Sabtu, 07 April 2012

Islam dan Ketatanegaraan Dalam Perspektif Munawir Sjadzali


  ISLAM DAN KETATANEGARAAN DALAM
PERSPEKTIF MUNAWIR SJADZALI

Oleh: Anwarsyah Nur[1]

Abstrak

Dalam perspektif Munawir Sjadzali Islam memiliki seperangkat prinsip dan tata nilai etika bagi kehidupan bermasyarakat dan bernegara seperti yang ditemukan dalam Alquran, yang memiliki kelenturan dalam pelaksanaan dan penerapannya dengan memperhatikan perbedaan situasi dan kondisi antara satu zaman dengan zaman lain serta antara satu budaya dengan budaya lain. Islam tidak pernah menentukan suatu bentuk yang baku dalam pembentukan sebuah negara, artinya sejak Rasul menjadi Kepala Negara di Negara Islam pertama yang berpusat di Madinah, Rasul tidak pernah menentukan bentuk sebuah Negara Islam, apakah harus berbentuk teokrasi, monarki, republik atau bentuk lainnya, begitu juga pandangan pemikir-pemikir Islam lainnya berpendapat sama dalam konteks ini.

Abstract

Islam and State-affairs in the Perspectives of Munawir Sjadzali: Islam has a set of principles and value order for people’s life and affairs of state (polity) as found in Alquran in which having elasticity in its application by seeing different situation and condition between one period to another one and between one culture to another one. Islam has never been determining a standard form of government, this means since the Prophet as a Head of first Islamic State in Madinah, he never declared that the form of Islamic State should be in a theocracy, or a monarchy, or a republic etc., likewise, the other Islamic thinkers are of similar opinion in this context.

Kata Kunci : Islam, ketatanegaraan, bentuk negara Islam

A. Pendahuluan

            Terdapat tiga aliran di kalangan umat Islam tentang hubungan antara Islam dan ketatanegaraan. Aliran pertama berpendapat bahwa Islam bukanlah semata-mata agama dalam pengertian Barat, yakni hanya menyangkut hubungan antar manusia dan Tuhan. Sebaliknya Islam adalah suatu agama yang sempurna dengan berbagai aspeknya termasuk kehidupan bernegara. Para penganut aliran ini umumnya berpendirian bahwa:
  1. Islam adalah agama yang lengkap termasuk di dalamnya diatur sistem ketatanegaraan dan politik; oleh karenanya dalam bernegara umat Islam harus kembali kepada sistem ketatanegaraan Islam dan jangan meniru sistem ketatanegaraan Barat.
  2. Sistem ketatanegaraan Islam adalah yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw. dan empat Khulafaur rasyidin.
Tokoh-tokoh aliran ini adalah: Hasan Al Banna, Rasyid Ridha, Sayyid Qutb, dan Al Maududi.[2]
            Alran kedua berpendapat Islam adalah agama dalam pengertian Barat, yang tidak ada hubungannya dengan urusan kenegaraan. Muhammad semata-mata adalah Rasul yang mengajak umatnya ke jalan Tuhan dan Nabi Muhammad tidak pernah dimaksudkan untuk mendirikan dan mengepalai satu Negara. Tokoh aliran ini adalah Ali Abd al Raziq dan Thaha Husein.
            Aliran ketiga menolak kedua pendapat di atas dan berpendapat bahwa dalam Islam hanya terdapat tata nilai etika bagi kehidupan bernegara. Tokohnya adalah: Muhammnad Husein Haikal.
            Menurut Munawir Sjadzali bahwa dalam mengkaji hubungan antara Islam dan politik (ketatanegaraan)) perlu dijelaskan terlebih dulu apa yang dimaksudkan dengan sistem politik itu.
“Sistem politik adalah suatu konsepsi yang berisikan antara lain ketentuan-ketentuan tentang siapa sumber kekuasaan Negara; siapa pelaksana kekuasaan tersebut; apa dasar dan bagaimana cara untuk menentukan kepada siapa kewenangan melaksanakan kekuasaan itu diberikan; kepada siapa pelaksana kekuasaan itu bertangggungjawab dan bagaimana bentuk tanggung jawab itu”[3]

Umat Islam memulai hidup bernegara setelah Nabi hijrah ke Yathrib (Madinah), dan di Madinah inilah pertama kali lahir satu komunitas Islam yang bebas dan merdeka di bawah pimpinan Nabi dengan pengikutnya dari Makkah (Muhajirin) dan dari Madinah (Anshor). Di Madinah terdapat juga komunitas lain seperti Yahudi dan sisa-sisa suku Arab yang belum Islam. Karena heterogennya kehidupan suku bangsa di Madinah dan untuk mengatur kehidupan berbagai suku yang majemuk, Nabi kemudian mengeluarkan aturan yang disebut dengan Piagam Madinah. Para sejarawan dan ahli politik menyebutnya sebagai UUD atau Konstitusi pertama Negara Islam Madinah yang dibangun oleh Nabi.[4]
Dalam pandangan Munawir bahwa Piagam Madinah merupakan landasan bagi kehidupan bernegara untuk masyarakat majemuk di Madinah yang antara lain berpendapat:
  1. Semua pemeluk Islam, meskipun berasal dari banyak suku, tetapi merupakan satu komunitas.
  2. Hubungan amtara sesama anggota komunitas Islam dan komunitas-komunitas lainnya didasarkan atas prinsip-prinsip a). bertetangga baik b). saling membantu c). membela yang teraniaya d). saling menasehati dan e). menghormati perbedaan agama.
Suatu hal yang perlu dicatat bahwa Piagam Madinah yang oleh banyak pakar politik disebut sebagai Konstitusi Negara Islam yang pertama itu, tidak menyebut agama negara.[5]

Bagaimana selanjutnya corak pemikiran Munawir Sjadzali khususnya tentang ketatanegaraan dalam Islam dan terobosan-terobosan pemikirannya yang lain seperti tentang hukum, pendidikan dan lain-lain akan dibahas dalam makalah ini sesuai dari sumber aslinya yakni karya Munawir Sjadzali, “Islam dan Tata Negara” dan juga merujuk kepada pendapat dan juga pandangan para tokoh Islam lainnya tentang pemikiran Munawir Sjadzali tersebut.
B. Biografi Munawir Sjadzali

