ISLAM DAN KETATANEGARAAN DALAM
PERSPEKTIF
MUNAWIR SJADZALI
Oleh: Anwarsyah Nur[1]
Abstrak
Dalam perspektif Munawir Sjadzali Islam memiliki
seperangkat prinsip dan tata nilai etika bagi kehidupan bermasyarakat dan
bernegara seperti yang ditemukan dalam Alquran, yang memiliki kelenturan dalam
pelaksanaan dan penerapannya dengan memperhatikan perbedaan situasi dan kondisi
antara satu zaman dengan zaman lain serta antara satu budaya dengan budaya
lain. Islam tidak pernah menentukan suatu bentuk yang baku dalam pembentukan
sebuah negara, artinya
sejak Rasul menjadi Kepala Negara di Negara Islam pertama yang berpusat di
Madinah, Rasul tidak pernah menentukan bentuk sebuah Negara Islam, apakah harus
berbentuk teokrasi, monarki, republik atau bentuk lainnya, begitu juga
pandangan pemikir-pemikir Islam lainnya berpendapat sama dalam konteks ini.
Abstract
Islam and State-affairs in the Perspectives of Munawir Sjadzali: Islam has a set of principles and value order for people’s life and affairs
of state (polity) as found in Alquran in which having elasticity in its
application by seeing different situation and condition between one period to
another one and between one culture to another one. Islam has never been
determining a standard form of government, this means since the Prophet as a
Head of first Islamic State in Madinah, he never declared that the form of
Islamic State should be in a theocracy, or a monarchy, or a republic etc.,
likewise, the other Islamic thinkers are of similar opinion in this context.
Kata Kunci : Islam, ketatanegaraan, bentuk negara Islam
A. Pendahuluan
Terdapat tiga aliran di kalangan
umat Islam tentang hubungan antara Islam dan ketatanegaraan. Aliran
pertama berpendapat bahwa Islam bukanlah semata-mata agama dalam
pengertian Barat, yakni hanya menyangkut hubungan antar manusia dan Tuhan.
Sebaliknya Islam adalah suatu agama yang sempurna dengan berbagai aspeknya
termasuk kehidupan bernegara. Para penganut aliran ini umumnya berpendirian
bahwa:
- Islam adalah agama yang lengkap termasuk di dalamnya
diatur sistem ketatanegaraan dan politik; oleh karenanya dalam bernegara
umat Islam harus kembali kepada sistem ketatanegaraan Islam dan jangan
meniru sistem ketatanegaraan Barat.
- Sistem ketatanegaraan Islam adalah yang
dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw. dan empat Khulafaur rasyidin.
Tokoh-tokoh aliran
ini adalah: Hasan Al Banna, Rasyid Ridha, Sayyid Qutb, dan Al Maududi.[2]
Alran kedua berpendapat Islam adalah
agama dalam pengertian Barat, yang tidak ada hubungannya dengan urusan
kenegaraan. Muhammad semata-mata adalah Rasul yang mengajak umatnya ke jalan
Tuhan dan Nabi Muhammad tidak pernah dimaksudkan untuk mendirikan dan
mengepalai satu Negara. Tokoh aliran ini adalah Ali Abd al Raziq dan Thaha
Husein.
Aliran ketiga menolak kedua pendapat
di atas dan berpendapat bahwa dalam Islam hanya terdapat tata nilai etika bagi
kehidupan bernegara. Tokohnya adalah: Muhammnad Husein Haikal.
Menurut Munawir Sjadzali bahwa dalam
mengkaji hubungan antara Islam dan politik (ketatanegaraan)) perlu dijelaskan
terlebih dulu apa yang dimaksudkan dengan sistem politik itu.
“Sistem politik adalah
suatu konsepsi yang berisikan antara lain ketentuan-ketentuan tentang siapa
sumber kekuasaan Negara; siapa pelaksana kekuasaan tersebut; apa dasar dan
bagaimana cara untuk menentukan kepada siapa kewenangan melaksanakan kekuasaan
itu diberikan; kepada siapa pelaksana kekuasaan itu bertangggungjawab dan
bagaimana bentuk tanggung jawab itu”[3]
Umat
Islam memulai hidup bernegara setelah Nabi hijrah ke Yathrib (Madinah), dan di
Madinah inilah pertama kali lahir satu komunitas Islam yang bebas dan merdeka
di bawah pimpinan Nabi dengan pengikutnya dari Makkah (Muhajirin) dan dari
Madinah (Anshor). Di Madinah terdapat juga komunitas lain seperti Yahudi dan
sisa-sisa suku Arab yang belum Islam. Karena heterogennya kehidupan suku bangsa
di Madinah dan untuk mengatur kehidupan berbagai suku yang majemuk, Nabi
kemudian mengeluarkan aturan yang disebut dengan Piagam Madinah. Para sejarawan dan ahli politik menyebutnya sebagai
UUD atau Konstitusi pertama Negara Islam Madinah yang dibangun oleh Nabi.[4]
Dalam
pandangan Munawir bahwa Piagam Madinah merupakan landasan bagi kehidupan
bernegara untuk masyarakat majemuk di Madinah yang antara lain berpendapat:
- Semua pemeluk Islam, meskipun berasal dari
banyak suku, tetapi merupakan satu komunitas.
- Hubungan amtara sesama anggota komunitas Islam
dan komunitas-komunitas lainnya didasarkan atas prinsip-prinsip a).
bertetangga baik b). saling membantu c). membela yang teraniaya d). saling
menasehati dan e). menghormati perbedaan agama.
Suatu
hal yang perlu dicatat bahwa Piagam Madinah yang oleh banyak pakar politik
disebut sebagai Konstitusi Negara Islam yang pertama itu, tidak menyebut agama
negara.[5]
Bagaimana selanjutnya corak pemikiran
Munawir Sjadzali khususnya tentang ketatanegaraan dalam Islam dan
terobosan-terobosan pemikirannya yang lain seperti tentang hukum, pendidikan
dan lain-lain akan dibahas dalam makalah ini sesuai dari sumber aslinya yakni
karya Munawir Sjadzali, “Islam dan Tata
Negara” dan juga merujuk kepada pendapat dan juga pandangan para tokoh
Islam lainnya tentang pemikiran Munawir Sjadzali tersebut.
B. Biografi Munawir Sjadzali
Sejarah
Singkat Kehidupan Munawir Sjadzali lahir di desa Karanganom, Klaten, Jawa Tengah,
pada 7 November 1925.[6] Ia
adalah anak tertua (delapan bersaudara) dari pasangan Abu Aswad Hasan Sjadzali
(putra Tohari) dan Tas’iyah (putri Badruddin). Dari segi ekonomi, memang keluarga
Abu Aswad jauh dari cukup, tetapi dari segi agama keluarga ini sangat taat
beragama. Kondisi ekonomi yang serba kekurangan dan penghargaan yang tinggi
terhadap ilmu-ilmu keagamaan, menghadapkan Munawir pada satu pilihan
pendidikan: madrasah. Selain karena biaya pendidikan di lembaga pendidikan
Islam ini relatif murah, juga karena lembaga pendidikan ini mengutamakan
ilmu-ilmu tradisional Islam. Karena alasan ini pula, setelah menamatkan Madrasah
Ibtidaiyah di kampungnya, Munawir melanjutkan pendidikan ke Mambaul Ulum, Solo.
Dengan segala penderitaan dan perjuangan, pada tahun 1943 tepatnya di usia 17
tahun, Munawir berhasil menyelesaikan sekolahnya di Mambaul Ulum dengan
mengantongi ijazah dari madrasah terkenal ini.[7]
Melihat
pendidikan yang ditempuh, Munawir tidak hanya dapat dikategorikan sebagai
santri secara formal, tetapi juga substansial. Sebagai santri, ciri yang paling
menonjol dari Munawir adalah kemampuannya untuk memahami kitab-kitab klasik
Islam. Pada gilirannya, hal ini membawa implikasi pada luasnya wawasan
keagamaan, karir intelektual dan pemerintahan, serta kebijakan-kebijakan yang
berkaitan dengan jabatannya sebagai Menteri Agama.
Setelah
menyelesaikan pendidikannya di Mambaul Ulum, Munawir melakukan pengembaraan
panjang, menjadi guru di sekolah Muhammadiyah Salatiga dan kemudian pindah menjadi
guru di Gunungpati, Semarang. Dari Gunungpati inilah keterlibatan Munawir dalam
kegiatan-kegiatan umat Islam dalam skala nasional dimulai. Kegiatan Munawir
yang tadinya hanya mengajar, berkembang ke arah kegiatan-kegiatan yang bersifat
sosial. Munawir hampir selalu dilibatkan dalam kegiatan yang diadakan oleh
badan-badan resmi maupun swasta. Bahkan di Gunungpati inilah untuk pertama
kalinya Munawir bertemu dengan Bung Karno yang waktu itu menjabat sebagai Ketua
Umum Putera (Pusat Tenaga Rakyat) dan berkunjung ke Gunungpati, sebagai
penghargaan atas suksesnya kecamatan ini dalam mengumpulkan dukungan untuk
Putera. Munawir merupakan tipe seorang aktifis yang banyak berkiprah di
beberapa organisasi, di antaranya ketua Angkatan Muda Gunungpati, ketua Markas
Pimpinan Pertempuran Hisbullah-Sabilillah (MPHS) dan ketua umum Gerakan Pemuda
Islam Indonesia (GPII) Semarang.[8]
Seusai
muktamar GPII (1950) Munawir mempergunakan waktu luangnya untuk mencoba
menelaah konsepsi politik Islam yang berkembang di masa klasik. Dengan
memanfaatkan perpustakaan KH. Munawar Kholil, yang penuh dengan kitab-kitab
Islam klasik, Munawir berhasil menulis buku “Mungkinkah
Negara Indonesia Bersendikan Islam?” Buku ini pula membuat Bung Hatta
tertarik pada Munawir, lalu Bung Hatta memfasilitasinya memperoleh pekerjaan
sebagai staf Seksi Arab/Timur Tengah Deplu (1950). Jadi, buku inilah yang
mengantarkan Munawir meniti karir yang lebih tinggi, Kementerian Luar Negeri
dan Kementerian Agama. Selanjutnya
kehidupan Munawir mulai berubah. Kesempatan untuk melanjutkan studi ke luar
negeri seperti yang diidam-idamkannya telah terbuka lebar. Munawir melanjutkan
studi bidang politik di Exeter University, London (1953-1954). Kemudian ia
menjadi Atase/Sekretaris III Kedutaan Besar RI di Washington, AS (1956-1959).
