau Bali
khususnya.
Tetapi disamping membahayakan hidup
dewa tersebut juga memberikan kesuburan tanah Bali. Jadi ia dipandang sebagai
tokoh dewa yang memiliki kekuatan yang berlawanan dalam satu pribadi. Kekuatan
tersebut tergambar dalam penjelmaan-penjelmaannya yang 3 macam bentuknya yaitu
sebagai mahakala atau rudra, sebagai mahaguru dan sebagai mahadewa.
Untuk menghin darihal-hal yang tidak
diinginkan, masyarakat Bali senantiasa mengadakan upacara-upacara untuknya. Dalam
upacara pemujaan dewa-dewa Hindu Dharma terdapat beberapa macam yajnya (korban).
Disamping yajnya kecil dalam tiap keluarga dan dalam proses perkembangan
hidupnya. Adapun yajnya besar untuk menjaga alam semesta ini agar tidak hancur,
maka terdapat yajnya sebagai berikut:
BUTTA
YAJNYA yaitu korban-korban kepada makhluk halus/dewa penjaga alam, yang
mendiami 11 penjuru angin. Butta yajnya tersebut dilakukan dalam 3 macam bentuk
upacara korban ialah:
1.
Tawur agung, yaitu korban yang
dilaksanakan dalam satu tahun
sekali.
2.
Tawur panca wali karma, yaitu upacara
korban yang dilakukan dalam setiap 10 tahun sekali.
3.
Tawur eka dasa rudra, yaitu upacara
korban yang diadakan setiap 100 tahun sekali.
Adapun
upacara yang paling utama ialah:
Tawur agung eka dasa rudra karena
upacara ini merupakan usaha mencari keselamatan hidup di samping pengakuan
dosa-dosa manusia selama 100 tahun.
Arti kata
upacara tawur ini ialah:
- Tawur berarti: pembayaran, penebusan atau pembersihan.
- Agung berarti besar-besaran. Eka dasa: seratus, dan Rudra adalah makhluk halus/penjaga mata angin/alam. Rudra adalah manifestasi dari Siwa dalam kroda (kemarahan). Tempat upacara dilakukan sebuah pusat kuil pemujaan Hindu Dharma di lereng gunung Agung (tempat bersemayam dewa-dewa Hindu) yang bernama Pura Besakih.
Tujuan upacara tawur tersebut menurut kepercayaan Hindu ini ialah untuk
mengadakan introspeksi terhadap segala perbuatan rakyat Bali yang dalam tingkah
laku sehari-hari lepas dari kesalahan serta noda-noda hidup; juga di samping itu
timbullah pengharapan (prospeksi) untuk memperoleh keselamatan hidup di bawah
perlindungan dewa siwa (sang hyang
widiwasa).
Disadari bahwa dalam tingkah
laku hidup sehari-hari terdapat kesalahan dan noda ataupun kebaikan-kebaikan,
baik disadari maupun yang tidak disadari, dimana di dalamnya terjadi
karma-karma (sebab akibat). Karma-karma itulah yang memberi pengaruh pada pulau
bali khususnya. Pengaruh-pengaruh tersebut menimbulkan durmanggala serta durnimita (kejadian-kejadian
yang tidak diharapkan), misalnya gunung meletus, peperangan, gempa bumi dan
sebagainya. Jadi noda-noda yang menyebabkan durmanggala itu dapat menjadi
gangguan dan penghalang bagi kehidupan rakyat dan bumi Bali, yang perlu segera
dibersihkan supaya kembali kepada fungsi sewajarnya.
Pada tahun Saka 1900 pulau Bali
pernah mengalami durnimita berupa peperangan antara raja-raja, disusul dengan
perang dengan Belanda, Jepang, perang revolusi. Gempa besar terjadi pada tahun
1917 dan gunung Batur meletus tahun 1026 dan sebagainya. Kesemuanya itu menurut
kepercayaan Hindu ini adalah karena belum pernah dilaksanakannya kewajiban
upacara tawur agung eka dasarudra itu
sehingga dewa-dewa/makhluk-makhluk halus tidak lagi dapat diatur oleh sang hyang widiwasa.
Dengan 11 macam korban-korban yang
berupa binatang seperti monyet, babi, kerbau dan sebagainya diharapkan sang hyang widiwasa dangan kekuasaannya
mengembalikan susunan alam menjadi wajar dan harmonis kembali. Sedang kepada
butta (makhluk-makhluk halus) diberi saji-sajian sesuai dengan ketentuan yang
berlaku, agar mereka kembali kepada keadaan serta tempat yang wajar dalam ala
mini. Akhirnya alam ini dapat menjadi tentram sejahtera sesuai dengan harapan
manusia.