Sejarah Singkat Kehidupan Munawir Sjadzali lahir di desa Karanganom, Klaten, Jawa Tengah, pada 7 November 1925.[6] Ia adalah anak tertua (delapan bersaudara) dari pasangan Abu Aswad Hasan Sjadzali (putra Tohari) dan Tas’iyah (putri Badruddin). Dari segi ekonomi, memang keluarga Abu Aswad jauh dari cukup, tetapi dari segi agama keluarga ini sangat taat beragama. Kondisi ekonomi yang serba kekurangan dan penghargaan yang tinggi terhadap ilmu-ilmu keagamaan, menghadapkan Munawir pada satu pilihan pendidikan: madrasah. Selain karena biaya pendidikan di lembaga pendidikan Islam ini relatif murah, juga karena lembaga pendidikan ini mengutamakan ilmu-ilmu tradisional Islam. Karena alasan ini pula, setelah menamatkan Madrasah Ibtidaiyah di kampungnya, Munawir melanjutkan pendidikan ke Mambaul Ulum, Solo. Dengan segala penderitaan dan perjuangan, pada tahun 1943 tepatnya di usia 17 tahun, Munawir berhasil menyelesaikan sekolahnya di Mambaul Ulum dengan mengantongi ijazah dari madrasah terkenal ini.[7]
Melihat pendidikan yang ditempuh, Munawir tidak hanya dapat dikategorikan sebagai santri secara formal, tetapi juga substansial. Sebagai santri, ciri yang paling menonjol dari Munawir adalah kemampuannya untuk memahami kitab-kitab klasik Islam. Pada gilirannya, hal ini membawa implikasi pada luasnya wawasan keagamaan, karir intelektual dan pemerintahan, serta kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan jabatannya sebagai Menteri Agama.
Setelah menyelesaikan pendidikannya di Mambaul Ulum, Munawir melakukan pengembaraan panjang, menjadi guru di sekolah Muhammadiyah Salatiga dan kemudian pindah menjadi guru di Gunungpati, Semarang. Dari Gunungpati inilah keterlibatan Munawir dalam kegiatan-kegiatan umat Islam dalam skala nasional dimulai. Kegiatan Munawir yang tadinya hanya mengajar, berkembang ke arah kegiatan-kegiatan yang bersifat sosial. Munawir hampir selalu dilibatkan dalam kegiatan yang diadakan oleh badan-badan resmi maupun swasta. Bahkan di Gunungpati inilah untuk pertama kalinya Munawir bertemu dengan Bung Karno yang waktu itu menjabat sebagai Ketua Umum Putera (Pusat Tenaga Rakyat) dan berkunjung ke Gunungpati, sebagai penghargaan atas suksesnya kecamatan ini dalam mengumpulkan dukungan untuk Putera. Munawir merupakan tipe seorang aktifis yang banyak berkiprah di beberapa organisasi, di antaranya ketua Angkatan Muda Gunungpati, ketua Markas Pimpinan Pertempuran Hisbullah-Sabilillah (MPHS) dan ketua umum Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII) Semarang.[8]
Seusai muktamar GPII (1950) Munawir mempergunakan waktu luangnya untuk mencoba menelaah konsepsi politik Islam yang berkembang di masa klasik. Dengan memanfaatkan perpustakaan KH. Munawar Kholil, yang penuh dengan kitab-kitab Islam klasik, Munawir berhasil menulis buku “Mungkinkah Negara Indonesia Bersendikan Islam?” Buku ini pula membuat Bung Hatta tertarik pada Munawir, lalu Bung Hatta memfasilitasinya memperoleh pekerjaan sebagai staf Seksi Arab/Timur Tengah Deplu (1950). Jadi, buku inilah yang mengantarkan Munawir meniti karir yang lebih tinggi, Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Agama.   Selanjutnya kehidupan Munawir mulai berubah. Kesempatan untuk melanjutkan studi ke luar negeri seperti yang diidam-idamkannya telah terbuka lebar. Munawir melanjutkan studi bidang politik di Exeter University, London (1953-1954). Kemudian ia menjadi Atase/Sekretaris III Kedutaan Besar RI di Washington, AS (1956-1959). Pada masa ini, ia menyempatkan diri melanjutkan studi di George Town University, Amerika Serikat hingga memperoleh ijazah Master of Art bidang Filsafat Politik dengan tesis “Moslem Parties and Their Political Concepts (1959)”.[9]
Selepas meraih gelar master, karirnya makin cemerlang. Ia dipercaya menjabat Setiausaha Pertama, Kedutaan Besar Republik Indonesia di Colombo, Sri Lanka (1965-1965). Lalu menjabat Kuasa Usaha, Kedutaan Besar Republik Indonesia di Sri Lanka (1965-1968). Kemudian di tarik ke Jakarta menjabat Kepala Biro, Tata Usaha Sekretariat Jenderal, Deplu (1969-1970). Lalu bertugas di Kedutaan Besar Republik Indonesia di London (1971-1974), sebelum diangkat menjadi Kepala Biro Umum, Deplu (1975-1976). Kemudian, ia diangkat menjabat Duta Besar di Uni Emirat Arab, Bahrain dan Qatar (1976-1980), sebelum ditarik kembali ke Jakarta menjabat Direktur Jenderal Politik Deplu (1980-1983). Kemudian diangkat sebagai Menteri Agama Republik Indonesia (1983-1993). Selepas itu, ia pun mengakhiri karir dan pengabdiannya pada negara sebagai Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan anggota Dewan Pertimbangan Agung (1993-1998). Selama menjadi Menteri Agama Republik Indonesia, Munawir dianggap sebagai pahlawan terhadap penerimaan ide asas tunggal Pancasila, pembenahan terhadap lembaga pendidikan agama, pengiriman dosen IAIN ke Eropa dan Amerika, penyelesaian UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, dan penyelesaian Kompilasi Hukum Islam (KHI). Orientasi Munawir adalah untuk kemashlahatan umat Islam di Indonesia.[10]
Karya, Gagasan dan Penghargaan selain sebagai diplomat ulung, Munawir juga seorang intelektual yang cukup produktif, sehingga sangat banyak karya yang telah ditulisnya. Beberapa karya yang telah ia tulis mengenai beberapa bidang, mulai dari pengalamannya sebagai menteri agama, wawasan keislaman, ketatanegaraan, pendidikan agama, pemerintahan dan tentu saja tentang perkembangan pemikiran Islam.
Sebagai seorang negarawan dan ilmuan, ia amat berminat dalam mengembangkan ilmu Islam. Penguasaan dan pemikirannya menonjol dalam dua bidang yaitu Hukum Islam dan Fiqh Siyasi. Di antara karya ilmiah yang pernah dihasilkannya adalah (1) Islam dan Tatanegara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (2) Islam: Realitas Baru dan Orientasi Masa Depan Bangsa, dan (3) Mungkinkah Negara Indonesia Bersendikan Islam?. Buku ketiganya ini mendapat perhatian umum.
Munawir dikenal sebagai seorang diplomat yang tenang, tulus dan pandai mendongeng. Seringkali ketika menyampaikan pemikiran dan gagasannya, ia menggunakan dongeng sebagai perantara. Suatu ketika, saat menjabat sebagai Menteri Agama, di depan para ulama Jawa Barat Munawir mengisahkan persahabatan antara petani dan beruang.
“Suatu ketika, beruang marah karena seekor lalat mengganggu tidur petani. Beruang mengambil batu besar dan kemudian menghunjamkannya ke dahi petani yang dihinggapi lalat. Siapa pun tidak meragukan kesetiaan beruang, tetapi kebodohannya membuat petani mati. Yang mirip beruang banyak terdapat di masyarakat. Berlagak membela agama, padahal mementingkan dirinya sendiri,” ujarnya.
Semasa menjabat Menteri Agama, Munawir telah membangun Departemen Agama menjadi departemen yang bergengsi. Ia juga tercatat sebagai menteri agama yang sangat memerhatikan pendidikan. Terutama dengan kebijakannya mengirim mahasiswa untuk belajar di luar negeri.
Ia senang mendengarkan musik. Memiliki rekaman Tchaikovsky dan Beethoven, namun penggemar biduanita Mesir, Ummi Kalsum, ini merasa lebih at home dan in betul bila menikmati gambus.
Di mata para sahabatnya, ia seorang pemimpin pembaharu pemikiran Islam dan mempunyai banyak gagasan. Dialah yang menggagas pertemuan tahunan Menteri-Menteri Agama Negara Brunei Darussalam, Republik Indonesia, Malaysia dan Singapura. Ide dan gagasannya dalam kongres Menteri-Menteri Agama seluruh dunia di Jeddah pada tahun 1988, telah diterima beberapa negara, sehingga diadakan empat kali pertemuan tahunan untuk meningkatkan pembaharuan pemikiran perihal Islam di kalangan negara anggota.
Dalam pengabdiannya, ia telah mendapatkan sejumlah penghargaan, termasuk dari sejumlah negara sahabat. Antara lain, penghargaan Bintang Mahaputra Adipradana dan Satyalencana Karya Satya Kelas II dari Pemerintah Indonesia, Great Cordon of Merit dari Pemerintah Qatar, Medallion of the Order of Quwait-Special Class dari Kuwati, dan Heung in Medal-Second Class dari Korea Selatan. Sedangkan gelar Doktor Honoris Causa dalam Ilmu Agama Islam ia dapatkan dari IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta tanggal 22 Februari 1994.[11]
Selain Menag Said Agil Husin Al Munawar, sejumlah mantan pejabat dan tokoh yang hadir di rumah duka antara lain mantan Menteri Penerangan Harmoko, mantan Mendagri Rudini, dan mantan Menko Ekuin JB. Sumarlin. Selama dirawat di rumah sakit, beberapa tokoh juga menjenguk. Bahkan, mantan Presiden Soeharto baru menjenguknya dua hari sebelum Munawir meninggal.
Bangsa Indonesia kehilangan seorang tokoh besar, diplomat santun dan pembaharu Islam. Mantan Menteri Agama (1983-1988 dan 1988-1993) dan Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia pertama (1996-1998), Prof. Dr. H. Munawir Sjadzali, MA. meninggal dunia di Rumah Sakit Pondok Indah, Jakarta, Jumat 23 Juli 2004 pukul 11.20. Jenazah mantan anggota Dewan Pertimbangan Agung (1993-1998), ini disemayamkan di rumah duka di Jalan Bangka VII No.5-B Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, dan dimakamkan di tempat pemakaman keluarga Giritama, Bogor, Jawa Barat, hari Sabtu 24 Juli 2004.
Pria kelahiran Desa Karanganom, Klaten, 7 November 1925, ini meninggalkan istri, Murni Sjadzali, yang dinikahinya pada tahun 1950 dan enam anak, yaitu Muchlis (almarhum), Mustahdiyati, Mustain, Muhtadi, Mutiawati, dan Muhflihatun, serta 14 cucu. Ia sempat dirawat di rumah sakit tersebut sejak 8 Juni 2004, akibat serangan stroke dan komplikasi beberapa penyakit.[12]
Adapun beberapa judul tulisan Munawir Sjadzali sebagai berikut:
  1. Bunga Rampai Wawasan Islam Dewasa Ini, Jakarta : Universitas Indonesia Press, 1994.
  2. Islam, Realitas Baru, dan Orientasi Masa Depan Bangsa, Penerbit Universitas Indonesia Press, 1993
  3. Islam dan Tata Negara, Penerbit Universitas Indonesia Press, 1991
  4. Pendidikan Agama dan Pengembangan Pemikiran Keagamaan, Departemen Agama RI, Biro Hukum dan Humas
  5. Islam And Governmental Sistem, INIS, 1991
  6. Islam dan Tata Negara, Penerbit Universitas Indonesia Press, 1991
  7. Peranan Ilmuwan Muslim dalam Negara Pancasila, Departemen Agama, 1984
  8. Kiprah Pembangunan Agama Menuju Tinggal Landas,Biro Hukum & Humas, Departemen Agama RI, 1986
  9. Pokok-Pokok Kebijaksanaan Menteri Agama dalam Pembinaan Kehidupan Beragama, Proyek Penelitian Keagamaan, Badan Penelitian dan Pengembangan Agama, Departemen Agama R.I., 1984
  10. Tugas Pengajian Islam, Universitas Nasional, 1986
  11. Kebangkitan Kesadaran Beragama Sebagai Motivasi Kemajuan Bangsa, Biro Hukum & Humas Departemen Agama RI, 1987
  12. Partisipasi Umat Beragama dalam Pembinaan Nasional, Biro Hukum dan Humas, Bagian Dokumentasi/Publikasi, 1984
  13. Mungkinkah Negara Indonesia Bersendikan Islam, Usaha Taruna, 1950
  14. Ijtihad Kemanusiaan, Paramadina, 1997
  15. Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam, Pustaka Panjimas, 1988
  16. Dan lain-lain