Pada masa ini, ia menyempatkan diri melanjutkan studi di George Town
University, Amerika Serikat hingga memperoleh ijazah Master of Art bidang
Filsafat Politik dengan tesis “Moslem
Parties and Their Political Concepts (1959)”.[9]
Selepas
meraih gelar master, karirnya makin cemerlang. Ia dipercaya menjabat Setiausaha
Pertama, Kedutaan Besar Republik Indonesia di Colombo, Sri Lanka (1965-1965).
Lalu menjabat Kuasa Usaha, Kedutaan Besar Republik Indonesia di Sri Lanka
(1965-1968). Kemudian di tarik ke Jakarta menjabat Kepala Biro, Tata Usaha
Sekretariat Jenderal, Deplu (1969-1970). Lalu bertugas di Kedutaan Besar
Republik Indonesia di London (1971-1974), sebelum diangkat menjadi Kepala Biro
Umum, Deplu (1975-1976). Kemudian, ia diangkat menjabat Duta Besar di Uni
Emirat Arab, Bahrain dan Qatar (1976-1980), sebelum ditarik kembali ke Jakarta
menjabat Direktur Jenderal Politik Deplu (1980-1983). Kemudian diangkat sebagai
Menteri Agama Republik Indonesia (1983-1993). Selepas itu, ia pun mengakhiri
karir dan pengabdiannya pada negara sebagai Ketua Komisi Nasional Hak Asasi
Manusia dan anggota Dewan Pertimbangan Agung (1993-1998). Selama menjadi
Menteri Agama Republik Indonesia, Munawir dianggap sebagai pahlawan terhadap
penerimaan ide asas tunggal Pancasila, pembenahan terhadap lembaga pendidikan agama,
pengiriman dosen IAIN ke Eropa dan Amerika, penyelesaian UU No. 7 tahun 1989
tentang Peradilan Agama, dan penyelesaian Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Orientasi Munawir adalah untuk kemashlahatan umat Islam di Indonesia.[10]
Karya,
Gagasan dan Penghargaan selain sebagai diplomat ulung, Munawir juga seorang
intelektual yang cukup produktif, sehingga sangat banyak karya yang telah
ditulisnya. Beberapa karya yang telah ia tulis mengenai beberapa bidang, mulai
dari pengalamannya sebagai menteri agama, wawasan keislaman, ketatanegaraan,
pendidikan agama, pemerintahan dan tentu saja tentang perkembangan pemikiran
Islam.
Sebagai seorang negarawan dan ilmuan, ia amat
berminat dalam mengembangkan ilmu Islam. Penguasaan dan pemikirannya menonjol
dalam dua bidang yaitu Hukum Islam dan Fiqh Siyasi. Di antara karya ilmiah yang
pernah dihasilkannya adalah (1) Islam dan Tatanegara: Ajaran, Sejarah dan
Pemikiran, (2) Islam: Realitas Baru dan Orientasi Masa Depan Bangsa, dan (3)
Mungkinkah Negara Indonesia Bersendikan Islam?. Buku ketiganya ini mendapat
perhatian umum.
Munawir dikenal sebagai seorang diplomat yang tenang,
tulus dan pandai mendongeng. Seringkali ketika menyampaikan pemikiran dan
gagasannya, ia menggunakan dongeng sebagai perantara. Suatu ketika, saat
menjabat sebagai Menteri Agama, di depan para ulama Jawa Barat Munawir
mengisahkan persahabatan antara petani dan beruang.
“Suatu ketika, beruang marah karena seekor lalat
mengganggu tidur petani. Beruang mengambil batu besar dan kemudian
menghunjamkannya ke dahi petani yang dihinggapi lalat. Siapa pun tidak
meragukan kesetiaan beruang, tetapi kebodohannya membuat petani mati. Yang
mirip beruang banyak terdapat di masyarakat. Berlagak membela agama, padahal
mementingkan dirinya sendiri,” ujarnya.
Semasa menjabat Menteri Agama, Munawir telah
membangun Departemen Agama menjadi departemen yang bergengsi. Ia juga tercatat
sebagai menteri agama yang sangat memerhatikan pendidikan. Terutama dengan
kebijakannya mengirim mahasiswa untuk belajar di luar negeri.
Ia senang mendengarkan musik. Memiliki rekaman
Tchaikovsky dan Beethoven, namun penggemar biduanita Mesir, Ummi Kalsum, ini
merasa lebih at home dan in betul bila menikmati gambus.
Di mata para sahabatnya, ia seorang pemimpin
pembaharu pemikiran Islam dan mempunyai banyak gagasan. Dialah yang menggagas
pertemuan tahunan Menteri-Menteri Agama Negara Brunei Darussalam, Republik
Indonesia, Malaysia dan Singapura. Ide dan gagasannya dalam kongres
Menteri-Menteri Agama seluruh dunia di Jeddah pada tahun 1988, telah diterima
beberapa negara, sehingga diadakan empat kali pertemuan tahunan untuk
meningkatkan pembaharuan pemikiran perihal Islam di kalangan negara anggota.
Dalam pengabdiannya, ia telah mendapatkan sejumlah
penghargaan, termasuk dari sejumlah negara sahabat. Antara lain, penghargaan Bintang Mahaputra Adipradana dan Satyalencana Karya Satya Kelas II dari
Pemerintah Indonesia, Great Cordon of
Merit dari Pemerintah Qatar, Medallion
of the Order of Quwait-Special Class dari Kuwati, dan Heung in Medal-Second Class dari Korea Selatan. Sedangkan gelar
Doktor Honoris Causa dalam Ilmu Agama Islam ia dapatkan dari IAIN Syarif Hidayatullah,
Jakarta tanggal 22 Februari 1994.[11]
Selain Menag Said Agil Husin Al Munawar, sejumlah
mantan pejabat dan tokoh yang hadir di rumah duka antara lain mantan Menteri
Penerangan Harmoko, mantan Mendagri Rudini, dan mantan Menko Ekuin JB.
Sumarlin. Selama dirawat di rumah sakit, beberapa tokoh juga menjenguk. Bahkan,
mantan Presiden Soeharto baru menjenguknya dua hari sebelum Munawir meninggal.
Bangsa Indonesia kehilangan seorang tokoh besar,
diplomat santun dan pembaharu Islam. Mantan Menteri Agama (1983-1988 dan
1988-1993) dan Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia pertama (1996-1998),
Prof. Dr. H. Munawir Sjadzali, MA. meninggal dunia di Rumah Sakit Pondok Indah,
Jakarta, Jumat 23 Juli 2004 pukul 11.20. Jenazah mantan anggota Dewan
Pertimbangan Agung (1993-1998), ini disemayamkan di rumah duka di Jalan Bangka
VII No.5-B Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, dan dimakamkan di tempat pemakaman
keluarga Giritama, Bogor, Jawa Barat, hari Sabtu 24 Juli 2004.
Pria kelahiran Desa Karanganom, Klaten, 7 November
1925, ini meninggalkan istri, Murni Sjadzali, yang dinikahinya pada tahun 1950
dan enam anak, yaitu Muchlis (almarhum), Mustahdiyati, Mustain, Muhtadi,
Mutiawati, dan Muhflihatun, serta 14 cucu. Ia sempat dirawat di rumah sakit
tersebut sejak 8 Juni 2004, akibat serangan stroke dan komplikasi beberapa
penyakit.[12]
Adapun beberapa judul tulisan Munawir
Sjadzali sebagai berikut:
- Bunga Rampai Wawasan
Islam Dewasa Ini, Jakarta : Universitas Indonesia Press, 1994.
- Islam, Realitas Baru,
dan Orientasi Masa Depan Bangsa, Penerbit Universitas Indonesia Press,
1993
- Islam dan Tata Negara,
Penerbit Universitas Indonesia Press, 1991
- Pendidikan Agama dan
Pengembangan Pemikiran Keagamaan, Departemen Agama RI, Biro Hukum dan
Humas
- Islam And Governmental
Sistem, INIS, 1991
- Islam dan Tata Negara,
Penerbit Universitas Indonesia Press, 1991
- Peranan Ilmuwan Muslim
dalam Negara Pancasila, Departemen Agama, 1984
- Kiprah Pembangunan
Agama Menuju Tinggal Landas,Biro Hukum & Humas, Departemen Agama RI,
1986
- Pokok-Pokok
Kebijaksanaan Menteri Agama dalam Pembinaan Kehidupan Beragama, Proyek
Penelitian Keagamaan, Badan Penelitian dan Pengembangan Agama, Departemen Agama
R.I., 1984
- Tugas Pengajian Islam,
Universitas Nasional, 1986
- Kebangkitan Kesadaran
Beragama Sebagai Motivasi Kemajuan Bangsa, Biro Hukum & Humas
Departemen Agama RI, 1987
- Partisipasi Umat
Beragama dalam Pembinaan Nasional, Biro Hukum dan Humas, Bagian
Dokumentasi/Publikasi, 1984
- Mungkinkah Negara
Indonesia Bersendikan Islam, Usaha Taruna, 1950
- Ijtihad Kemanusiaan,
Paramadina, 1997
- Polemik Reaktualisasi
Ajaran Islam, Pustaka Panjimas, 1988
- Dan lain-lain
C. Terobosan-terobosan Munawir Sjadzali Dalam Pemikiran Islam
1. Metodologinya dalam Penerapan Hukum
Masih segar dalam ingatan kita
tentang ide-ide reaktualisasi ajaran Islam, pembentukan Madrasah Aliyah Program
Khusus (MAPK) dan pengiriman dosen IAIN untuk studi ke negara-negara Barat.
Siapa lagi kalau bukan Munawir Sjadzali, tokoh di balik gagasan yang cemerlang
dan terobosan yang berani itu. Langkah Munawir ini dapat dikatakan sebagai
solusi atas kebekuan pemikiran Islam dan sistem pendidikan Islam. Meski
mengawali karir di Kementerian Luar Negeri, penguasaan dan kepiawaian Munawir
terhadap pengetahuan agama Islam membuat dirinya sukses menahkodai Departemen
Agama. Terbukti, ia dipercaya Presiden Soeharto untuk memimpin Departemen ini
selama dua periode, sejak 14 Maret 1983 (1983-1993).
Selama menjabat Menteri agama, tidak
sedikit kebijakan yang telah diambil Munawir. Setidaknya ada tiga agenda yang
paling menonjol. Pertama, menuntaskan Pancasila sebagai asas organisasi sosial-kemasyarakatan.
Kedua,
pembenahan lembaga-lembaga pendidikan Islam. Ketiga, penguatan
keberadaan Pengadilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam.[13]
Jika ditelusuri, sosok Munawir bukan hanya terkenal dengan
terobosan-terobosannya dalam pemerintahan, tetapi juga konsistensi
pemikirannya, khususnya berkaitan dengan pandangannya mengenai hubungan Islam
dan ketatanegaraan. Jika ditelaah, pandangan Munawir tentang hubungan Islam dan
negara layaknya sebuah garis lurus; menurutnya tidak ada ketetapan doktrinal
yang mengharuskan kaum muslim untuk mendirikan negara Islam. Pandangan ini
dipegang Munawir sejak awal perkembangan inteletualnya hingga akhir hayatnya.
Keberadaan Munawir Sjadzali dalam wilayah intelektual Indonesia, tak diragukan
lagi. Ia merupakan salah satu pemikir modern dalam wacana pemikiran politik
Islam di Indonesia. Di satu sisi kehadirannya mampu mendobrak tatanan baru pola
pemikiran politik Islam dengan menghadirkan suasana baru ketika berhadapan
dengan teks-teks Islam. Dan di sisi lain, secara genial ia mampu memadukan
gagasan-gagasan yang ada dalam berbagai tradisi yang berbeda berdasarkan
beberapa kerangka teoritisnya. Untuk dapat menyelami lebih lanjut pemikirannya,
alangkah baiknya kalau kita paparkan secara inherent mengenai setting
historisnya. Amin Abdullah menggaris-bawahi bahwa lingkungan yang menjadi
tempat seseorang dan masyarakat berada, ikut mempengaruhi proses aktualisasi
norma-norma dalam kehidupan praksis-sosialnya. Keterkaitan antara dimensi
intelektual dan praktikal, antara teori dan praktis, sebenarnya lebih mewarnai
corak pemikiran keagamaan di manapun ia berada.[14]
Jadi, ide dan gagasan pemikiran
seseorang pasti selalu based on
historical problems. Oleh karena itu, terkait dengan Munawir Sjadzali
sebagai representasi pemikir politik Islam, konteks lingkungannya cukup strategis
untuk diabstraksikan.[15]
Metodologi Ijtihad Munawir Sjadzali
Dalam menggali hukum, Munawir menggunakan tiga kerangka metodologi, yakni, pertama
adat (kebiasaan), nash diturunkan
dalam suatu kasus adat tertentu. Jikalau adat berubah, maka gugur pula dalil
hukum yang terkandung dalam nash tersebut. Menurutnya, nash hanyalah sebuah
tawaran bagi pemecahan masalah (hukum, sosial, politik) yang efektif dalam
kondisi sosial masyarakat tertentu. Apabila terjadi pertentangan antara nash
dan adat, dan ternyata adat lebih menjamin kemaslahatan yang dibutuhkan oleh
masyarakat, maka adat dapat diterima. Kekuatan hukumnya sama kuatnya dengan hukum
yang ditetapkan berdasarkan nash. Hal ini sesuai dengan Hadis Nabi bahwa
sesuatu yang dipandang baik oleh umat Islam, maka dianggap baik di sisi Allah. Kedua,
nasakh, yang dalam pandangan Munawir,
nasakh adalah pergeseran atau pembatalan hukum-hukum atau petunjuk yang
terkandung dalam ayat-ayat yang diterima oleh Rasul pada masa sebelum-sebelumnya.
Munawir sering mengutip pendapat Mufassir besar seperti Ibn Katsir, Almaraghi, Muhammad
Rasyid Ridha dan Sayyid Qutb. Menurut para mufassir tersebut, nasakh merupakan
suatu keharusan karena perubahan hukum sangat erat kaitannya dengan perubahan
tempat dan waktu. Oleh karena itu, nasakh sangatlah diperlukan. Ketiga,
maslahah. Mengutip dari konsep
maslahah Althufi bahwa jika terjadi perselisihan antara kepentingan masyarakat
dengan nash dan ijma, maka wajib mendahulukan kepentingan masyarakat atas nash
dan ijma. Pemikiran Althufi ini dibangun atas empat prinsip dasar, yakni: 1)
Kebebasan akal untuk menentukan baik dan buruk [tanpa harus dibimbing oleh
kebenaran wahyu, 2) Maslahah adalah dalil syara yang tidak terikat dengan
ketentuan nash, 3) Maslahah hanya dapat dijadikan dalil syara dalam bidang muamalah,
tidak dalam bidang ibadah dan 4) Maslahah adalah dalil syara yang terkuat.
Adat, nasakh dan maslahah selalu menjadi landasan metodologis Munawir dalam
melakukan ijtihad. Kadang ketiganya digunakan secara terpisah, dan tidak jarang
digunakan secara bersamaan. Dalam menerapkan ijtihad di bidang waris misalnya,
Munawir menggabungkan ketiga metodologi tersebut dengan mengangkat latar
belakang sosial masyarakat Solo, Jawa Tengah. Karena, di Solo kaum perempuan
merupakan pihak yang aktif dalam memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. Dalam konteks
masyarakat Arab yang menganut budaya patriakhi (budaya yang menguntungkan
laki-laki), sistem pembagian waris yang ditawarkan Alquran sangat revolusioner,
karena perempuan mendapat bagian setengah dari bagian laki-laki.
Namun untuk konteks masyarakat Solo,
ketentuan pembagian warisan sebagaimana ditawarkan Alquran tidak memberikan
kemaslahatan dan tidak adil. Menurut Munawir ayat waris dalam Alquran perlu di
nasakh (ditangguhkan pemberlakuannya) apabila dalam suatu masyarakat berlaku
budaya matrilineal atau bilateral, seperti di Solo dan sejumlah wilayah di
Indonesia. Peran dan status perempuan di Arab berbeda dengan peran dan status
perempuan yang ada pada masyarakat Solo. Penangguhan pemberlakuan ayat waris
dalam Alquran akan memunculkan pemikiran baru (ijtihad) yang lebih
memperjuangkan nilai kemaslahatan bagi masyarakat Indonesia dalam pembagian
warisan. Hal ini harus diakui sebagai sebuah produk hukum, agar umat Islam Indonesia
tidak terjebak pada dualisme hukum dalam pembagian warisan. Umat Islam tidak
tampak lagi sebagai orang yang tidak konsisten yaitu mengaku sebagai orang Islam,
namun dalam sisi lain tidak melaksanakan hukum Islam secara holistic dalam keseharian kehidupan
mereka. Hubungan Islam dan Negara dalam Pandangan Munawir Sjadzali Dalam
konteks dunia Islam, perhatian Munawir terhadap masalah hubungan antara Islam
versus negara, yang terutama terefleksikan dalam karya intelektualnya, sebenarnya
sesuatu yang wajar. Di seluruh dunia Islam, hubungan Islam dan negara memang
sudah lama menjadi satu persoalan pelik. Ungkapan inna al-islama din wa dawlah yang populer di lingkungan kaum muslim
sebenarnya lebih menunjuk pada manifestasi Islam dalam sejarah daripada sebuah
rumusan konsepsional yang applicable
dalam realitas.
Oleh karena itu, tepatnya sejak
keruntuhan kolonialisame Barat pada pertengahan abad ke-20 negara-negara Islam seperti
Turki, Mesir, Sudan atau Aljazair mengalami kesulitan dalam upaya membangun
hubungan yang memungkinkan antara Islam dan negara. Di sejumlah negara, posisi
Islam versus negara senantiasa berada pada kutub-kutub pemikiran dan aksi
politik yang saling tarik menarik dan antagonistik. Padahal pada saat yang sama
di sejumlah negara yang lain Islam menduduki posisi penting, baik karena masa
lalunya maupun karena Islam merupakan agama yang dianut mayoritas penduduknya.
Oleh karena itulah kalangan pengamat muncul pertanyaan krusial: apakah Islam
sesuai atau tidak dengan sistem politik modern, di mana ide negara bangsa (nation-state) merupakan unsur
terpentingnya.[16]
2.
Pembaruannya dalam Pendidikan Islam
Munawir Sjadzali sangat getol melakukan pembenahan
pendidikan, khususnya pendidikan di wilayah Departemen Agama. Hal ini karena
menurutnya, pendidikan merupakan media yang paling tepat untuk menyiapkan calon
pemimpin bangsa yang tangguh. Untuk itu, Munawir segera melakukan pembenahan
terhadap IAIN. Kenapa IAIN? Karena, IAIN merupakan lembaga pendidikan tinggi
Islam yang strategis, akan tetapi tidak diimbangi dengan landasan hukum yang
kuat. Kondisi demikian selanjutnya berimplikasi pada kecilnya anggaran yang
diterima IAIN, khususnya jika dibandingkan dengan perguruan tinggi negeri
lainnya yang bernaung di bawah payung Depdikbud. Sehingga, hal ini harus
dicarikan solusi secepatnya, agar IAIN betul-betul mampu menjadi lembaga yang
mencetak kader berpendidikan agama yang berkualitas. Setidaknya ada dua langkah
yang dilakukannya sebagai solusi atas hal itu, pertama, pembenahan yang
dilakukan dari segi hukum, dan kedua, dari segi Sumber Daya Manusia (SDM).[17]
Dari segi hukum, Munawir menjalin kerjasama dengan
Depdikbud dan Kantor Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara. Baik Mendikbud,
Prof. Dr. Nugroho Notosusanto maupun Menpan, Prof. Dr. Saleh Afif menyambut
baik prakarsa ini. Mereka bahkan sangat antusias membantu usaha Departemen
Agama untuk menata pendidikan agama di Indonesia. Pihak Mendikbud mengatakan,
”Jika IAIN dapat memenuhi syarat-syarat minimal sebuah perguruan tinggi yang
ditetapkan oleh Depdikbud, maka IAIN akan diberlakukan sebagai perguruan tinggi
yang statusnya sama dengan perguruan tinggi yang berada di bawah Depdikbud”.
Pengakuan ini merupakan kemajuan yang sangat berarti bagi IAIN.
Tidak lama kemudian, Rancangan Peraturan Pemerintah
(RPP) tentang IAIN akhirnya tersusun. Pada bulan Mei 1985, Nugroho Notosusanto,
Saleh Afif dan Munawir menghadap Presiden Soeharto di Bina Graha. RPP tentang
dasar hukum IAIN tersebut akhirnya ditetapkan menjadi PP No. 33 Tahun 1985.
Dengan PP ini status, perlakuan, dan fasilitas IAIN yang tersebar di berbagai
wilayah Indonesia sederajat dengan perguruan tinggi negeri yang dikelola
Depdikbud. Peraturan Pemerintah itu selanjutnya dijabarkan dalam Keppres No. 9
Tahun 1987 yang kemudian menjadi bagian dari UU No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem
Pendidikan Nasional. Artinya pendidikan agama diletakkan sebagai sub-sistem
pendidikan nasional, yang menjadi bagian dan penopang sistemnya.
Setelah berhasil membenahi segi dasar hukum IAIN,
langkah Munawir selanjutnya adalah melakukan pembenahan dari segi sumber daya
manusia. Pertama kali yang mendapat perhatian Munawir adalah sistem pendidikan
madrasah. Selama ini madrasah masih dianggap sebagai lembaga pendidikan “kelas
dua” dibandingkan sekolah umum. Fasilitas yang minimal, lokasi yang kebanyakan
di pedesaan, dan kurikulum yang tidak seimbang antara pendidikan agama dan
umum, menyebabkan lembaga ini tidak banyak menghasilkan bibit unggul bagi IAIN.
Untuk itu, ia meninjau kembali SKB Tiga Menteri tahun 1975 yang dikeluarkan
pada masa Prof. Dr. Mukti Ali menjabat Menteri Agama. SKB Tiga Menteri antara
lain menetapkan bahwa madrasah harus bermuatan 70% pengetahuan umum dan 30%
pengetahuan agama, dengan harapan agar madrasah sederajat dengan sekolah umum,
terutama dari segi kurikulum.
Maksud SKB ini memang baik, tetapi akibat yang
tampaknya kurang diperhitungkan adalah tamatan Madrasah Aliyah (MA) menjadi
lebih siap masuk ke perguruan tinggi umum daripada perguruan tinggi agama.
Mereka jelas bukan merupakan bibit unggul untuk IAIN. Penguasaan agama tamatan
MA bukan hanya sangat lemah, lebih dari itu bahkan tidak dapat diandalkan untuk
menjadi calon-calon ulama. Sehingga, Munawir merasa perlu untuk menyempurnakan
SKB Tiga Menteri itu.
Bentuk penyempurnaan itu adalah mengadakan pilot project
Madrasah Aliyah Program Khusus (MAPK) dengan muatan kurikulum 70% pengetahuan
agama dan 30% pengetahuan umum. Dengan struktur kurikulum demikian,
konsekuensinya tamatan MAPK, tidak dapat masuk ke perguruan tinggi umum, tetapi
mereka adalah bibit-bibit unggul bagi IAIN. Dengan proyek ini, harapan untuk
mengembangkan ilmu-ilmu keislaman yang sejalan dengan tantangan modernitas
melalui IAIN dengan cepat akan segera terwujud. Ide penyempurnaan SKB Tiga
Menteri ini disetujui oleh Presiden Soeharto. Sehingga pada 1988 proyek MAPK
dimulai dan untuk tahap pertama, dibuka di lima lokasi; Padang Panjang, Ciamis,
Yogyakarta, Ujung Pandang, dan Jember. Selanjutnya, MAPK ditambah di lima kota
lagi, yaitu di Banda Aceh, Lampung, Solo, Banjarmasin, dan Mataram.[18]
Dalam perkembangannya, menurut Dr. Zamakhsjari
Dhofier, jumlah MAPK sudah membengkak menjadi 110 buah. Salah satu keberhasilan
proyek ini, menurut Munawir adalah berhasilnya 48 alumni MAPK tahun 1991
mengikuti proses belajar mengajar di Universitas Al-Azhar. Melihat keberhasilan
proyek MAPK ini, Presiden Soeharto memberikan saran agar proyek serupa juga
diterapkan untuk Madrasah Tsanawiyah.
Kegelisahan Munawir bukan hanya berkaitan dengan
kondisi Madrasah saja, melainkan juga mutu staf pengajar IAIN. Sehingga, bersamaan
dengan pelaksanaan proyek MAPK, ia juga berusaha meningkatkan kualitas dosen
IAIN. Hal ini dilakukan dengan menghidupkan kembali tradisi mengirim dosen IAIN
untuk studi ke negara-negara Barat –khususnya ke Universitas McGill, (Montreal,
Kanada) dan Universitas Leiden (Belanda) yang dulu pernah dirintis Mukti Ali.
Menurutnya, ilmuwan Muslim Indonesia yang mampu berkomunikasi dengan dunia
modern adalah mereka yang di samping mendapat pendidikan S1 di Timur, juga
mengenyam pendidikan S2 dan S3 di Barat. Munawir menunjuk nama-nama seperti
Prof. Dr. HM. Rasjidi, Prof. Dr. Mukti Ali, dan Prof. Dr. Harun Nasution sebagai prototype ilmuwan Muslim Indonesia.
Program pengiriman dosen ke luar negeri relevan
dengan usaha menjaring alumni IAIN yang berkualitas, sehingga pada tahun 1988
dibuka Program Pembibitan Calon Dosen IAIN. Selain pesertanya sangat terbatas,
hanya diikuti oleh tak lebih dari 30 peserta, program ini juga hanya menerima
mereka yang indeks prestasi kumulatifnya di atas tiga. Di samping itu, para
peserta juga harus memiliki dasar-dasar penguasaan bahasa yang memadai, baik
Inggris maupun Arab. Hal ini untuk memenuhi persyaratan yang diminta
lembaga-lembaga pemberi beasiswa dan universitas-universitas Barat.
Pada periode 1988-1991, program pengiriman dosen ini
mengalami sukses. Tak kurang dari 75% pesertanya diterima untuk program S2 dan
S3 di universitas-universitas Barat, seperti Mc.Gill di Kanada; UCLA di
Columbia, Chicago, dan Harvard di USA; London, Leiden, dan Hamburg di Eropa
Barat; serta ANU, Monash, dan Flinders di Australia. Kesuksesan ini mempunyai
pengaruh yang signifikan terhadap kelangsungan pengiriman mahasiswa tahap
berikutnya. Menurut catatan Munawir, selama ia menjadi Menteri Agama,
Departemen Agama telah mengirim sebanyak 225 mahasiswa ke Barat. Sampai tahun
1993, dari mereka itu telah kembali ke Indonesia sebanyak 12 orang dengan
menyandang gelar Ph.D dan sebanyak 67 orang dengan gelar MA.[19]
Pengiriman dosen IAIN ke universitas-universitas
Barat dapat dipandang sebagai bagian dari pelaksanaan konsep Munawir Sjadzali
tentang hubungan antara Islam dan negara. Munawir menginginkan agar para dosen
IAIN mampu berkomunikasi dengan para teknokrat dan birokrat yang rata-rata
tamatan universitas-universitas Barat. Kelompok pertama merepresentasikan
kalangan agama, sedangkan yang kedua mewakili
unsur-unsur modernitas.
D.
Pemikirannya Tentang Islam dan Tata Negara
Menurut Munawir[20]
di dalam Alquran terdapat sejumlah ayat yang mengandung petunjuk dan pedoman
bagi manusia dalam hidup bermasyarakat dan bernegara. Di antara ayat-ayat
tersebut mengajarkan tentang kedudukan manusia di bumi dan tentang
prinsip-prinsip yang diperhatikan dalam kehidupan kemasyarakat, seperti
prinsip-prinsip musyawarah atau konsultasi, ketaatan kepada pemimpin, keadilan,
persamaan, dan kebebasan beragama.
Kedudukan Manusia di Bumi:
26. Katakanlah:
"Wahai Tuhan yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang
yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau
kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang
yang Engkau kehendaki. di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya
Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.(Ali Imran)
5. kepunyaan-Nya-lah kerajaan langit dan bumi. dan kepada
Allah-lah dikembalikan segala urusan.(Al Hadid)
165. dan Dia lah
yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian
kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa
yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu Amat cepat siksaan-Nya dan
Sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.( Al An’aam).
.
14. kemudian Kami
jadikan kamu pengganti-pengganti (mereka) di muka bumi sesudah mereka, supaya Kami
memperhatikan bagaimana kamu berbuat.(Yunus).
Musyawarah dan Konsultasi:
159. Maka disebabkan
rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu
bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari
sekelilingmu. karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan
bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu.[21]
kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada
Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.(Ali
Imran)
38. dan (bagi)
orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat,
sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka
menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka.(Asy Syura)
Ketaatan Kepada Pemimpin:
59. Hai orang-orang
yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara
kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah
ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman
kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan
lebih baik akibatnya.(An Nisa’)
Keadilan:
90. Sesungguhnya
Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum
kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan.
Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.(An Nahl)
58. Sesungguhnya
Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan
(menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu
menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang
sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat.(An
Nisa’)
Persamaan:
13. Hai manusia,
Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan
dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling
kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah
ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui
lagi Maha Mengenal.(Al Hujarat)
Hubungan Antara Umat dari
Berbagai Agama:
256. tidak ada
paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas jalan yang
benar daripada jalan yang sesat. karena itu Barangsiapa yang ingkar kepada
Thaghut[22]
dan beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul
tali yang Amat kuat yang tidak akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi Maha
mengetahui.(Al Baqarah)
99. dan Jikalau
Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya.
Maka Apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang
yang beriman semuanya?(Yunus)
64. Katakanlah:
"Hai ahli Kitab, Marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang
tidak ada perselisihan antara Kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali
Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian
kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Tuhan selain Allah". jika
mereka berpaling Maka Katakanlah kepada mereka: "Saksikanlah, bahwa Kami
adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)".(Ali Imran)
ž
8. Allah tidak
melarang kamu untuk berbuat baik dan Berlaku adil terhadap orang-orang yang
tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang Berlaku adil.
9. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu
menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan
mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. dan
Barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, Maka mereka Itulah orang-orang
yang zalim.(Al
Mumtahanah)
Mengenai
ketatanegaraan dalam konteks Indonesia Munawir berpendapat bahwa sejak
negara ini merdeka masalah tersebut telah menyulut ketegangan, permusuhan,
bahkan konflik fisik antara keduanya. Dalam masa-masa formatif negara ini kaum
Muslim tidak hanya terus menerus menyuarakan aspirasinya untuk tidak hanya
menjadikan Islam sebagai dasar negara, tetapi juga menjadikan sistem politik
Islam sebagai panduan dalam mengatur negara. Sejarah menjadi menarik
berhubungan dengan munculnya beberapa komunitas yang berobsesi mewujudkan
sebuah negara agama (DI TII/NII) berdasarkan syariah di abad modern ini.
Kerasnya sikap kaum Muslim dalam memperjuangkan aspirasi politiknya ternyata
membawa implikasi negatif terhadap masyarakat Islam sendiri, baik pada masa
Orde Lama maupun Orde Baru. Di kalangan pemerintah tidak hanya muncul
kecurigaan terhadap kaum Muslim, tetapi mereka juga dipandang sebagai kelompok
yang tidak sepenuhnya bersedia menerima Pancasila sebagai ideologi negara.
Situasi demikian pada gilirannya menimbulkan respons balik. Tidak sedikit
pemikir dan aktivis politik Islam yang memandang negara dengan curiga. Dalam
kaitan ini dapat dikatakan bahwa dalam negara yang mayoritas penduduknya
beragama Islam berkembang rasa saling curiga antara kelompok Islam dan negara.
Dalam situasi sosial politik seperti inilah Munawir diangkat sebagai Menteri Agama.
Di sini Munawir segera dihadapkan kepada kelompok-kelompok Islam lama yang
masih memperjuangkan ideologi Islam dan secara a priori menolak Pancasila
sebagai asas tunggal; kalangan intelektualisme baru yang tidak lagi
memperjuangkan ideologi Islam atau negara Islam, sebaliknya malah bersemboyan Islam
Yes, Partai Islam No, dan kalangan ormas-ormas Islam yang lain masih bersikap
menunggu. Perkembangan-perkembangan yang terjadi di kalangan umat Islam
Indonesia tersebut tidak terlepas dari pengamatan Munawir, meskipun secara
formal ia bekerja di Departemen Luar Negeri. Bahkan karena tidak terlibat
langsung dalam organisasi-organisasi Islam, Munawir mengakui dapat sepenuhnya
mendudukkan diri sebagai pengamat. Bahkan dengan posisinya ini, ia dapat
berpikir dan menganalisis secara objektif perkembangan yang terjadi di kalangan
umat Islam Indonesia.[23]
Problematika hubungan Islam dan
negara di tanah air sebenarnya setua Indonesia sendiri. Sejak perdebatan
konstituante pasca kemerdekaan (akhir tahun1950-an), masalah ini meruncing dan
tidak pernah terselesaikan. Perdebatan berkisar tentang bentuk negara yang
hendak diciptakan, apakah teokratis atau sekuler. Dua sisi ekstrim yang sulit
dipertemukan. Akhirnya jalan tengah yang paling baik ditempuh yaitu negara yang
non teokratis tetapi agama dilihat sebagai satuan denominasi dalam masyarakat
yang diakui dan dipelihara oleh negara. Negara Pancasila itulah sebutannya.
Pada dasarnya dalam perspektif pemikiran politik Islam, setidaknya ada tiga
paradigma hubungan antara agama dan negara yaitu: Pertama, paradigma integralistik.
Dalam konsep ini agama dan negara menyatu (integral). Agama Islam dan negara,
dalam hal ini tidak dapat dipisahkan. Wilayah agama juga meliputi wilayah
negara (din wa dawlah). Karenanya
menurut paradigma ini, Negara merupakan lembaga politik dan keagamaan sekaligus.
Pemerintahan negara diselenggarakan atas dasar kedaulatan ilahi (devine sovereignity) karena memang
kedaulatan itu berasal dan berada di tangan Tuhan.[24]
Paradigma ini dianut oleh kelompok
Syiah. Hanya saja dalam term politik Syiah, untuk menyebut negara (ad-dawlah) diganti dengan istilah imamah (kepemimpinan). Sebagai lembaga
politik yang didasarkan atas legitimasi keagamaan dan mempunyai fungsi
menyeleggarakan kedaulatan Tuhan negara dalam perspektif Syiah bersifat
teokratis, salah satu wacana yang dikritik oleh kaum Islam liberal. Negara
teokratis mengandung unsur pengertian bahwa kekuasaan mutlak berada di tangan Tuhan,
dan konstitusi Negara berdasarkan pada wahyu Tuhan (syar’i). Paradigma
integralistik ini yang kemudian melahirkan paham Negara agama, di mana praktek
ketatanegaraan diatur dengan menggunakan prinsip-prinsip keagamaan, sehingga
melahirkan konsep Islam din wa dawlah. Sumber hukum positifnya adalah sumber
hukum agama.[25]
Selain kelompok Syiah, pendukung
paradigma ini juga berasal dari kelompok Suni seperti Hasan Albanna, Sayyid
Quthb, Syekh Muhammad Rasyid Rida dan Maulana Almaududi.[26]
Kedua, Paradigma
Simbiotik. Menurut pandangan ini agama versus negara berhubungan secara
simbiotik, yakni suatu hubungan yang bersifat timbal balik dan saling
memerlukan. Dalam hal ini agama memerlukan negara karena dengan negara agama
dapat berkembang, sebaliknya Negara memerlukan agama, karena dengan agama,
negara dapat berkembang dalam bimbingan moral dan etika. Paradigma simbiotik
ini dapat ditemukan dalam pemikiran Almawardi dalam bukunya al-Ahkam al-Sultaniyyah. Dalam buku ini
ia mengatakan bahwa kepemimpinan negara (imamah)
merupakan instrumen untuk meneruskan misi kenabian guna memelihara agama dan
mengatur dunia (harasah al-din wa
al-dunya). Pemeliharaan agama dan pengaturan dunia merupakan dua jenis
aktifitas yang berbeda, namun mempunyai hubungan secara simbiotik. Keduanya
merupakan dua dimensi dari misi kenabian.[27]
Ketiga, Paradigma
Sekularistik. Paradigma ini menolak baik hubungan integralistik maupun hubungan
simbiotik antara agama dan negara. Sebagai gantinya, paradigma sekularistik
mengajukan pemisahan antara agama daan negara. Dalam konteks Islam, paradigma
sekularistik menolak pendasaran Negara kepada Islam, atau paling tidak menolak
determinasi Islam akan bentuk tertentu dari negara. Pemrakarsa paradigma ini adalah
Ali Abd al-Raziq, seorang cendekiawan Muslim dari Mesir. Dalam bukunya al-Islam wa Ushul al-Hukm, Raziq mengatakan
bahwa Islam hanya sekedar agama dan tidak mencakup urusan negara; Islam tidak
mempunyai kaitan agama dengan sistem pemerintahan kekhalifahan, termasuk kekhalihan
Khulafa al-Rasyidin, bukanlah sebuah sistem
politik keagamaan atau keislaman, tetapi sebuah sistem yang duniawi. Ali Abd
Raziq sendiri menjelaskan pandangan pokok pandangannya bahwa: Islam tidak
menetapkan suatu rezim pemerintah tertentu, tidak pula mendasarkan kepada kaum
muslim suatu sistem pemerintahan tertentu lewat mana mereka harus diperintah;
tetapi Islam telah memberikan kita kebebasan mutlak untuk mengorganisasikan
negara sesuai dengan kondisi-kondisi intelektual, sosial, ekonomi yang kita
miliki dan dengan mempertimbangkan perkembangan sosial dan tuntutan zaman.[28]
Dari enam pemikir politik (Ibnu Abi
Rabi’, Farabi, Mawardi, Ghazali, Ibnu Taimiyah dan Ibnu Khadun) yang
ditampilkan untuk mewakili alam pikiran politik Islam sampai Zaman Pertengahan
tidak ada seorangpun yang mempertanyakan sistem pemerintahan yang mereka
temukan pada zaman mereka masing-masing, artinya sejak Rasul menjadi Kepala
Negara di Negara Islam pertama yang berpusat di Madinah, Rasul tidak pernah
menentukan bentuk sebuah Negara Islam, apakah harus, teokrasi, monarkhi,
republik atau bentuk lainnya, begitu pandangan pemikir-pemikir Islam lainnya
pada era sesudahnya.[29]
Dalam konteks Indonesia, polarisasi
itu juga terjadi, namun bagi Munawir setelah menganalisa ketiga pemikiran yang
berkembang akhirnya ia berkesimpulan: Setelah memperhatikan kelemahan-kelemahan
mendasar pada dua aliran (integralistik dan sekularistik), kiranya
bertanggungjawab terhadap Islam kalau kita kemudian cenderung mengikuti aliran
simbiotik yaitu paradigma penengah antara integralistik dengan paradigma
sekularistik.[30]
Lebih lanjut Munawir mengemukakan
bahwa bangsa Indonesia khususnya umat Islam patut bersyukur bahwa para pendiri
negara ini telah merumuskan Pancasila untuk dijadikan ideologi negara. Dengan
demikian, hendaknya umat Islam Indonesia menerima negara Republik Indonesia
yang berdasarkan Pancasila ini sebagai sasaran akhir dari aspirasi politiknya. Dalam
kaitan ini dapat dikemukakan, baik dalam sistem politik maupun sistem hukum,
terdapat persamaan antara Republik Indonesia dan sebagian besar dari
negara-negara Islam yang ada di dunia sekarang ini, sama-sama mengikuti pola
politik barat, dengan adaptasi dan modifikasi, dan sama dalam hal, selain dalam
bidang-bidang perkawinan, pembagian warisan dan perwakafan, sistem hukum di
negara-negara tersebut tidak sepenuhnya bersumberkan hukum Islam.[31]
Alasan lain adalah bahwa dalam
proses penyusunan UUD 1945 dan Pancasila sebagai dasar negara serta isinya
sesuai dengan teori dan konsepsi siyasah Islam yang mengedepankan musyawarah
dan tidak ada satu butirpun yang merugikan atau mempersulit, prinsip-prinsip
keadilan juga tercermin di sana serta semangat dan jiwanya relevan dengan prinsip-prinsip
umum pensyariatan hukum Islam. Untuk itu dilihat dari sisi ini pun menurut
Ibrahim Khosen, pemerintahan RI tidak diragukan lagi bahwa eksistensinya cukup
Islami dan oleh sebab itu kebijakannya wajib ditaati selama untuk kemaslahatan.
Pemenuhan keadilan dan kesejahteraan
inilah yang harus bagi suatu pemerintahan yang didukung oleh masyarakat.
Rasulullah sendiri sebenarnya memberikan isyarat, bahwa kekuasaan memang bukan
tujuan dari politik kaum muslimin. Rasulullah sendiri mencanangkan usaha perbaikan
budaya politik atau pelurusan pengelolaan kekuasaan dan menghimbau kaum
muslimin terutama ulama dan para elite politiknya untuk menjaga moralitas
politik.[32]
Dalam pemikiran politik Munawir bahwa
isu negara Islam itu sebenarnya sangat modern, artinya pada zaman nabi tidak
pernah ada perdebatan apakah perlu negara Islam atau tidak. Tetapi begitu ada konsep
tentang negara, dan ada pengertian baru tentang pemerintahan modern, maka
wacana tentang negara Islam mulai lahir. Maka wacana Negara seperti Islam
misalnya, sebenarnya berkaitan dengan perkembangan baru dunia Islam
pasca-kolonial, bukan wacana berdasarkan syariah yang abadi dan tidak berubah.
Tema melawan teokrasi ini biasanya dibicarakan dengan cara silent syariah.[33]
Kunci utama dari pendukung tema ini adalah
penolakan terhadap apa yang disebut mitologi negara Islam, yaitu sebuah negara
yang berdasar pada pemahaman total hukum Islam (syariah) dan peleburan
monopolistik kekuasaan dan agama. Gerakan ini juga mendesakkan dialog antar
agama dan perjuangan untuk menciptakan sebuah masyarakat politik demokratis dan
pluralistik. Dalam konteks Indonesia, masih menurut Munawir mengkaji gerakan
Islam politik tidak bisa dinilai secara apriori sebagai bentuk tentatif dari
tarik menarik kepentingan di ranah politik saja. Gerakan Islam politik di
Indonesia tidaklah hadir secara spontan.
Paling tidak ada empat hal yang
melatarinya. Pertama, globalisasi, dengan medium kecanggihan teknologi
komunikasi, seperti televisi, internet dan sebagainya, telah menyingkap tabir-tabir
penindasan dan kekerasan yang dialami sebagian masyarakat Islam di berbagai
belahan dunia seperti Pelestina, Afganistan, Irak, sehingga memunculkan
solidaritas umat Islam Global. Kedua, Islam politik sebenarnya
merupakan gejala politik keagamaan yang tidak bisa dipisahkan dari konteks power struggle. Di dalamnya terjadi
perkawinan yang sempurna antara politik dan agama. Motif-motif politik yang
berupaya menempatkan Islam dalam lingkar kekuasaan negara, sebagai sistem yang
mengatur semua aspek kehidupan, termasuk norma hukum, sosial-budaya, sistem
ekonomi, dan tata hubungan internasional, mendapatkan legitimasinya dalam
bahasa agama. Ketiga, pengalaman politik Indonesia di awal kemerdekaan,
mengenai rasionalisasi birokrasi yang berimplikasi pada perampingan laskar
rakyat hanya pada laskar yang mendapat pendidikan dan pelatihan dari Belanda
dan Jepang sedangkan yang berasal dari iniasiatif rakyat seperti laskar di
bawah komando Ibnu Hajar di Kalimantan, Kahar Muzakar di Makasar dan sebagainya
tidak mendapat ruang politik dalam pemerintahan yang baru. Akibatnya, kelompok
yang tersingkirkan ini menjadi gerakan pemberontak yang mengusung negara Islam dan
penegakan syariat Islam, karena sejak awal mereka memang menjadikan Islam
sebagai simbol perlawanan terhadap penjajah. Keempat, adanya
pengalaman penerapan syariat Islam di masa-masa kerajaan dahulu, seperti pernah
termaktub dalam Undang-undang Sultan Adam tahun 1835 yang dikeluarkan oleh
Sultan Adam al-Watsiq billah, di masa kerajaan Banjar ataupun yang terjadi Aceh
dan Padang-Minangkabau. Hal ini tentunya menjadi ingatan yang tetap hidup dalam
bawah sadar sosial masyarakat tertentu. Keempat realitas ini tidak dilihat
dalam kerangka tradisionalis yang beranggapan bahwa Indonesia memiliki
legitimasi histories dalam penerapan dan penegakan syariat Islam di Indonesia.
Juga bukan dalam kerangka liberalis yang mengganggap bahwa pengalaman penerapan
syariat Islam tidak memiliki akar historisnya di Indonesia.
Adapun yang menjadi dasar Pemikiran
Politik Islam Munawir Sadzali adalah kontekstualisasi teks doktrin guna melakukan
aktualisasi ajaran Islam. Kontekstualisasi ini dilakukan karena telah
terjadinya perubahan-perubahan sosial. Inilah yang menjadi spirit reaktualisasi
ajaran Islam. Menurutnya reaktualisasi adalah upaya reinterpretasi terhadap doktrin
Islam yang memiliki validitasnya sendiri. Ia harus dilakukan, untuk menampung
kebutuhan hidup yang terus berkembang. Perspektif yang tidak sama jika dilihat
dari sudut pandangan sejarah itu menuntut kemampuan kaum muslimin untuk
merumuskan ulang nilai-nilai normatif dalam konteks relevansinya bagi kebutuhan
hidup. Prinsip-prinsip teori metodologi hukum (ushul fiqh) dan kaidah-kaidah hukum agama (qawaid al-fiqh) akan menjaga agar proses penafsiran kembali itu
tidak menyimpang dari prinsip yang terkandung dalam hal yang ingin ditafsirkan
ulang statusnya, dan tidak bertentangan dengan maksud dan tujuan status hal itu
sendiri.
Secara tidak disadari, proses reaktualiasasi
itu telah menjadi alami dalam kehidupan kaum muslimin. Konfigurasi antara
nilai-nilai normatif dan reaktualisasi ajaran agama akan tetap menjadi
kebutuhan yang nyata, selama kaum muslimin tetap pada pendirian untuk tidak
melangkahi ketentuan sumber tekstual, tetapi juga tidak bersedia menarik diri
dari pola kehidupan yang senantiasa berubah. Dengan kata lain, konfigurasi itu
merupakan upaya menjaga kontinuitas (persambungan tradisi) di tengah perubahan,
agar tidak kehilangan akar-akar budaya dan keagamaan mereka.
Terjadinya proses reaktualiasi dan
konsekuensinya perubahan ketentuan adalah hal-hal yang telah diterima sebagai konsensus
itu menunjukkan vitalitas nilai-nilai normatif Islam. Tidak mudah dilakukan
perubahan atasnya, tetapi tetap tidak tertutup kemungkinan bagi perubahan.
Dasar lain yang menjadi landasan pemikiran politik Munawir adalah ijtihad. Pemikiran
politik Islam, dalam hal ini, merupakan ijtihad politik dalam rangka menemukan
nilai-nilai Islam dalam konteks sistem dan proses politik yang sedang
berlangsung. Munawir memandang bahwa semua proses politik dalam sejarah, termasuk
suksesi kekuasaan baik yang dilakukan oleh Abu Bakar, Umar, Utsman maupun Ali,
sepenuhnya adalah inisiatif dan ijtihad manusia (para sahabat nabi) belaka. Tak
ada pentunjuk dari nabi, apalagi dari Tuhan, tentang bagaimana seharusnya sebuah
tata politik (polity) diciptakan.
Dengan kata lain masalah politik sepenuhnya adalah rasional. Menurut Munawir,
ijtihad merupakan wujud kegiatan akal untuk berpikir, yang inherent dengan inti
ajaran Islam sendiri (Alquran maupun Hadis). Ijtihad bukan lahir dari proses
sejarah sebagaimana terjadi di Barat, tetapi lebih dikarenakan oleh dorongan
Alquran dan Hadis agar manusia mempergunakan pikirannya dalam menghadapi
problema kehidupan. Penggunaan ijtihad tidak terbatas wilayahnya, baik terhadap
masalah-masalah yang tidak ada ketentuan dalam Alquran dan Hadis maupun
terhadap masalah-masalah yang sudah ada ketentuan dalam nash, meskipun Hadis Muadz
dalam sejarahnya hanya menyebutkan pada masalah yang tidak terdeteksi dalam
nash. Lebih lanjut Munawir mendorong tokoh-tokoh intelektual sesama Muslim
untuk melakukan ijtihad secara jujur, untuk menjadikan Islam lebih tanggap
terhadap berbagai kebutuhan situasi lokal dan temporal Indonesia. Menurutnya,
dalam perkembangan sejarah doktrin Islam terdapat banyak penguasa Islam yang
berani menempuh kebijakan hukum yang tidak sesuai secara harfiyah dengan bunyi
ayat-ayat Alquran dan atau ucapan maupun tindakan Nabi Muhammad Saw. Maka kalau
kita berusaha memahami ajaran Islam dengan akal budi, dan tentu saja dengan
rasa penuh tanggungjawab kepada Islam, kita bukanlah yang pertama dalam
berijtihad. Munawir menyebutkan bahwa pelopor itu tidak lain ialah Umar bin
Khattab sendiri.[34]
Diilhami oleh keberanian dan
kejujuran Umar, Munawir menyatakan bahwa harus dilakukan langkah-langkah yang
berani dan jujur dalam memberlakukan ajaran-ajaran Islam. Seraya meyakini
dinamisme dan vitalitas doktrin Islam, ia mengusulkan agar kaum muslim melaksanakan
agenda-agenda reaktualisasi lewat ijtihad, untuk menjadikan Islam lebih sesuai
dengan kekhasan lokal dan temporal Indonesia. Gagasan kontroversial yang banyak
ia lakukan agaknya secara sadar dimunculkan olehnya agar tidak terjadi
diskriminasi dan penomorduaan sekelompok anggota warga bangsa di bumi Indonesia
yang plural ini. Sebab, menurut keyakinannya diskriminasi apalagi hegemoni
terhadap sekelompok warga secara terang-terangan jelas bertentangan dengan
prinsip demokrasi. Baginya demokrasi adalah salah satu nilai fundamental yang
ada dalam Islam. Baginya yang penting adalah bagaimana memperjuangkan
nilai-nilai Islam, bukan universum formalistiknya. Islam hanya dilihat sebagai
sumber inspirasi-motivasi, landasan etik-moral, bukan sebagai sistem sosial dan
politik yang berlaku secara keseluruhan. Dengan kata lain, Islam tidak dibaca
dari sudut doktrinalnya, tetapi coba ditangkap spirit dan rohnya. Dan, visi
Munawir tentang Indonesia masa depan adalah Indonesia yang demokratis, semua
mempunyai hak yang sama dan tidak ada diskriminasi. Sehingga akan terwujudlah
cita-cita Islam sebagai rahmatan lil
alamin.
E. Penutup
Ada tiga agenda yang paling menonjol
dalam pemikiran seorang Munawir. Pertama, menuntaskan Pancasila
sebagai asas organisasi sosial-kemasyarakatan. Kedua, pembenahan
lembaga-lembaga pendidikan Islam. Ketiga, penguatan keberadaan
Pengadilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam. Jika ditelusuri, sosok Munawir
bukan hanya terkenal dengan terobosan-terobosannya dalam pemerintahan, tetapi
juga konsistensi pemikirannya, khususnya berkaitan dengan pandangannya mengenai
hubungan Islam dan ketatanegaraan. Jika ditelaah, pandangan Munawir tentang
hubungan Islam dan negara layaknya sebuah garis lurus; menurutnya tidak ada
ketetapan doktrinal yang mengharuskan kaum muslim untuk mendirikan negara
Islam. Pandangan ini dipegang Munawir sejak awal perkembangan inteletualnya
hingga akhir hayatnya. Keberadaan Munawir Sjadzali dalam wilayah intelektual
Indonesia, tak diragukan lagi. Ia merupakan salah satu pemikir modern dalam
wacana pemikiran politik Islam di Indonesia. Di satu sisi kehadirannya mampu
mendobrak tatanan baru pola pemikiran politik Islam dengan menghadirkan suasana
baru ketika berhadapan dengan teks-teks Islam.
Tentang Islam dan Tata Negara,
Munawir cenderung mengikuti aliran ketiga, aliran yang pada satu sisi menolak anggapan
bahwa dalam Islam terdapat segala-galanya, termasuk sistem politik, dan pada
sisi lain tidak setuju dengan anggapan bahwa Islam adalah agama yang sama
sekali sama dengan agama-agama lain, aliran yang percaya bahwa dalam Islam
terdapat seperangkat prinsip dan tata nilai etika bagi kehidupan bermasyarakat
dan bernegara seperti yang ditemukan dalam Alquran, yang memiliki kelenturan
dalam pelaksanaan dan penerapannya dengan memperhatikan perbedaan situasi dan
kondisi antara satu zaman dengan zaman lain serta antara satu budaya dengan
budaya lain.
Islam tidak pernah menentukan suatu
bentuk yang baku dalam pembentukan sebuah Negara, artinya
sejak Rasul menjadi Kepala Negara di Negara Islam pertama yang berpusat di
Madinah, Rasul tidak pernah menentukan bentuk sebuah Negara Islam, apakah
harus, teokrasi, monarkhi, republik atau bentuk lainnya, begitu pandangan
pemikir-pemikir Islam lainnya pada era sesudahnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Ali Abd Muth’i Muhammad. Filsafat Politik Antara Barat dan
Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2010.
Asep Gunawan (Ed.). Artikulasi Islam Kultural, Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2004.
Azyumardi
Azra (Ed.). Menteri-menteri Agama RI; Biografi Sosial-Politik, Jakarta:
Kerjasama INIS, PPIM dan Badan Litbang Agama Departemen Agama RI, 1998.
Bahtiar
Effendy. Islam Dan Negara; Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di
Indonesia ,terj. Ihsan Ali Fauzi, Jakarta: Paramadina, 1998.
Deliar Noer. Partai Islam di Pentas Nasional
1945-1965, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1987.
Din Syamsudin. Usaha
Pencarian Konsep Negara Dalam Sejarah Pemikiran Politik Islam dalam
Jurnal Ulumul Quran, No.2 Vol.IV, tahun 1993.
Esposito, John L. Islam
and Politics, New York: Syracuse University Press, 1984.
Ija
Suntana. Pemikiran Ketatanegaraan Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2010.
Istinbath,
Jurnal Hukum dan Ekonomi Islam, STAIN Mataram, 2004.
M.
Amin Abdullah. Dinamika Islam Kultural: Pemetaan Atas Wacana Keislaman Kontemporer,
Bandung: Mizan, 2000.
Muhammad Husein Haikal. Al Hukumah al Islamiyah,
Kairo: Dar al Maarif, 1983.
Munawir
Sadzali. Islam dan Tata Negara: ajaran, sejarah dan pemikiran, Jakarta:
UI Press, 1991.
Munawir
Sjadzali. Ijtihad kemanusiaan,
Jakarta: Paramadina, 1997.
Munawir Sjadzali. Indonesia’s Muslim Parties and
Their Political Concepts, Thesis
untuk Master of Arts, Graduate School, Washinton DC: George Town University,
1957.
Munawir
Sjadzali. Memori Akhir Tugas Menteri Agama Republik Indonesia, Masa Bakti
1988-1993 Kabinet Pembangunan V, Jakarta: 1993.
Sayono Eljawie,
http//:nusantara centre.co.id.
Ulumul
Quran No. 3, Vol. VI, Tahun 1995
Yudian
W. Asmin; Peran Hasbi Ash-Shiddieqy dalam Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia
Abad XX; dalam Ke Arah Fiqh Indonesia, Ed. Yudian
W.Asmin, Yogyakarta: FSHI, 1994.
[1]
Penulis adalah Dosen tetap PNS IAIN SU Pembina Tk. I Lektor Kepala Gol. IV/b,
mengajar Mata Kuliah “Bahasa Inggris Hukum (ESP: Law)” di PPs UNPAB, PPs UMSU.
Kurang dari setahun tinggal di Negeri Paman Sam Amerika pada tahun 2006 karena
mendapat Scholarship on TESOL (Teachers
of English to Speakers of Other Languages) dari US Department of State
(Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat di Washington DC. dan Florida Amerika
Serikat. Bersertifikat TESOL. E-mail: aanwarnur@yahoo.com. Facebook: Anwarsyah
Noor.
[2]
Sebagai perbandingan dalam pandangan mengenai pengertian ketatanegaraan Islam,
Dr. Ija Suntana berpendapat bahwa ada empat pemaknaan Ketatanegaraan Islam yang
berkembang: 1). Sesuatu yang diyakini umat Islam tentang Negara (kekuasan
politik dan system ketatanegaraan) 2). Sesuatu yang ditafsirkan oleh umat Islam
tentang Negara dari sumber ajaran mereka ( dari teks-teks Alquran dan Hadis)
3). Sesuatu yang dilakukan oleh umat Islam dalam praktik bernegara (dimensi
sejarah dan tradisi politik umat Islam)
4). Sesuatu yang dikonsepkan oleh umat Islam tentang Negara. (yakni
analisis tokoh tentant politik seperti Ibnu Khaldun, Ibnu Sina dll). Lebih
lanjut Lihat, Ija Suntana, Pemikiran Ketatanegaraan Islam
(Bandung: Pustaka Setia, 2010), h. 13-14.
[3]
Untuk lebih lengkap, Lihat, Munawir Sadzali,
Islam dan Tata Negara: ajaran, sejarah
dan pemikiran (Jakarta: UI Press, 1991), h. 1-3.
[4]
Lebih lengkap tentang 47 (empat puluh tujuh)
pasal Piagam Madina, Lihat, Munawir Sadzali, Islam dan Tata Negara, Ibid.,
h. 10-15
[5] Ibid. h. 16.
[6] Munawir Sjadzali, Dari Lembah Kemsikinan, dalam buku:
Kontekstualisasi Ajaran Islam, 70 Tahun Prof. Dr. Munawir Sjadzali, MA.,
M. Wahyuni Nafis (Ed.), (Jakarta: Paramadina, 1995, h 7.
[7] Munawir selalu membawa latar
belakang pendidikannya itu ke mana saja beliau ditugaskan sebagai diplomat.
Sehingga hal ini mempengaruhi kegemarannya untuk mempelajari dan mengoleksi
buku-buku keagamaan, walaupun bekerja di Kementerian Luar Negeri. Lihat
Nurcholish Madjid, Prof. Dr.Munawir Sjadzali, Antara Diplomasi dan Tugas Kiai,
dalam buku: Kontekstualisasi Ajaran Islam, 70 Tahun Prof. Dr.Munawir Sjadzali,
MA., M. Wahyuni Nafis (Ed.), Ibid,
h.164-165.
[8]http://www.averroes.or.id/research/munawirsjadzali-dan-international-studies
menembus -kebekuan-pendidikan-islam.
[9] Istinbath, Jurnal Hukum dan Ekonomi Islam, STAIN
Mataram, 2004, h. 58
[10] Ibid.
[11] Ibid.
[12] Azyumardi Azra (Ed.), Menteri-menteri
Agama RI; Biografi Sosial-Politik (Jakarta: Kerjasama INIS, PPIM dan
Badan Litbang Agama Departemen Agama RI, 1998), h. 394.
[13] Ibid.
[14] M. Amin Abdullah, Dinamika
Islam Kultural: Pemetaan Atas Wacana Keislaman Kontemporer, (Bandung, Mizan, 2000), h. 26 dan 246.
[15] Dalam peta pemikiran Islam
kontemporer di Indonesia, posisi Munawir bisa disejajarkan dengan Abdurrahman
Wahid, Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib,dan lain-lain. Baca
Yudian W. Asmin ; Peran Hasbi Ash-Shiddieqy dalam Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia
Abad XX; dalam Ke Arah Fiqh Indonesia, Ed. Yudian
W.Asmin, (Yogyakarta: FSHI, 1994), h. 10. Begitu juga Ulumul Quran No. 3, Vol.
VI, Tahun 1995, h. 32.
[16] Lihat, Bahtiar Effendy, Islam
Dan Negara; Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia,terj.
Ihsan Ali Fauzi, (Jakarta: Paramadina, 1998), h. 2.
[17]
Lihat, Azyumardi Azra (Ed), Op. Cit., h. 401
[18] Munawir Sjadzali, Memori Akhir Tugas Menteri Agama Republik
Indonesia, Masa Bakti 1988-1993 Kabinet Pembangunan V, (Jakarta, 1993).
[19]
M. Wahyuni Nafis (Ed.), Op.Cit, h.
83.
[20]
Lihat, Munawir, Islam dan Tata Negara, Op.
Cit., 4-7.
[21] Maksudnya:
urusan peperangan dan hal-hal duniawiyah lainnya, seperti urusan politik,
ekonomi, kemasyarakatan dan lain-lainnya.
[22] Thaghut ialah syaitan dan apa saja yang
disembah selain dari Allah s.w.t.
[23] Bahtiar Effendy, Hendro Prasetyo
dan Arief Subhan, Munawir Sjadazali; Pencairan Ketegangan Ideologis dalam
Azyumazri Azra dan Saiful Anam (ed.), Menteri-Menteri Agama RI; Biografi Sosial
Politik, INIS, Op. Cit., h.
392.
[24] Lihat, Din Syamsudin, Usaha
Pencarian Konsep Negara Dalam Sejarah Pemikiran Politik Islam dalam
Jurnal Ulumul Quran, No.2 Vol.IV, tahun 1993, h. 5. Hal ini dimuat juga dalam
Asep Gunawan (ed.), Artikulasi Islam Kultural, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004)
[25] Ibid.
[26]
Lihat, Munawir Sjadazali, Islam dan Tata Negara, Op. Cit., h. 1
[27]
Dien Syamsuddin, Usaha..Ibid., h. 6.
[28] Ibid., h. 7
[29]
Lihat, Munawir Sjadazali, Islam dan Tata Negara, Op. Cit., h. 41-107, 235
[30]
Munawir, Islam dan Tata Negara, Op.
Cit., h. 235-236
[31] Ibid.
[32] Ibid.
[33] Dalam perspektif pemikiran ada tiga cara
pembacaan syariah golongan Islam Liberal ini: (1) The liberal syariah (suatu
model yang menganggap bahwa syariah itu sendiri berwatak liberal jika
ditafsirkan secara tepat); (2) The silent syariah (Islam menjadi liberal karena
syariah mendiamkan topik-topik tertentu, sehingga umat Islam bebas mengadopsi
watak liberalisme); dan (3) The interpreted syariah (Islam menjadi liberal jika
syariah ditafsirkan secara liberal, sebab pemaknaan syariah dikembalikan pada
penafsiran manusia). Hermeneutika yang paling kontroversial dari tiga konsep
tersebut ialah konsep interpretasi syariah, di mana menurut mereka syariah
perlu ditafsirkan kembali. Itulah sebabnya golongan ini mencoba melakukan
penafsiran. Ketiga istilah ini cukup menarik, karena sejauh ini belum pernah
ada yang membuat kategori pembacaan syariah yang tajam seperti ini, yang bisa
menyadarkan kita bahwa di kalangan Islam liberal sekalipun ada konflik
penafsiran mengenai Islam dan semuanya dalam koridor klaim mencari otentisitas
hukum Islam yang mampu berdialektika dengan realitas keindonesiaan. Lihat
Sayono Eljawie, http//:nusantara centre.co.id.
[34] Lihat, Munawir Sjadzali, Ijtihad
kemanusiaan (Jakarta: Paramadina, 1997), h.57.
Bnyak nya kata" nya
BalasHapusbingung Mau Baca nya Pak