Upacara tawur agung tersebut pernah
diadakan selama 40 hari dari tanggal 3 maret sampai 20 april 1963 yang diatur
oleh pemerintah daerah Propinsi Bali.
Adapun upacara yang bersifat perseorangan,
Upacara Ngaben adalah upacara pembakaran jenazah. Biasanya diadakan sesuai
dengan kemampuan warga sipeninggal. Kadang-kadang dilakukan dengan biaya besar
bagi keluarga raja-raja selama beberapa hari yang dipimpin oleh pendeta-pendeta
(pedanda) dengan didahului upacara penjemputan roh orang yang telah meninggal
dengan menggunakan panah sakti dari pedanda disertai dengan mantera-mantera
ajaibnya. Roh lalu ditaruh dalam belanga yang disucikan jenazah keudian diatur
didalam suatu tempat pembakaran (kreamatorium) yang biasanya berbentuk “meru” (
semacam menara yang beratap banyak takgenap). Setelah selesai dibakar, kemudian
abunya dilarung, yakni dibuang dan ditaburkan di lautan. Di India, abu jenazah
seperti itu hanya ditaburkan di sungai Gangga, karena sungai tersebut dipandang
suci.
Pada prinsipnya pembakaran jenazah
tersebut timbul karena adanya kepercayaan bahwa mayat dipandang kotor dan
najis, yang harus dibuang jauh-jauh agar tidak mengotori bumi. Kepercayaan
demikian itu sama dengan apa yang terdapat dalam agama Zarathustra.
Setiap upacara Hindu Dharma selalu
dilayani 2 orang pendeta/pedanda yaitu pedanda Siwa dan Budha dengan
mantera-manteranya masing-masing yang ditujukan kepada dewa-dewa. Hal ini
membuktikan Siwaisme menjadi satu dengan Budhisme di mana di India hal tersebut
tak pernah terjadi.
1) Konsepsi ke Tuhanan dalam Hindu Dharma.
Menurut rumusan yang diuraikan dalam
buku “Upadesa,” kepercayaan Hindu Dharma kepada Tuhan tidak boleh disebut polytheisme
(faham banyak tuhan), akan tetapi sebaliknya agama tersebut adalah monotheisme
(faham tuhan esa).
Petunjuk untuk kepercayaan monotheisme
tersebut adalah sabda kitab Wedha yang berbunyi : “ekam eva adwityam Brahman”, yang artinya: “hanya satu tiada duanya
yaitu Brahman (sang hyang widhi)
itu”.
Juga disebut di dalam kitab Wedha Sanggraha
sebagai berikut: “eka narayanad na
dwitya’sti kaccit” yang berarti “hanya satu tuhan sama sekali tiada
duanya”.
Meskipun Tuhan hanya satu, akan
tetapi dapat dimanifestasikan dalam bermacam-macam nama menurut sifat kekuasaan
yang ada padanya. Bila dilihat dari fungsinya sang hyang widhi itu dapat disebut dengan nama utama dalam Trisakti
yaitu Brahma sebagai sebutan sang hyang
widhi dalam funksinya sebagai pelindung, sedang Siwa adalah sebutan sang hyang widhi dalam funksinya sebagai
pelebur dunia beserta isinya.
Dalilnya
adalah “ekam sat wiprah bahuda wadanti”
yang artinya: hanya satu sang hyang widhi,
hanya orang yang bijaksana saja menyebutkan dengan banyak nama.
Semboyannya adalah “bhineka tunggal ika, tan hana dharma
mengrwa” yang berarti bahwa: berbeda-beda tetapi satu, tidak ada dharma
yang dua.
2) Kepercayaan Mutlak Hindu Dharma.
Adapun
sistem kepercayaan dalam Hindu Dharma adalah yang disebut “panca sradha”. Arti kata “panca” adalah lima, dan “sradha” adalah
kepercayaan. Pancasradha adalah sama dengan rukun iman Hindu, yang terdriri
dari lima keimanan sbb:
1). Percaya
kepada adanya sang hyang widhi( tuhan Y.M.E.).
2). Percaya
adanya atma ( roch leluhur).
3). Percaya
adanya hukum karma phala (sebab akibat).
4). Percaya
adanya samsara ( punarbhawa : menjelma berkali-kali).
5). Percaya
adanya moksha (kelepasan dari samsara).
Kepercayaan dalam pancasradha
tersebut diajarkan oleh reshi sri
dharmakerti.