C. Terobosan-terobosan Munawir Sjadzali Dalam Pemikiran  Islam

1. Metodologinya dalam Penerapan Hukum

            Masih segar dalam ingatan kita tentang ide-ide reaktualisasi ajaran Islam, pembentukan Madrasah Aliyah Program Khusus (MAPK) dan pengiriman dosen IAIN untuk studi ke negara-negara Barat. Siapa lagi kalau bukan Munawir Sjadzali, tokoh di balik gagasan yang cemerlang dan terobosan yang berani itu. Langkah Munawir ini dapat dikatakan sebagai solusi atas kebekuan pemikiran Islam dan sistem pendidikan Islam. Meski mengawali karir di Kementerian Luar Negeri, penguasaan dan kepiawaian Munawir terhadap pengetahuan agama Islam membuat dirinya sukses menahkodai Departemen Agama. Terbukti, ia dipercaya Presiden Soeharto untuk memimpin Departemen ini selama dua periode, sejak 14 Maret 1983 (1983-1993).
Selama menjabat Menteri agama, tidak sedikit kebijakan yang telah diambil Munawir. Setidaknya ada tiga agenda yang paling menonjol. Pertama, menuntaskan Pancasila sebagai asas organisasi sosial-kemasyarakatan. Kedua, pembenahan lembaga-lembaga pendidikan Islam. Ketiga, penguatan keberadaan Pengadilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam.[13] Jika ditelusuri, sosok Munawir bukan hanya terkenal dengan terobosan-terobosannya dalam pemerintahan, tetapi juga konsistensi pemikirannya, khususnya berkaitan dengan pandangannya mengenai hubungan Islam dan ketatanegaraan. Jika ditelaah, pandangan Munawir tentang hubungan Islam dan negara layaknya sebuah garis lurus; menurutnya tidak ada ketetapan doktrinal yang mengharuskan kaum muslim untuk mendirikan negara Islam. Pandangan ini dipegang Munawir sejak awal perkembangan inteletualnya hingga akhir hayatnya. Keberadaan Munawir Sjadzali dalam wilayah intelektual Indonesia, tak diragukan lagi. Ia merupakan salah satu pemikir modern dalam wacana pemikiran politik Islam di Indonesia. Di satu sisi kehadirannya mampu mendobrak tatanan baru pola pemikiran politik Islam dengan menghadirkan suasana baru ketika berhadapan dengan teks-teks Islam. Dan di sisi lain, secara genial ia mampu memadukan gagasan-gagasan yang ada dalam berbagai tradisi yang berbeda berdasarkan beberapa kerangka teoritisnya. Untuk dapat menyelami lebih lanjut pemikirannya, alangkah baiknya kalau kita paparkan secara inherent mengenai setting historisnya. Amin Abdullah menggaris-bawahi bahwa lingkungan yang menjadi tempat seseorang dan masyarakat berada, ikut mempengaruhi proses aktualisasi norma-norma dalam kehidupan praksis-sosialnya. Keterkaitan antara dimensi intelektual dan praktikal, antara teori dan praktis, sebenarnya lebih mewarnai corak pemikiran keagamaan di manapun ia berada.[14]
Jadi, ide dan gagasan pemikiran seseorang pasti selalu based on historical problems. Oleh karena itu, terkait dengan Munawir Sjadzali sebagai representasi pemikir politik Islam, konteks lingkungannya cukup strategis untuk diabstraksikan.[15]
Metodologi Ijtihad Munawir Sjadzali Dalam menggali hukum, Munawir menggunakan tiga kerangka metodologi, yakni, pertama adat (kebiasaan), nash diturunkan dalam suatu kasus adat tertentu. Jikalau adat berubah, maka gugur pula dalil hukum yang terkandung dalam nash tersebut. Menurutnya, nash hanyalah sebuah tawaran bagi pemecahan masalah (hukum, sosial, politik) yang efektif dalam kondisi sosial masyarakat tertentu. Apabila terjadi pertentangan antara nash dan adat, dan ternyata adat lebih menjamin kemaslahatan yang dibutuhkan oleh masyarakat, maka adat dapat diterima. Kekuatan hukumnya sama kuatnya dengan hukum yang ditetapkan berdasarkan nash. Hal ini sesuai dengan Hadis Nabi bahwa sesuatu yang dipandang baik oleh umat Islam, maka dianggap baik di sisi Allah. Kedua, nasakh, yang dalam pandangan Munawir, nasakh adalah pergeseran atau pembatalan hukum-hukum atau petunjuk yang terkandung dalam ayat-ayat yang diterima oleh Rasul pada masa sebelum-sebelumnya. Munawir sering mengutip pendapat Mufassir besar seperti Ibn Katsir, Almaraghi, Muhammad Rasyid Ridha dan Sayyid Qutb. Menurut para mufassir tersebut, nasakh merupakan suatu keharusan karena perubahan hukum sangat erat kaitannya dengan perubahan tempat dan waktu. Oleh karena itu, nasakh sangatlah diperlukan. Ketiga, maslahah. Mengutip dari konsep maslahah Althufi bahwa jika terjadi perselisihan antara kepentingan masyarakat dengan nash dan ijma, maka wajib mendahulukan kepentingan masyarakat atas nash dan ijma. Pemikiran Althufi ini dibangun atas empat prinsip dasar, yakni: 1) Kebebasan akal untuk menentukan baik dan buruk [tanpa harus dibimbing oleh kebenaran wahyu, 2) Maslahah adalah dalil syara yang tidak terikat dengan ketentuan nash, 3) Maslahah hanya dapat dijadikan dalil syara dalam bidang muamalah, tidak dalam bidang ibadah dan 4) Maslahah adalah dalil syara yang terkuat. Adat, nasakh dan maslahah selalu menjadi landasan metodologis Munawir dalam melakukan ijtihad. Kadang ketiganya digunakan secara terpisah, dan tidak jarang digunakan secara bersamaan. Dalam menerapkan ijtihad di bidang waris misalnya, Munawir menggabungkan ketiga metodologi tersebut dengan mengangkat latar belakang sosial masyarakat Solo, Jawa Tengah. Karena, di Solo kaum perempuan merupakan pihak yang aktif dalam memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. Dalam konteks masyarakat Arab yang menganut budaya patriakhi (budaya yang menguntungkan laki-laki), sistem pembagian waris yang ditawarkan Alquran sangat revolusioner, karena perempuan mendapat bagian setengah dari bagian laki-laki.
Namun untuk konteks masyarakat Solo, ketentuan pembagian warisan sebagaimana ditawarkan Alquran tidak memberikan kemaslahatan dan tidak adil. Menurut Munawir ayat waris dalam Alquran perlu di nasakh (ditangguhkan pemberlakuannya) apabila dalam suatu masyarakat berlaku budaya matrilineal atau bilateral, seperti di Solo dan sejumlah wilayah di Indonesia. Peran dan status perempuan di Arab berbeda dengan peran dan status perempuan yang ada pada masyarakat Solo. Penangguhan pemberlakuan ayat waris dalam Alquran akan memunculkan pemikiran baru (ijtihad) yang lebih memperjuangkan nilai kemaslahatan bagi masyarakat Indonesia dalam pembagian warisan. Hal ini harus diakui sebagai sebuah produk hukum, agar umat Islam Indonesia tidak terjebak pada dualisme hukum dalam pembagian warisan. Umat Islam tidak tampak lagi sebagai orang yang tidak konsisten yaitu mengaku sebagai orang Islam, namun dalam sisi lain tidak melaksanakan hukum Islam secara holistic dalam keseharian kehidupan mereka. Hubungan Islam dan Negara dalam Pandangan Munawir Sjadzali Dalam konteks dunia Islam, perhatian Munawir terhadap masalah hubungan antara Islam versus negara, yang terutama terefleksikan dalam karya intelektualnya, sebenarnya sesuatu yang wajar. Di seluruh dunia Islam, hubungan Islam dan negara memang sudah lama menjadi satu persoalan pelik. Ungkapan inna al-islama din wa dawlah yang populer di lingkungan kaum muslim sebenarnya lebih menunjuk pada manifestasi Islam dalam sejarah daripada sebuah rumusan konsepsional yang applicable dalam realitas.
Oleh karena itu, tepatnya sejak keruntuhan kolonialisame Barat pada pertengahan abad ke-20 negara-negara Islam seperti Turki, Mesir, Sudan atau Aljazair mengalami kesulitan dalam upaya membangun hubungan yang memungkinkan antara Islam dan negara. Di sejumlah negara, posisi Islam versus negara senantiasa berada pada kutub-kutub pemikiran dan aksi politik yang saling tarik menarik dan antagonistik. Padahal pada saat yang sama di sejumlah negara yang lain Islam menduduki posisi penting, baik karena masa lalunya maupun karena Islam merupakan agama yang dianut mayoritas penduduknya. Oleh karena itulah kalangan pengamat muncul pertanyaan krusial: apakah Islam sesuai atau tidak dengan sistem politik modern, di mana ide negara bangsa (nation-state) merupakan unsur terpentingnya.[16]
2. Pembaruannya dalam Pendidikan Islam
Munawir Sjadzali sangat getol melakukan pembenahan pendidikan, khususnya pendidikan di wilayah Departemen Agama. Hal ini karena menurutnya, pendidikan merupakan media yang paling tepat untuk menyiapkan calon pemimpin bangsa yang tangguh. Untuk itu, Munawir segera melakukan pembenahan terhadap IAIN. Kenapa IAIN? Karena, IAIN merupakan lembaga pendidikan tinggi Islam yang strategis, akan tetapi tidak diimbangi dengan landasan hukum yang kuat. Kondisi demikian selanjutnya berimplikasi pada kecilnya anggaran yang diterima IAIN, khususnya jika dibandingkan dengan perguruan tinggi negeri lainnya yang bernaung di bawah payung Depdikbud. Sehingga, hal ini harus dicarikan solusi secepatnya, agar IAIN betul-betul mampu menjadi lembaga yang mencetak kader berpendidikan agama yang berkualitas. Setidaknya ada dua langkah yang dilakukannya sebagai solusi atas hal itu, pertama, pembenahan yang dilakukan dari segi hukum, dan kedua, dari segi Sumber Daya Manusia (SDM).[17]
Dari segi hukum, Munawir menjalin kerjasama dengan Depdikbud dan Kantor Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara. Baik Mendikbud, Prof. Dr. Nugroho Notosusanto maupun Menpan, Prof. Dr. Saleh Afif menyambut baik prakarsa ini. Mereka bahkan sangat antusias membantu usaha Departemen Agama untuk menata pendidikan agama di Indonesia. Pihak Mendikbud mengatakan, ”Jika IAIN dapat memenuhi syarat-syarat minimal sebuah perguruan tinggi yang ditetapkan oleh Depdikbud, maka IAIN akan diberlakukan sebagai perguruan tinggi yang statusnya sama dengan perguruan tinggi yang berada di bawah Depdikbud”. Pengakuan ini merupakan kemajuan yang sangat berarti bagi IAIN.
Tidak lama kemudian, Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang IAIN akhirnya tersusun. Pada bulan Mei 1985, Nugroho Notosusanto, Saleh Afif dan Munawir menghadap Presiden Soeharto di Bina Graha. RPP tentang dasar hukum IAIN tersebut akhirnya ditetapkan menjadi PP No. 33 Tahun 1985. Dengan PP ini status, perlakuan, dan fasilitas IAIN yang tersebar di berbagai wilayah Indonesia sederajat dengan perguruan tinggi negeri yang dikelola Depdikbud. Peraturan Pemerintah itu selanjutnya dijabarkan dalam Keppres No. 9 Tahun 1987 yang kemudian menjadi bagian dari UU No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Artinya pendidikan agama diletakkan sebagai sub-sistem pendidikan nasional, yang menjadi bagian dan penopang sistemnya.
Setelah berhasil membenahi segi dasar hukum IAIN, langkah Munawir selanjutnya adalah melakukan pembenahan dari segi sumber daya manusia. Pertama kali yang mendapat perhatian Munawir adalah sistem pendidikan madrasah. Selama ini madrasah masih dianggap sebagai lembaga pendidikan “kelas dua” dibandingkan sekolah umum. Fasilitas yang minimal, lokasi yang kebanyakan di pedesaan, dan kurikulum yang tidak seimbang antara pendidikan agama dan umum, menyebabkan lembaga ini tidak banyak menghasilkan bibit unggul bagi IAIN. Untuk itu, ia meninjau kembali SKB Tiga Menteri tahun 1975 yang dikeluarkan pada masa Prof. Dr. Mukti Ali menjabat Menteri Agama. SKB Tiga Menteri antara lain menetapkan bahwa madrasah harus bermuatan 70% pengetahuan umum dan 30% pengetahuan agama, dengan harapan agar madrasah sederajat dengan sekolah umum, terutama dari segi kurikulum.
Maksud SKB ini memang baik, tetapi akibat yang tampaknya kurang diperhitungkan adalah tamatan Madrasah Aliyah (MA) menjadi lebih siap masuk ke perguruan tinggi umum daripada perguruan tinggi agama. Mereka jelas bukan merupakan bibit unggul untuk IAIN. Penguasaan agama tamatan MA bukan hanya sangat lemah, lebih dari itu bahkan tidak dapat diandalkan untuk menjadi calon-calon ulama. Sehingga, Munawir merasa perlu untuk menyempurnakan SKB Tiga Menteri itu.
Bentuk penyempurnaan itu adalah mengadakan pilot project Madrasah Aliyah Program Khusus (MAPK) dengan muatan kurikulum 70% pengetahuan agama dan 30% pengetahuan umum. Dengan struktur kurikulum demikian, konsekuensinya tamatan MAPK, tidak dapat masuk ke perguruan tinggi umum, tetapi mereka adalah bibit-bibit unggul bagi IAIN. Dengan proyek ini, harapan untuk mengembangkan ilmu-ilmu keislaman yang sejalan dengan tantangan modernitas melalui IAIN dengan cepat akan segera terwujud. Ide penyempurnaan SKB Tiga Menteri ini disetujui oleh Presiden Soeharto. Sehingga pada 1988 proyek MAPK dimulai dan untuk tahap pertama, dibuka di lima lokasi; Padang Panjang, Ciamis, Yogyakarta, Ujung Pandang, dan Jember. Selanjutnya, MAPK ditambah di lima kota lagi, yaitu di Banda Aceh, Lampung, Solo, Banjarmasin, dan Mataram.[18]
Dalam perkembangannya, menurut Dr. Zamakhsjari Dhofier, jumlah MAPK sudah membengkak menjadi 110 buah. Salah satu keberhasilan proyek ini, menurut Munawir adalah berhasilnya 48 alumni MAPK tahun 1991 mengikuti proses belajar mengajar di Universitas Al-Azhar. Melihat keberhasilan proyek MAPK ini, Presiden Soeharto memberikan saran agar proyek serupa juga diterapkan untuk Madrasah Tsanawiyah.
Kegelisahan Munawir bukan hanya berkaitan dengan kondisi Madrasah saja, melainkan juga mutu staf pengajar IAIN. Sehingga, bersamaan dengan pelaksanaan proyek MAPK, ia juga berusaha meningkatkan kualitas dosen IAIN. Hal ini dilakukan dengan menghidupkan kembali tradisi mengirim dosen IAIN untuk studi ke negara-negara Barat –khususnya ke Universitas McGill, (Montreal, Kanada) dan Universitas Leiden (Belanda) yang dulu pernah dirintis Mukti Ali. Menurutnya, ilmuwan Muslim Indonesia yang mampu berkomunikasi dengan dunia modern adalah mereka yang di samping mendapat pendidikan S1 di Timur, juga mengenyam pendidikan S2 dan S3 di Barat. Munawir menunjuk nama-nama seperti Prof. Dr. HM. Rasjidi, Prof. Dr. Mukti Ali, dan Prof. Dr. Harun Nasution  sebagai prototype ilmuwan Muslim Indonesia.
Program pengiriman dosen ke luar negeri relevan dengan usaha menjaring alumni IAIN yang berkualitas, sehingga pada tahun 1988 dibuka Program Pembibitan Calon Dosen IAIN. Selain pesertanya sangat terbatas, hanya diikuti oleh tak lebih dari 30 peserta, program ini juga hanya menerima mereka yang indeks prestasi kumulatifnya di atas tiga. Di samping itu, para peserta juga harus memiliki dasar-dasar penguasaan bahasa yang memadai, baik Inggris maupun Arab. Hal ini untuk memenuhi persyaratan yang diminta lembaga-lembaga pemberi beasiswa dan universitas-universitas Barat.
Pada periode 1988-1991, program pengiriman dosen ini mengalami sukses. Tak kurang dari 75% pesertanya diterima untuk program S2 dan S3 di universitas-universitas Barat, seperti Mc.Gill di Kanada; UCLA di Columbia, Chicago, dan Harvard di USA; London, Leiden, dan Hamburg di Eropa Barat; serta ANU, Monash, dan Flinders di Australia. Kesuksesan ini mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap kelangsungan pengiriman mahasiswa tahap berikutnya. Menurut catatan Munawir, selama ia menjadi Menteri Agama, Departemen Agama telah mengirim sebanyak 225 mahasiswa ke Barat. Sampai tahun 1993, dari mereka itu telah kembali ke Indonesia sebanyak 12 orang dengan menyandang gelar Ph.D dan sebanyak 67 orang dengan gelar MA.[19]
Pengiriman dosen IAIN ke universitas-universitas Barat dapat dipandang sebagai bagian dari pelaksanaan konsep Munawir Sjadzali tentang hubungan antara Islam dan negara. Munawir menginginkan agar para dosen IAIN mampu berkomunikasi dengan para teknokrat dan birokrat yang rata-rata tamatan universitas-universitas Barat. Kelompok pertama merepresentasikan kalangan agama, sedangkan yang kedua mewakili unsur-unsur modernitas.
D. Pemikirannya Tentang Islam dan Tata Negara

Menurut Munawir[20] di dalam Alquran terdapat sejumlah ayat yang mengandung petunjuk dan pedoman bagi manusia dalam hidup bermasyarakat dan bernegara. Di antara ayat-ayat tersebut mengajarkan tentang kedudukan manusia di bumi dan tentang prinsip-prinsip yang diperhatikan dalam kehidupan kemasyarakat, seperti prinsip-prinsip musyawarah atau konsultasi, ketaatan kepada pemimpin, keadilan, persamaan, dan kebebasan beragama.

Kedudukan Manusia di Bumi:
  
26. Katakanlah: "Wahai Tuhan yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.(Ali Imran)

  
5. kepunyaan-Nya-lah kerajaan langit dan bumi. dan kepada Allah-lah dikembalikan segala urusan.(Al Hadid)

­ 
165. dan Dia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu Amat cepat siksaan-Nya dan Sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.( Al An’aam).

.
14. kemudian Kami jadikan kamu pengganti-pengganti (mereka) di muka bumi sesudah mereka, supaya Kami memperhatikan bagaimana kamu berbuat.(Yunus).

Musyawarah dan Konsultasi:


159. Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu.[21] kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.(Ali Imran)


38. dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka.(Asy Syura)

Ketaatan Kepada Pemimpin:


59. Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.(An Nisa’)

Keadilan:

 
90. Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.(An Nahl)

58. Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat.(An Nisa’)

Persamaan:

13. Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.(Al Hujarat)

Hubungan Antara Umat dari Berbagai Agama:

  
256. tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. karena itu Barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut[22] dan beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang Amat kuat yang tidak akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.(Al Baqarah)

  
99. dan Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka Apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?(Yunus)


64. Katakanlah: "Hai ahli Kitab, Marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara Kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Tuhan selain Allah". jika mereka berpaling Maka Katakanlah kepada mereka: "Saksikanlah, bahwa Kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)".(Ali Imran)
ž   
8. Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan Berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang Berlaku adil.
9. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. dan Barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim.(Al Mumtahanah)