Dalam ucapan doa dan upacara agama
senantiasa dimulai dengan kata suci “OM”, yang berasal dari A: simbol brahma;
U. adalah simbol Wisnu ; dan M. adalah simbol Siwa, lalu diucapkan dengan suara
“AUM” atau “OM”. Oleh karena itu ucapan salam Hindu berbunyi “OM SWASTYASTU”
(semoga selamat atasmu), maka jawabannya adalah kata-kata “SHANTI, SHANTI,
SHANTI, OM” (damai, damai, damai, semoga). Demikian juga ucapan “OM
AWIGNAMASTU; OM DIRGHAYURASTU”: semoga tak ada halangan dan semoga panjang
umur.[10]
H. Penutup.
Demikian sekilas tentang agama Hindu
yang lahir di anak benua India kemudian menyebar ke seluruh dunia hingga kini.
Sebagai agama yang bernuansa kebudayaan serta syncretisme dari berbagai
kepercayaan dari para pemeluknya merupakan ciri khas agama ini. Sebagai salah
satu agama yang besar di dunia, agama Hindu telah memberikan kontribusinya
dalam meningkatkan perkembangan sosial para pemeluknya di seluruh dunia.
Setelah berkembangnya agama Budha kemudian, terjadi perubahan-perubahan atau
reformasi dalam agama Hindu dimana membuat para pemeluknya semakin gigih
menyebarkan ajaran Hinduism ke seluruh dunia. Sama halnya dengan agama-agama
besar lainnya, agama ini juga memilki banyak sekte-sekte dan salah satunya
adalah Agama Hindu yang dianut mayoritas Suku Bali di Pulau Dewata atau Pulau
Bali yakni salah satu Tourist Resort
yang terkenal di dunia. Bahkan ketika penulis kuliah Short Course di Amerika tahun 2006,[11]
orang-orang di Amerika lebih mengenal Bali ketimbang Indonesia, padahal Pulau
Bali adalah salah satu pulau atau Propinsi yang ada di Nusantara.
BOBLIOGRAFI
Arifin
H. M. 1981. Belajar Memahami Ajaran
Agama-Agama Besar, Jakarta: CV. Sera Jaya.
Das Govinda, 1924. Hinduism,
Madras India: Madras Publisher.
Departemen
Agama RI, tt, Tata Cara Peribadatan dalam
Agama Hindu, Jakarta: Depag RI.
Hadiwijono
Harun, 1975. Agama Hindu dan Budha,
Jakarta. BPK Gunung Mulia.
Harahap
Syahrin, 1994. Sejarah Agama Agama,
Medan: Pustaka Widya Sarana.
Joesoef
Sou’yb, 1993. Agama-Agama Besar di Dunia,
Jakarta: Pustaka Alhusna.
Pudja Gede MA, 1977. Teologi
Hindu, Jakarta: Penerbit Mayasari.
Pudja Gede. MA, 1984. Sradda,
Jakarta: Penerbit Mayasari.
Trevor
Ling, 1982. A History of Religions East
and West, London: Macmillan Press.
[1]
Lihat, Govinda Das, Hinduism (Madras,
Madras Pub, 1924), h. 45. Lihat juga Hadiwijono. Harun, Agama Hindu dan Budha
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1975), h. 11-12.
[2]Lihat,
H. M. Arifin, Belajar Memahami Ajaran
Agama-Agama Besar (Jakarta: CV. Sera Jaya, 1981), h. 46.
[3]Ibid., h. 47
[4]Lihat,
Pudja G., MA., Sraddha (Jakarta: Mayasari, 1984), h. 4.
[5]Ibid.
[6]Ibid.,
h. 4-5. Tujuan itu disebut juga dalam
Upaniad: Moksa Artha Jagadhita Yacca Iti
Dharma.
[7]
H.M. Arifin, Op-Cit., h. 47. Lihat
juga, Hadiwijono, Op. Cit., h. 12
[8]
Pudja, Op. Cit., h. 31
[9]
Hadiwijono, Op. Cit., h. 18. Lihat juga, Joesoef Sou’yb, Agama Agama Besar
Di Dunia (Jakarta: Pustaka Alhusna, 1993), 26-35.
[10]
Lihat, Departemen Agama RI. Tatacara
Peribadatan ( Jakarta: Depag RI,
tt), h. 151-4.
[11]
Penulis pernah mendapat beasiswa untuk mengikuti short course selama 6 bulan di Amerika Serikat pada tahun 2006. Bea
siswa diberikan oleh the US State Department untuk memperdalam TESOL (Teaching/Teachers of English to Speakers
of Other Languages) di Florida,
Maryland dan Washinton DC.