                Mengenai ketatanegaraan dalam konteks Indonesia Munawir berpendapat bahwa sejak negara ini merdeka masalah tersebut telah menyulut ketegangan, permusuhan, bahkan konflik fisik antara keduanya. Dalam masa-masa formatif negara ini kaum Muslim tidak hanya terus menerus menyuarakan aspirasinya untuk tidak hanya menjadikan Islam sebagai dasar negara, tetapi juga menjadikan sistem politik Islam sebagai panduan dalam mengatur negara. Sejarah menjadi menarik berhubungan dengan munculnya beberapa komunitas yang berobsesi mewujudkan sebuah negara agama (DI TII/NII) berdasarkan syariah di abad modern ini. Kerasnya sikap kaum Muslim dalam memperjuangkan aspirasi politiknya ternyata membawa implikasi negatif terhadap masyarakat Islam sendiri, baik pada masa Orde Lama maupun Orde Baru. Di kalangan pemerintah tidak hanya muncul kecurigaan terhadap kaum Muslim, tetapi mereka juga dipandang sebagai kelompok yang tidak sepenuhnya bersedia menerima Pancasila sebagai ideologi negara. Situasi demikian pada gilirannya menimbulkan respons balik. Tidak sedikit pemikir dan aktivis politik Islam yang memandang negara dengan curiga. Dalam kaitan ini dapat dikatakan bahwa dalam negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam berkembang rasa saling curiga antara kelompok Islam dan negara. Dalam situasi sosial politik seperti inilah Munawir diangkat sebagai Menteri Agama. Di sini Munawir segera dihadapkan kepada kelompok-kelompok Islam lama yang masih memperjuangkan ideologi Islam dan secara a priori menolak Pancasila sebagai asas tunggal; kalangan intelektualisme baru yang tidak lagi memperjuangkan ideologi Islam atau negara Islam, sebaliknya malah bersemboyan Islam Yes, Partai Islam No, dan kalangan ormas-ormas Islam yang lain masih bersikap menunggu. Perkembangan-perkembangan yang terjadi di kalangan umat Islam Indonesia tersebut tidak terlepas dari pengamatan Munawir, meskipun secara formal ia bekerja di Departemen Luar Negeri. Bahkan karena tidak terlibat langsung dalam organisasi-organisasi Islam, Munawir mengakui dapat sepenuhnya mendudukkan diri sebagai pengamat. Bahkan dengan posisinya ini, ia dapat berpikir dan menganalisis secara objektif perkembangan yang terjadi di kalangan umat Islam Indonesia.[23]
Problematika hubungan Islam dan negara di tanah air sebenarnya setua Indonesia sendiri. Sejak perdebatan konstituante pasca kemerdekaan (akhir tahun1950-an), masalah ini meruncing dan tidak pernah terselesaikan. Perdebatan berkisar tentang bentuk negara yang hendak diciptakan, apakah teokratis atau sekuler. Dua sisi ekstrim yang sulit dipertemukan. Akhirnya jalan tengah yang paling baik ditempuh yaitu negara yang non teokratis tetapi agama dilihat sebagai satuan denominasi dalam masyarakat yang diakui dan dipelihara oleh negara. Negara Pancasila itulah sebutannya. Pada dasarnya dalam perspektif pemikiran politik Islam, setidaknya ada tiga paradigma hubungan antara agama dan negara yaitu: Pertama, paradigma integralistik. Dalam konsep ini agama dan negara menyatu (integral). Agama Islam dan negara, dalam hal ini tidak dapat dipisahkan. Wilayah agama juga meliputi wilayah negara (din wa dawlah). Karenanya menurut paradigma ini, Negara merupakan lembaga politik dan keagamaan sekaligus. Pemerintahan negara diselenggarakan atas dasar kedaulatan ilahi (devine sovereignity) karena memang kedaulatan itu berasal dan berada di tangan Tuhan.[24]
Paradigma ini dianut oleh kelompok Syiah. Hanya saja dalam term politik Syiah, untuk menyebut negara (ad-dawlah) diganti dengan istilah imamah (kepemimpinan). Sebagai lembaga politik yang didasarkan atas legitimasi keagamaan dan mempunyai fungsi menyeleggarakan kedaulatan Tuhan negara dalam perspektif Syiah bersifat teokratis, salah satu wacana yang dikritik oleh kaum Islam liberal. Negara teokratis mengandung unsur pengertian bahwa kekuasaan mutlak berada di tangan Tuhan, dan konstitusi Negara berdasarkan pada wahyu Tuhan (syar’i). Paradigma integralistik ini yang kemudian melahirkan paham Negara agama, di mana praktek ketatanegaraan diatur dengan menggunakan prinsip-prinsip keagamaan, sehingga melahirkan konsep Islam din wa dawlah. Sumber hukum positifnya adalah sumber hukum agama.[25]
Selain kelompok Syiah, pendukung paradigma ini juga berasal dari kelompok Suni seperti Hasan Albanna, Sayyid Quthb, Syekh Muhammad Rasyid Rida dan Maulana Almaududi.[26]
Kedua, Paradigma Simbiotik. Menurut pandangan ini agama versus negara berhubungan secara simbiotik, yakni suatu hubungan yang bersifat timbal balik dan saling memerlukan. Dalam hal ini agama memerlukan negara karena dengan negara agama dapat berkembang, sebaliknya Negara memerlukan agama, karena dengan agama, negara dapat berkembang dalam bimbingan moral dan etika. Paradigma simbiotik ini dapat ditemukan dalam pemikiran Almawardi dalam bukunya al-Ahkam al-Sultaniyyah. Dalam buku ini ia mengatakan bahwa kepemimpinan negara (imamah) merupakan instrumen untuk meneruskan misi kenabian guna memelihara agama dan mengatur dunia (harasah al-din wa al-dunya). Pemeliharaan agama dan pengaturan dunia merupakan dua jenis aktifitas yang berbeda, namun mempunyai hubungan secara simbiotik. Keduanya merupakan dua dimensi dari misi kenabian.[27]
Ketiga, Paradigma Sekularistik. Paradigma ini menolak baik hubungan integralistik maupun hubungan simbiotik antara agama dan negara. Sebagai gantinya, paradigma sekularistik mengajukan pemisahan antara agama daan negara. Dalam konteks Islam, paradigma sekularistik menolak pendasaran Negara kepada Islam, atau paling tidak menolak determinasi Islam akan bentuk tertentu dari negara. Pemrakarsa paradigma ini adalah Ali Abd al-Raziq, seorang cendekiawan Muslim dari Mesir. Dalam bukunya al-Islam wa Ushul al-Hukm, Raziq mengatakan bahwa Islam hanya sekedar agama dan tidak mencakup urusan negara; Islam tidak mempunyai kaitan agama dengan sistem pemerintahan kekhalifahan, termasuk kekhalihan Khulafa al-Rasyidin, bukanlah sebuah sistem politik keagamaan atau keislaman, tetapi sebuah sistem yang duniawi. Ali Abd Raziq sendiri menjelaskan pandangan pokok pandangannya bahwa: Islam tidak menetapkan suatu rezim pemerintah tertentu, tidak pula mendasarkan kepada kaum muslim suatu sistem pemerintahan tertentu lewat mana mereka harus diperintah; tetapi Islam telah memberikan kita kebebasan mutlak untuk mengorganisasikan negara sesuai dengan kondisi-kondisi intelektual, sosial, ekonomi yang kita miliki dan dengan mempertimbangkan perkembangan sosial dan tuntutan zaman.[28]
Dari enam pemikir politik (Ibnu Abi Rabi’, Farabi, Mawardi, Ghazali, Ibnu Taimiyah dan Ibnu Khadun) yang ditampilkan untuk mewakili alam pikiran politik Islam sampai Zaman Pertengahan tidak ada seorangpun yang mempertanyakan sistem pemerintahan yang mereka temukan pada zaman mereka masing-masing, artinya sejak Rasul menjadi Kepala Negara di Negara Islam pertama yang berpusat di Madinah, Rasul tidak pernah menentukan bentuk sebuah Negara Islam, apakah harus, teokrasi, monarkhi, republik atau bentuk lainnya, begitu pandangan pemikir-pemikir Islam lainnya pada era sesudahnya.[29]
Dalam konteks Indonesia, polarisasi itu juga terjadi, namun bagi Munawir setelah menganalisa ketiga pemikiran yang berkembang akhirnya ia berkesimpulan: Setelah memperhatikan kelemahan-kelemahan mendasar pada dua aliran (integralistik dan sekularistik), kiranya bertanggungjawab terhadap Islam kalau kita kemudian cenderung mengikuti aliran simbiotik yaitu paradigma penengah antara integralistik dengan paradigma sekularistik.[30]
Lebih lanjut Munawir mengemukakan bahwa bangsa Indonesia khususnya umat Islam patut bersyukur bahwa para pendiri negara ini telah merumuskan Pancasila untuk dijadikan ideologi negara. Dengan demikian, hendaknya umat Islam Indonesia menerima negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila ini sebagai sasaran akhir dari aspirasi politiknya. Dalam kaitan ini dapat dikemukakan, baik dalam sistem politik maupun sistem hukum, terdapat persamaan antara Republik Indonesia dan sebagian besar dari negara-negara Islam yang ada di dunia sekarang ini, sama-sama mengikuti pola politik barat, dengan adaptasi dan modifikasi, dan sama dalam hal, selain dalam bidang-bidang perkawinan, pembagian warisan dan perwakafan, sistem hukum di negara-negara tersebut tidak sepenuhnya bersumberkan hukum Islam.[31]
Alasan lain adalah bahwa dalam proses penyusunan UUD 1945 dan Pancasila sebagai dasar negara serta isinya sesuai dengan teori dan konsepsi siyasah Islam yang mengedepankan musyawarah dan tidak ada satu butirpun yang merugikan atau mempersulit, prinsip-prinsip keadilan juga tercermin di sana serta semangat dan jiwanya relevan dengan prinsip-prinsip umum pensyariatan hukum Islam. Untuk itu dilihat dari sisi ini pun menurut Ibrahim Khosen, pemerintahan RI tidak diragukan lagi bahwa eksistensinya cukup Islami dan oleh sebab itu kebijakannya wajib ditaati selama untuk kemaslahatan.
Pemenuhan keadilan dan kesejahteraan inilah yang harus bagi suatu pemerintahan yang didukung oleh masyarakat. Rasulullah sendiri sebenarnya memberikan isyarat, bahwa kekuasaan memang bukan tujuan dari politik kaum muslimin. Rasulullah sendiri mencanangkan usaha perbaikan budaya politik atau pelurusan pengelolaan kekuasaan dan menghimbau kaum muslimin terutama ulama dan para elite politiknya untuk menjaga moralitas politik.[32]
Dalam pemikiran politik Munawir bahwa isu negara Islam itu sebenarnya sangat modern, artinya pada zaman nabi tidak pernah ada perdebatan apakah perlu negara Islam atau tidak. Tetapi begitu ada konsep tentang negara, dan ada pengertian baru tentang pemerintahan modern, maka wacana tentang negara Islam mulai lahir. Maka wacana Negara seperti Islam misalnya, sebenarnya berkaitan dengan perkembangan baru dunia Islam pasca-kolonial, bukan wacana berdasarkan syariah yang abadi dan tidak berubah. Tema melawan teokrasi ini biasanya dibicarakan dengan cara silent syariah.[33]
Kunci utama dari pendukung tema ini adalah penolakan terhadap apa yang disebut mitologi negara Islam, yaitu sebuah negara yang berdasar pada pemahaman total hukum Islam (syariah) dan peleburan monopolistik kekuasaan dan agama. Gerakan ini juga mendesakkan dialog antar agama dan perjuangan untuk menciptakan sebuah masyarakat politik demokratis dan pluralistik. Dalam konteks Indonesia, masih menurut Munawir mengkaji gerakan Islam politik tidak bisa dinilai secara apriori sebagai bentuk tentatif dari tarik menarik kepentingan di ranah politik saja. Gerakan Islam politik di Indonesia tidaklah hadir secara spontan.
Paling tidak ada empat hal yang melatarinya. Pertama, globalisasi, dengan medium kecanggihan teknologi komunikasi, seperti televisi, internet dan sebagainya, telah menyingkap tabir-tabir penindasan dan kekerasan yang dialami sebagian masyarakat Islam di berbagai belahan dunia seperti Pelestina, Afganistan, Irak, sehingga memunculkan solidaritas umat Islam Global. Kedua, Islam politik sebenarnya merupakan gejala politik keagamaan yang tidak bisa dipisahkan dari konteks power struggle. Di dalamnya terjadi perkawinan yang sempurna antara politik dan agama. Motif-motif politik yang berupaya menempatkan Islam dalam lingkar kekuasaan negara, sebagai sistem yang mengatur semua aspek kehidupan, termasuk norma hukum, sosial-budaya, sistem ekonomi, dan tata hubungan internasional, mendapatkan legitimasinya dalam bahasa agama. Ketiga, pengalaman politik Indonesia di awal kemerdekaan, mengenai rasionalisasi birokrasi yang berimplikasi pada perampingan laskar rakyat hanya pada laskar yang mendapat pendidikan dan pelatihan dari Belanda dan Jepang sedangkan yang berasal dari iniasiatif rakyat seperti laskar di bawah komando Ibnu Hajar di Kalimantan, Kahar Muzakar di Makasar dan sebagainya tidak mendapat ruang politik dalam pemerintahan yang baru. Akibatnya, kelompok yang tersingkirkan ini menjadi gerakan pemberontak yang mengusung negara Islam dan penegakan syariat Islam, karena sejak awal mereka memang menjadikan Islam sebagai simbol perlawanan terhadap penjajah. Keempat, adanya pengalaman penerapan syariat Islam di masa-masa kerajaan dahulu, seperti pernah termaktub dalam Undang-undang Sultan Adam tahun 1835 yang dikeluarkan oleh Sultan Adam al-Watsiq billah, di masa kerajaan Banjar ataupun yang terjadi Aceh dan Padang-Minangkabau. Hal ini tentunya menjadi ingatan yang tetap hidup dalam bawah sadar sosial masyarakat tertentu. Keempat realitas ini tidak dilihat dalam kerangka tradisionalis yang beranggapan bahwa Indonesia memiliki legitimasi histories dalam penerapan dan penegakan syariat Islam di Indonesia. Juga bukan dalam kerangka liberalis yang mengganggap bahwa pengalaman penerapan syariat Islam tidak memiliki akar historisnya di Indonesia.
Adapun yang menjadi dasar Pemikiran Politik Islam Munawir Sadzali adalah kontekstualisasi teks doktrin guna melakukan aktualisasi ajaran Islam. Kontekstualisasi ini dilakukan karena telah terjadinya perubahan-perubahan sosial. Inilah yang menjadi spirit reaktualisasi ajaran Islam. Menurutnya reaktualisasi adalah upaya reinterpretasi terhadap doktrin Islam yang memiliki validitasnya sendiri. Ia harus dilakukan, untuk menampung kebutuhan hidup yang terus berkembang. Perspektif yang tidak sama jika dilihat dari sudut pandangan sejarah itu menuntut kemampuan kaum muslimin untuk merumuskan ulang nilai-nilai normatif dalam konteks relevansinya bagi kebutuhan hidup. Prinsip-prinsip teori metodologi hukum (ushul fiqh) dan kaidah-kaidah hukum agama (qawaid al-fiqh) akan menjaga agar proses penafsiran kembali itu tidak menyimpang dari prinsip yang terkandung dalam hal yang ingin ditafsirkan ulang statusnya, dan tidak bertentangan dengan maksud dan tujuan status hal itu sendiri.
 Secara tidak disadari, proses reaktualiasasi itu telah menjadi alami dalam kehidupan kaum muslimin. Konfigurasi antara nilai-nilai normatif dan reaktualisasi ajaran agama akan tetap menjadi kebutuhan yang nyata, selama kaum muslimin tetap pada pendirian untuk tidak melangkahi ketentuan sumber tekstual, tetapi juga tidak bersedia menarik diri dari pola kehidupan yang senantiasa berubah. Dengan kata lain, konfigurasi itu merupakan upaya menjaga kontinuitas (persambungan tradisi) di tengah perubahan, agar tidak kehilangan akar-akar budaya dan keagamaan mereka.
Terjadinya proses reaktualiasi dan konsekuensinya perubahan ketentuan adalah hal-hal yang telah diterima sebagai konsensus itu menunjukkan vitalitas nilai-nilai normatif Islam. Tidak mudah dilakukan perubahan atasnya, tetapi tetap tidak tertutup kemungkinan bagi perubahan. Dasar lain yang menjadi landasan pemikiran politik Munawir adalah ijtihad. Pemikiran politik Islam, dalam hal ini, merupakan ijtihad politik dalam rangka menemukan nilai-nilai Islam dalam konteks sistem dan proses politik yang sedang berlangsung. Munawir memandang bahwa semua proses politik dalam sejarah, termasuk suksesi kekuasaan baik yang dilakukan oleh Abu Bakar, Umar, Utsman maupun Ali, sepenuhnya adalah inisiatif dan ijtihad manusia (para sahabat nabi) belaka. Tak ada pentunjuk dari nabi, apalagi dari Tuhan, tentang bagaimana seharusnya sebuah tata politik (polity) diciptakan. Dengan kata lain masalah politik sepenuhnya adalah rasional. Menurut Munawir, ijtihad merupakan wujud kegiatan akal untuk berpikir, yang inherent dengan inti ajaran Islam sendiri (Alquran maupun Hadis). Ijtihad bukan lahir dari proses sejarah sebagaimana terjadi di Barat, tetapi lebih dikarenakan oleh dorongan Alquran dan Hadis agar manusia mempergunakan pikirannya dalam menghadapi problema kehidupan. Penggunaan ijtihad tidak terbatas wilayahnya, baik terhadap masalah-masalah yang tidak ada ketentuan dalam Alquran dan Hadis maupun terhadap masalah-masalah yang sudah ada ketentuan dalam nash, meskipun Hadis Muadz dalam sejarahnya hanya menyebutkan pada masalah yang tidak terdeteksi dalam nash. Lebih lanjut Munawir mendorong tokoh-tokoh intelektual sesama Muslim untuk melakukan ijtihad secara jujur, untuk menjadikan Islam lebih tanggap terhadap berbagai kebutuhan situasi lokal dan temporal Indonesia. Menurutnya, dalam perkembangan sejarah doktrin Islam terdapat banyak penguasa Islam yang berani menempuh kebijakan hukum yang tidak sesuai secara harfiyah dengan bunyi ayat-ayat Alquran dan atau ucapan maupun tindakan Nabi Muhammad Saw. Maka kalau kita berusaha memahami ajaran Islam dengan akal budi, dan tentu saja dengan rasa penuh tanggungjawab kepada Islam, kita bukanlah yang pertama dalam berijtihad. Munawir menyebutkan bahwa pelopor itu tidak lain ialah Umar bin Khattab sendiri.[34]
Diilhami oleh keberanian dan kejujuran Umar, Munawir menyatakan bahwa harus dilakukan langkah-langkah yang berani dan jujur dalam memberlakukan ajaran-ajaran Islam. Seraya meyakini dinamisme dan vitalitas doktrin Islam, ia mengusulkan agar kaum muslim melaksanakan agenda-agenda reaktualisasi lewat ijtihad, untuk menjadikan Islam lebih sesuai dengan kekhasan lokal dan temporal Indonesia. Gagasan kontroversial yang banyak ia lakukan agaknya secara sadar dimunculkan olehnya agar tidak terjadi diskriminasi dan penomorduaan sekelompok anggota warga bangsa di bumi Indonesia yang plural ini. Sebab, menurut keyakinannya diskriminasi apalagi hegemoni terhadap sekelompok warga secara terang-terangan jelas bertentangan dengan prinsip demokrasi. Baginya demokrasi adalah salah satu nilai fundamental yang ada dalam Islam. Baginya yang penting adalah bagaimana memperjuangkan nilai-nilai Islam, bukan universum formalistiknya. Islam hanya dilihat sebagai sumber inspirasi-motivasi, landasan etik-moral, bukan sebagai sistem sosial dan politik yang berlaku secara keseluruhan. Dengan kata lain, Islam tidak dibaca dari sudut doktrinalnya, tetapi coba ditangkap spirit dan rohnya. Dan, visi Munawir tentang Indonesia masa depan adalah Indonesia yang demokratis, semua mempunyai hak yang sama dan tidak ada diskriminasi. Sehingga akan terwujudlah cita-cita Islam sebagai rahmatan lil alamin.

E. Penutup
            Ada tiga agenda yang paling menonjol dalam pemikiran seorang Munawir. Pertama, menuntaskan Pancasila sebagai asas organisasi sosial-kemasyarakatan. Kedua, pembenahan lembaga-lembaga pendidikan Islam. Ketiga, penguatan keberadaan Pengadilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam. Jika ditelusuri, sosok Munawir bukan hanya terkenal dengan terobosan-terobosannya dalam pemerintahan, tetapi juga konsistensi pemikirannya, khususnya berkaitan dengan pandangannya mengenai hubungan Islam dan ketatanegaraan. Jika ditelaah, pandangan Munawir tentang hubungan Islam dan negara layaknya sebuah garis lurus; menurutnya tidak ada ketetapan doktrinal yang mengharuskan kaum muslim untuk mendirikan negara Islam. Pandangan ini dipegang Munawir sejak awal perkembangan inteletualnya hingga akhir hayatnya. Keberadaan Munawir Sjadzali dalam wilayah intelektual Indonesia, tak diragukan lagi. Ia merupakan salah satu pemikir modern dalam wacana pemikiran politik Islam di Indonesia. Di satu sisi kehadirannya mampu mendobrak tatanan baru pola pemikiran politik Islam dengan menghadirkan suasana baru ketika berhadapan dengan teks-teks Islam.
            Tentang Islam dan Tata Negara, Munawir cenderung mengikuti aliran ketiga, aliran yang pada satu sisi menolak anggapan bahwa dalam Islam terdapat segala-galanya, termasuk sistem politik, dan pada sisi lain tidak setuju dengan anggapan bahwa Islam adalah agama yang sama sekali sama dengan agama-agama lain, aliran yang percaya bahwa dalam Islam terdapat seperangkat prinsip dan tata nilai etika bagi kehidupan bermasyarakat dan bernegara seperti yang ditemukan dalam Alquran, yang memiliki kelenturan dalam pelaksanaan dan penerapannya dengan memperhatikan perbedaan situasi dan kondisi antara satu zaman dengan zaman lain serta antara satu budaya dengan budaya lain.
            Islam tidak pernah menentukan suatu bentuk yang baku dalam pembentukan sebuah Negara, artinya sejak Rasul menjadi Kepala Negara di Negara Islam pertama yang berpusat di Madinah, Rasul tidak pernah menentukan bentuk sebuah Negara Islam, apakah harus, teokrasi, monarkhi, republik atau bentuk lainnya, begitu pandangan pemikir-pemikir Islam lainnya pada era sesudahnya.

DAFTAR PUSTAKA


Ali Abd Muth’i Muhammad. Filsafat Politik Antara Barat dan Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2010.

Asep Gunawan (Ed.).  Artikulasi Islam Kultural, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004.

Azyumardi Azra (Ed.). Menteri-menteri Agama RI; Biografi Sosial-Politik, Jakarta: Kerjasama INIS, PPIM dan Badan Litbang Agama Departemen Agama RI, 1998.
Bahtiar Effendy. Islam Dan Negara; Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia ,terj. Ihsan Ali Fauzi, Jakarta: Paramadina, 1998.

Deliar Noer. Partai Islam di Pentas Nasional 1945-1965, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1987.

Din Syamsudin. Usaha Pencarian Konsep Negara Dalam Sejarah Pemikiran Politik Islam dalam Jurnal Ulumul Quran, No.2 Vol.IV, tahun 1993.

Esposito, John L. Islam and Politics, New York: Syracuse University Press, 1984.

Ija Suntana. Pemikiran Ketatanegaraan Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2010.

Istinbath, Jurnal Hukum dan Ekonomi Islam, STAIN Mataram, 2004.

M. Amin Abdullah. Dinamika Islam Kultural: Pemetaan Atas Wacana Keislaman Kontemporer, Bandung: Mizan, 2000.

Muhammad Husein Haikal. Al Hukumah al Islamiyah, Kairo: Dar al Maarif, 1983.

Munawir Sadzali. Islam dan Tata Negara: ajaran, sejarah dan pemikiran, Jakarta: UI Press, 1991.

Munawir Sjadzali.  Ijtihad kemanusiaan, Jakarta: Paramadina, 1997.


Munawir Sjadzali. Indonesia’s Muslim Parties and Their Political Concepts, Thesis untuk Master of Arts, Graduate School, Washinton DC: George Town University, 1957.
Munawir Sjadzali. Memori Akhir Tugas Menteri Agama Republik Indonesia, Masa Bakti 1988-1993 Kabinet Pembangunan V, Jakarta: 1993.
Sayono Eljawie, http//:nusantara centre.co.id.

Ulumul Quran No. 3, Vol. VI, Tahun 1995

Yudian W. Asmin; Peran Hasbi Ash-Shiddieqy dalam Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia Abad XX; dalam Ke Arah Fiqh Indonesia, Ed. Yudian W.Asmin, Yogyakarta: FSHI, 1994.





[1] Penulis adalah Dosen tetap PNS IAIN SU Pembina Tk. I Lektor Kepala Gol. IV/b, mengajar Mata Kuliah “Bahasa Inggris Hukum (ESP: Law)” di PPs UNPAB, PPs UMSU. Kurang dari setahun tinggal di Negeri Paman Sam Amerika pada tahun 2006 karena mendapat Scholarship on TESOL (Teachers of English to Speakers of Other Languages) dari US Department of State (Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat di Washington DC. dan Florida Amerika Serikat. Bersertifikat TESOL. E-mail: aanwarnur@yahoo.com. Facebook: Anwarsyah Noor.

[2] Sebagai perbandingan dalam pandangan mengenai pengertian ketatanegaraan Islam, Dr. Ija Suntana berpendapat bahwa ada empat pemaknaan Ketatanegaraan Islam yang berkembang: 1). Sesuatu yang diyakini umat Islam tentang Negara (kekuasan politik dan system ketatanegaraan) 2). Sesuatu yang ditafsirkan oleh umat Islam tentang Negara dari sumber ajaran mereka ( dari teks-teks Alquran dan Hadis) 3). Sesuatu yang dilakukan oleh umat Islam dalam praktik bernegara (dimensi sejarah dan tradisi politik umat Islam)  4). Sesuatu yang dikonsepkan oleh umat Islam tentang Negara. (yakni analisis tokoh tentant politik seperti Ibnu Khaldun, Ibnu Sina dll). Lebih lanjut Lihat, Ija Suntana, Pemikiran Ketatanegaraan Islam (Bandung: Pustaka Setia, 2010), h. 13-14.
[3] Untuk lebih lengkap, Lihat, Munawir Sadzali, Islam dan Tata Negara: ajaran, sejarah dan pemikiran (Jakarta: UI Press, 1991), h. 1-3.
[4] Lebih lengkap tentang  47 (empat puluh tujuh) pasal Piagam Madina, Lihat, Munawir Sadzali, Islam dan Tata NegaraIbid., h. 10-15
[5] Ibid. h. 16.
[6] Munawir Sjadzali, Dari Lembah Kemsikinan, dalam buku: Kontekstualisasi Ajaran Islam, 70 Tahun Prof. Dr. Munawir Sjadzali, MA., M. Wahyuni Nafis (Ed.), (Jakarta: Paramadina, 1995, h 7.  
[7] Munawir selalu membawa latar belakang pendidikannya itu ke mana saja beliau ditugaskan sebagai diplomat. Sehingga hal ini mempengaruhi kegemarannya untuk mempelajari dan mengoleksi buku-buku keagamaan, walaupun bekerja di Kementerian Luar Negeri. Lihat Nurcholish Madjid, Prof. Dr.Munawir Sjadzali, Antara Diplomasi dan Tugas Kiai, dalam buku: Kontekstualisasi Ajaran Islam, 70 Tahun Prof. Dr.Munawir Sjadzali, MA., M. Wahyuni Nafis (Ed.), Ibid, h.164-165. 
[9] Istinbath, Jurnal Hukum dan Ekonomi Islam, STAIN Mataram, 2004, h. 58
[10] Ibid.
[11] Ibid.
[12] Azyumardi Azra (Ed.), Menteri-menteri Agama RI; Biografi Sosial-Politik (Jakarta: Kerjasama INIS, PPIM dan Badan Litbang Agama Departemen Agama RI, 1998), h. 394. 
[13] Ibid.
[14] M. Amin Abdullah, Dinamika Islam Kultural: Pemetaan Atas Wacana Keislaman Kontemporer,  (Bandung, Mizan, 2000), h. 26 dan 246. 
[15] Dalam peta pemikiran Islam kontemporer di Indonesia, posisi Munawir bisa disejajarkan dengan Abdurrahman Wahid, Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib,dan lain-lain. Baca Yudian W. Asmin ; Peran Hasbi Ash-Shiddieqy dalam Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia Abad XX; dalam Ke Arah Fiqh Indonesia, Ed. Yudian W.Asmin, (Yogyakarta: FSHI, 1994), h. 10. Begitu juga Ulumul Quran No. 3, Vol. VI, Tahun 1995, h. 32.
[16] Lihat, Bahtiar Effendy, Islam Dan Negara; Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia,terj. Ihsan Ali Fauzi, (Jakarta: Paramadina, 1998), h. 2. 
[17] Lihat, Azyumardi Azra (Ed),  Op. Cit., h. 401
[18]  Munawir Sjadzali, Memori Akhir Tugas Menteri Agama Republik Indonesia, Masa Bakti 1988-1993 Kabinet Pembangunan V, (Jakarta, 1993).

[19] M. Wahyuni Nafis (Ed.), Op.Cit, h. 83.
[20] Lihat, Munawir, Islam dan Tata Negara, Op. Cit., 4-7.
[21] Maksudnya: urusan peperangan dan hal-hal duniawiyah lainnya, seperti urusan politik, ekonomi, kemasyarakatan dan lain-lainnya.

[22] Thaghut ialah syaitan dan apa saja yang disembah selain dari Allah s.w.t.
[23] Bahtiar Effendy, Hendro Prasetyo dan Arief Subhan, Munawir Sjadazali; Pencairan Ketegangan Ideologis dalam Azyumazri Azra dan Saiful Anam (ed.), Menteri-Menteri Agama RI; Biografi Sosial Politik, INIS, Op. Cit., h. 392.
[24] Lihat, Din Syamsudin, Usaha Pencarian Konsep Negara Dalam Sejarah Pemikiran Politik Islam dalam Jurnal Ulumul Quran, No.2 Vol.IV, tahun 1993, h. 5. Hal ini dimuat juga dalam Asep Gunawan (ed.), Artikulasi Islam Kultural, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004)
[25] Ibid.
[26] Lihat, Munawir Sjadazali, Islam dan Tata Negara, Op. Cit., h. 1
[27] Dien Syamsuddin, Usaha..Ibid., h. 6.
[28] Ibid., h. 7
[29] Lihat, Munawir Sjadazali, Islam dan Tata Negara, Op. Cit., h. 41-107, 235
[30] Munawir, Islam dan Tata Negara, Op. Cit., h. 235-236
[31] Ibid.
[32] Ibid.
[33]  Dalam perspektif pemikiran ada tiga cara pembacaan syariah golongan Islam Liberal ini: (1) The liberal syariah (suatu model yang menganggap bahwa syariah itu sendiri berwatak liberal jika ditafsirkan secara tepat); (2) The silent syariah (Islam menjadi liberal karena syariah mendiamkan topik-topik tertentu, sehingga umat Islam bebas mengadopsi watak liberalisme); dan (3) The interpreted syariah (Islam menjadi liberal jika syariah ditafsirkan secara liberal, sebab pemaknaan syariah dikembalikan pada penafsiran manusia). Hermeneutika yang paling kontroversial dari tiga konsep tersebut ialah konsep interpretasi syariah, di mana menurut mereka syariah perlu ditafsirkan kembali. Itulah sebabnya golongan ini mencoba melakukan penafsiran. Ketiga istilah ini cukup menarik, karena sejauh ini belum pernah ada yang membuat kategori pembacaan syariah yang tajam seperti ini, yang bisa menyadarkan kita bahwa di kalangan Islam liberal sekalipun ada konflik penafsiran mengenai Islam dan semuanya dalam koridor klaim mencari otentisitas hukum Islam yang mampu berdialektika dengan realitas keindonesiaan. Lihat Sayono Eljawie, http//:nusantara centre.co.id.
[34] Lihat, Munawir Sjadzali, Ijtihad kemanusiaan (Jakarta: Paramadina, 1997), h.57.

1 komentar: