Selasa, 13 Desember 2011

INTERELASI AGAMA DAN BUDAYA (Suku Jawa antara Agama dan Budaya) (M


INTERELASI AGAMA DAN BUDAYA
(Suku Jawa antara Agama dan Budaya)
(Mata Kuliah Sosiologi Agama)[1]

Anwarsyah Nur
A. Pendahuluan

            Sebelum kita membahas panjang lebar tentang interelasi agama dan budaya perlu terlebih dahulu kita definisikan makna kata perkata dari kata, “interelasi, agama dan budaya” dari berbagai sumber yang terpercaya dan akurat. Hal ini penting agar makna kata dalam pembahasan makalah ini tidak menjadi rancu. Kata “interelasi” berasal dari bahasa Inggris “interrelation” yang berarti ”mutual relation” atau saling berhubungan satu sama lainnya.[2]  Sementara itu menurut Prof. Dr. Endang Saifuddin Anshari, MA., kata “agama” secara tehnis dan sederhana disimpulkan semakna dengan kata Religion (Bahasa Inggris), Religie (Bahasa Belanda), Din (Bahasa Arab), Agama (Bahasa Indonesia).[3]
            Tidak ada satu definisi tentang religion yang dapat diterima secara umum. Para filosof, para sosiolog, para psikolog dan para teolog dan lain-lainya telah merumuskan definisi tentang religion menurut caranya masing-masing dan sesuai pula dengan tujuan masing-masing. Sebagian filosof beranggapan bahwa religion itu “superstitious structure of incoherent metaphysical notions” (struktur takhayul paham metafisis yang tidak beraturan). Sementara sosiolog lebih senang menyebut religion sebagai “collective expression of human values” (ekspressi kolektif nilai-nilai manusiawi). Karl Marx mendefinisikan religion sebagai “the opium of the people” (candu masyarakat). Sementara psikolog menyimpulkan religion sebagai”mystical complex surrounding a projected super-ego” (kompleks mistis seputar superego yang direncanakan). Dari data empiris di atas, jelaslah bahwa tak ada batasan yang tegas mengenai religion yang mencakup pelbagai fenomena religion atau agama itu.[4]
            Namun secara umum religion dapat dilihat dalam bentuk-bentuk yang mempunyai ciri-ciri khas daripada kepercayaan dan aktifitas manusia yang biasa dikenal sebagai kepercayaan dan aktifitas agama atau religion yakni: kebaktian, pemisahan antara yang sacral (sacred) dan yang profane, kepercayaan terhadap roh, dewa-dewa atau Tuhan, penerimaan atas wahyu Tuhan yang supra-natural dan pencarian keselamatan.[5]
         Sementara definisi agama menurut sosiolog Emile Durkheim adalah suatu "sistem kepercayaan dan praktik yang telah dipersatukan yang berkaitan dengan hal-hal yang kudus/sakral (sacred) kepercayaan-kepercayaan dan praktik-praktik yang bersatu menjadi suatu komunitas moral yang tunggal." Dari definisi ini ada dua unsur yang penting, yang menjadi syarat sesuatu dapat disebut agama, yaitu "sifat kudus" dari agama dan "praktik-praktik ritual" dari agama. Agama tidak harus melibatkan adanya konsep mengenai suatu mahluk supranatural, tetapi agama tidak dapat melepaskan kedua unsur di atas, karena ia akan menjadi bukan agama lagi, ketika salah satu unsur tersebut terlepas. Di sini dapat kita lihat bahwa sesuatu itu disebut agama bukan dilihat dari substansi isinya tetapi dari bentuknya, yang melibatkan dua ciri tadi. Kita juga akan melihat nanti bahwa menurut Durkheim agama selalu memiliki hubungan dengan masyarakatnya, dan memiliki sifat yang historis.[6]
         Banyak definisi mengenai kata”budaya/kultur” atau Culture dalam Bahasa Inggris yang dibuat oleh para ahli sosiolog maupun antropolog dan lain-lain. Menurut budayawan dan antropolog terkenal Prof. Dr. Koentjaraningrat, kata “kebudayaan” berasal dari kata “budaya”. “Kebudayaan merupakan keseluruhan dari kelakuan dan hasil kelakuan manusia, yang teratur oleh tata-kelakuan, yang harus didapatnya dengan belajar dan yang semuanya tersusun dalam kehidupan masyarakat”.[7]                                                                                                                          
          T.S. Eliot dalam karyanya Notes towards the definition of Culture menyatakan, “Culture may even be described simply as that which makes life worth living” (Kultur atau budaya itu dapat diterangkan secara mudah, yaitu sesuatu yang membuat hidup itu enak). [8] Clyde Kluckhohn mendefinisikan “budaya atau “kultur” sebagai “Culture by anthropology means the total way of life, the social legacy the individual acquires from his group” (Budaya dalam pengertian antropologi ialah keseluruhan cara pandang hidup, warisan sosial yang diperoleh individu dari kelompoknya).[9]
            Dalam pandangan beberapa sosiolog menyebutkan bahwa agama Islam juga disebut sebagai agama peradaban seperti statemen H.A.R Gibb dalam karyanya “Whither Islam”, yang dikutip oleh M. Natsir “Islam is indeed much more than a system of theology, it is a complete civilization” (Islam sesungguhnya jauh lebih dari sebuah system teologi saja, Islam adalah suatu peradaban/kebudayaan yang sempurna).[10]               
Dari berbagai definisi di atas, penulis sendiri dapat menyimpulkan bahwa saling hubungan atau interelasi antar agama ataupun kepercayaan masyarakat dengan budaya adalah sangat erat. Oleh karena itu agama dapat melahirkan budaya yang diciptakan oleh masyarakat sebagai penganutnya untuk kepentingan maupun bagi kenikmatan hidup bagi mereka. Jadi secara sosiologi pengertian “agama” adalah gejala sosial yang umum dan dimiliki oleh seluruh masyarakat yang ada di dunia ini, tanpa kecuali. Ia merupakan salah satu aspek dalam kehidupan sosial dan bagian dari sistem sosial suatu masyarakat. Sedangkan budaya atau kultur yang ada dalam masyarakat penganut suatu agama sulit terpisahkan dari kepercayaan atau agama yang mereka anut, sehingga dalam masyarakat tertentu sering terjadi sinkretisme dalam kepercayaan mereka.[11]
          Dalam makalah ini penulis mencoba membahas bagaimana interelasi agama dan budaya sebagai fenomena yang terjadi dalam masyarakat khususnya dipandang dari sudut sosiologi agama. Sebagai contoh dalam makalah ini penulis memasukkan suku Jawa sebagai suku terbesar di Indonesia dalam interelasi antara nilai-nilai tradisi/budaya Jawa dan agama Islam dalam ritual kehidupan pada masyarakat suku Jawa.                                            

B. AGAMA DAN MASYARAKAT
Agama memberi makna pada kehidupan individu dan kelompok, juga memberi harapan tentang kelanggengan hidup sesudah mati. Agama dapat menjadi sarana manusia untuk mengangkat diri dari kehidupan duniawi yang penuh penderitaan, mencapai kemandirian spiritual. Agama juga memperkuat kelompok-kelompok, sanksi moral untuk perbuatan perorangan, dan menjadi dasar persamaan tujuan serta nilai-nilai yang menjadi landasan keseimbangan masyarakat.
  1. Dalam hal ini agama berperan dalam tiga kawasan kehidupan manusia yakni:
    Kawasan yang kebutuhan manusiawi dapat dipenuhi dengan kekuatan manusia sendiri.
  2. Kawasan manusia yang merasa aman secara moral. Tingkah laku dan tata pergaulan manusia diatur lewat norma-norma rasional yang dibenarkan agama, seperti norma sopan santun, norma hukum serta aturan-aturan dalam masyarakat.
  3. Merupakan daerah yang manusia secara total mengalami ketidakmampuannya.
    Agama tidak lain adalah proyeksi masyarakat sendiri dalam kesadaran manusia. Selama masyarakat masih berlangsung, agama pun akan tetap lestari. Masyarakat, bagimanapun akan tetap menghasilkan simbol-simbol pengertian diri kolektifnya dan dengan demikian, menciptakan agama.
    Masyarakat diikat oleh sistem simbol yang umum. Sistem simbol itu akan berpusat pada martabat manusia sebagai pribadi, kesejahteraan umum, dan norma-norma etik yang selaras dengan karakteristik masyarakat itu sendiri. Setiap masyarakat dalam proses menghayati cita-citanya yang tertinggi akan menumbuhkan kebaktian pada representasi diri simboliknya.[12]
         Di atas sudah dijelaskan bahwa agama dan masyarakat memiliki hubungan yang erat. Di sini perlu diketahui bahwa itu tidak mengimplikasikan pengertian bahwa "agama menciptakan masyarakat." Tetapi hal itu mencerminkan bahwa agama adalah merupakan implikasi dari perkembangan masyarakat. Di dalam hal ini agama menurut Durkheim adalah sebuah fakta sosial yang penjelasannya memang harus diterangkan oleh fakta-fakta sosial lainnya.
         Hal ini misalnya ditunjukkan oleh penjelasan Durkheim yang menyatakan bahwa konsep-konsep dan kategorisasi hierarkis terhadap konsep-konsep itu merupakan produk sosial. Menurut Durkheim totemisme mengimplikasikan adanya pengklasifikasian terhadap alam yang bersifat hierarkis. Obyek dari klasifikasi seperti "matahari"dll., itu memang timbul secara langsung dari pengamatan panca-indera, begitu pula dengan pemasukkan suatu obyek ke dalam bagian klasifikasi tertentu. Tetapi ide mengenai "klasifikasi" itu sendiri tidak merupakan hasil dari pengamatan panca-indera secara langsung. Menurut Durkheim ide tentang "klasifikasi yang hierarkis" muncul sebagai akibat dari adanya pembagian masyarakat menjadi suku-suku dan kelompok-kelompok analog.
         Hal yang sama juga terjadi pada konsep "kudus/sacred". Konsep "kudus" seperti yang sudah dibicarakan di atas tidak muncul karena sifat-sifat dari obyek yang dikuduskan itu, atau dengan kata lain sifat-sifat daripada obyek tersebut tidak mungkin bisa menimbulkan perasaan kekeramatan masyarakat terhadap obyek itu sendiri. Dengan demikian, walaupun di dalam buku Giddens[13] tidak dijelaskan penjelasan Durkheim secara rinci mengenai asal-usul sosial dari konsep "kekudusan', tetapi dapat kita lihat bahwa kesadaran akan yang kudus itu, beserta pemisahannya dengan dunia sehari-hari, menurut Durkheim dari pengatamannya terhadap totemisme,[14] dilahirkan dari keadaan kolektif yang bergejolak. Upacara-upacara keagamaan, dengan demikian, memiliki suatu fungsi untuk tetap mereproduksi kesadaran ini dalam masyarakat. Di dalam suatu upacara, individu dibawa ke suatu alam yang baginya nampak berbeda dengan dunia sehari-hari. Di dalam totemisme juga, di mana totem pada saat yang sama merupakan lambang dari Tuhan dan masyarakat, maka Durkheim berpendapat bahwa sebenarnya totem itu, yang merupakan obyek kudus, melambangkan kelebihan daripada masyarakat dibandingkan dengan individu-individu.
         Hubungan antara agama dengan masyarakat juga terlihat di dalam masalah ritual. Kesatuan masyarakat pada masyarakat tradisional itu sangat tergantung kepada conscience collective (hati nurani kolektif), dan agama nampak memainkan peran ini. Masyarakat menjadi "masyarakat" karena fakta bahwa para anggotanya taat kepada kepercayaan dan pendapat bersama. Ritual, yang terwujud dalam pengumpulan orang dalam upacara keagamaan, menekankan lagi kepercayaan mereka atas orde moral yang ada, di atas mana solidaritas mekanis itu bergantung. Di sini agama nampak sebagai alat integrasi masyarakat, dan praktek ritual secara terus menerus menekankan ketaatan manusia terhadap agama, yang dengan begitu turut serta di dalam memainkan fungsi penguatan solidaritas.
         Agama juga memiliki sifatnya yang historis. Menurut Durkheim totemisme adalah agama yang paling tua yang di kemudian hari menjadi sumber dari bentuk-bentuk agama lainnya. Seperti misalnya konsep kekuatan kekudusan pada totem itu jugalah yang di kemudian hari berkembang menjadi konsep dewa-dewa, dsb. Kemudian perubahan-perubahan sosial di masyarakat juga dapat merubah bentuk-bentuk gagasan di dalam sistem-sistem kepercayaan. Ini terlihat dalam transisi dari masyarakat tradisional ke masyarakat modern, di mana diikuti perubahan dari "agama" ke moralitas rasional individual, yang memiliki ciri-ciri dan memainkan peran yang sama seperti agama.[15]

C. AGAMA DAN GOLONGAN MASYARAKAT
Agama merupakan suatu hal yang dijadikan sandaran penganutnya ketika terjadi hal-hal yang berada di luar jangkauan dan kemampuannya karena sifatnya yang supra natural, sehingga diharapkan dapat mengatasi masalah-masalah yang empiris.
Selanjutnya, golongan masyarakat dapat diartikan sebagai penggolongan anggota-anggota masyarakat kedalam suatu kelompok yang mempunyai karakteristik yang sama atau dianggap sejenis. Misalnya:

1.      Penggolongan berdasarkan jenis kelamin, pria dan wanita;
2.      Penggolongan berdasarkan usia, tua atau muda;
3.      Penggolongan berdasarkan pendidikan, cendekian atau buta huruf;
4.      Penggolongan berdasarkan pekerjaan, pegawai atau bukan pegawai.
Pengaruh agama terhadap masyarakat dapat dipelajari melalui kebudayaan, sistem sosial dan kepribadian. Ketiga aspek itu merupakan fenomena sosial yang komplek dan terpadu yang pengaruhnya dapat diamati pada perilaku manusia.
Nottingham membagi kedalam dua tipe yaitu :
·        Masyarakat yang terbelakang dan nilai-nilai sakral.
·        Masyarakat praindustri yang sedang berkembang.

D. INTERELASI ANTARA AGAMA DAN MASYARAKAT
Dalam perspektif sosiologis, agama dipandang sebagai sistem kepercayaan yang diwujudkan dalam perilaku sosial tertentu. Ia berkaitan dengan pengalaman manusia, baik sebagai individu maupun kelompok. Sehingga, setiap perilaku yang diperankannya akan terkait dengan sitem keyakinan dari ajaran agama yang dianutnya. Perilaku individu dan sosial digerakkan oleh kekuatan dari dalam yang didasarkan pada nilai-nilai ajaran agama yang menginternalisasi sebelumnya. Karena itu, Wach lebih jauh beranggapan bahwa keagamaan yang bersifat subjektif, dapat diobjektifkan dalam pelbagai macam ungkapan, dan ungkapan-ungkapan tersebut mempunyai struktur tertentu yang dapat dipahami.

Ada lima dimensi beragama menurut C.Y Glock dan R. Stark yaitu:
1. dimensi keyakinan;
2. dimensi praktik agama;

3. dimensi pengalaman keagamaan;

4. dimensi pengetahuan agama;

5. dimensi konsekuensi.

Hubungan interdipendensi antara agama dan masyarakat, menurut Wach menunjukkan adanya pengaruh timbal balik antara kedua faktor tersebut yaitu:

1. Pengaruh agama terhadap masyarakat, seperti yang terlihat dalam pembentukan, pengembangan, dan penentuan kelompok keagamaan spesifik yang baru.
2. pengaruh masyarakat terhadap agama. Wach memusatkan perhatiannya pada faktor-faktor sosial yang memberikan nuansa dan keragaman perasaan dan sikap keagamaan yang terdapat dalam suatu lingkungan atau kelompok sosial tertentu.
Seseorang yang menganut agama akan merefleksi dalam bentuk kehidupan masyarakat melalui ekspresi ekpresi praktis, dan dalam persekutuan. Begitu pula faktor-faktor sosial dan nilai-nilai kultural lokal memberikan nuansa keragaman perasaan dan sikap keagamaan bagi individu yang terdapat dalam lingkungan sosial tertentu.
Jika salah satu bagian dalam sistem sosial itu berubah, maka bagian lain mereorganisasi, agar timbul keseimbangan dalam masyarakat. Dan jika lingkungan sosial ekonomi berubah, maka agama mengadakan penyesuaian atau bahkan sebaliknya. Berdasarkan hal itu, muncul dugaan hipotesis bahwa perilaku pemeluk agama tarekat di perkotaan berbeda dengan di pedesaan disebabkan oleh adanya penyesuaian dengan lingkungan sosial masing-masing.[16]

E. INTERELASI AGAMA DAN BUDAYA
Manusia, masyarakat, dan kebudayaan berhubungan secara dialektik.[17] Ketiganya berdampingan dan berimpit saling menciptakan dan meniadakan. Satu sisi manusia menciptakan sejumlah nilai bagi masyarakatnya, pada sisi yang lain, secara bersamaan, manusia secara kodrati senantiasa berhadapan dan berada dalam masyarakatnya, homosocius. Masyarakat telah ada sebelum seorang individu dilahirkan dan masih akan ada sesudah individu mati. Lebih dari itu, di dalam masyarakatlah dan sebagai hasil proses sosial, individu menjadi sebuah pribadi; ia memperoleh dan berpegang pada suatu indentitas. Manusia tidak akan eksis bila terpisah dari masyarakat. Dengan kata lain, masyarakat diciptakan oleh manusia, sedangkan manusia sendiri merupakan produk dari masyarakat. Kedua hal itu menggambarkan adanya dialektika inheren dari fenomena masyarakat. Inilah yang dimaksud dengan dialektika sosial.
Dalam kehidupan berbudaya, manusia melakukan proses objektivasi. Proses objektivikasi ini, menurut Miller, melibatkan hubungan antar subjek, kebudayaan, sebagai bentuk eksternal, dan artefak, sebagai objek ciptaan manusia. Dalam kaitan ini, subjek mengeksternalisasikan dirinya melalui penciptaan objek-objek, yang dimaksudkan untuk menciptakan ‘diferensiasi’, kemudian menginternalisasikan nilai-nilai ciptaan tersebut melalui proses sublasi atau pemberian pengakuan.
Akan tetapi, dalam proses sublasi ini, sang subjek selalu merasa tidak puas dengan hasil ciptaannya sendiri karena ia selalu membandingkan hasil ciptaan tersebut dengan pengetahuan atau nilai absolut, yang justru beranjak lebih jauh tatkala ia didekati diacu. Sehingga yang kemudian terjadi adalah rasa ketidakpuasan tanpa akhir serta penciptaan terus menerus untuk pemenuhannya. Rasa ketidakpuasan abadi terhadap hasil ciptaan inilah yang membangkitkan motivasi daya yang tak habis-habisnya bagi pengembangan lebih lanjut dalam suatu dialektika penciptaan (termasuk agama dalam kontek budaya).
Teori sosial pada awalnya bersifat historis dan komparatif. Objek analisanya berupa kasus tertentu, seperti telaah Weber mengenai birokrasi Jerman atau tulisan Marx tentang kapitalisme Inggris. Dalam sudut teori ini, memahami suatu masyarakat berarti memahami perbedaannya dengan berbagai bentuk kehidupan dimasa-masa dan tempat yang berbeda.
Weber menekankan bahwa tujuan akhir dari “pemahaman interpretatif” atas tindakan sosial adalah untuk sampai pada “penjelasan kausal mengenai berbagai peristiwa beserta akibatnya”. Kadang-kadang ungkapannya, “suatu telaah menyeluruh semacam itu memaksa sang analisis untuk keluar dari semua parameter yang berdasarkan penghayatan atau pengamatan yang disadari”.
Sebagai pemahaman interpretatif, realitas dan tindakan sosial dianggap sebagai “teks” sebagaimana layaknya kegiatan penafsiran. Teks yang dimaksud berarti apa yang “dikatakan” dan apa yang “dilakukan” oleh tindakan sosial.
Pada akhirnya, pengetahuan kita tentang dunia setempat (native) memang selalu bergantung pada pengetahuan yang lebih luas. Bahkan, suatu uraian yang paling partikularistik sekalipun akan mengandung corak pengetahuan komparatif itu. Sebaliknya, teori sosial selalu mengalami pembaruan melalui aplikasinya dalam waktu dan tempat-tempat tertentu. Yang membuat usaha kita menjadi suatu disiplin adalah saling mengisi dan keterikatan terus-menerus antara teori umum dan penelitian local

F. AGAMA SEBAGAI FAKTOR KONFLIK DI MASYARAKAT
Agama dalam satu sisi dipandang sebagai sumber moral dan nilai, dan pada sisi lain sebagai sumber konflik. Masalahnya pemeluk agama kadang menampakkan wajah ganda. Mungkin sebagai bentuk solidaritas sosial, maka hampir semua pemeluk agama akan berinteraksi dan berpandangan sama (untuk sementara) dalam menyikapi misalnya sebuah musibah.
Ketika masing-masing pemeluk akan menampakkan jatidiri sebagai pemeluk yang terbaik, akan berusaha agar pemeluk agama lain mengikuti millahnya, maka konflik antar agama akan diciptakan atau dibuat ada masalah (hanya untuk mengukur respons yang sebenarnya tidak tega melakukannya sebagai hati nurani sesama manusia: (bila benar).

G. AGAMA DAN PELAPISAN SOSIAL
Agama dan pelapisan sosial adalah dua hal yang berbeda. Walaupun demikian, membicarakan keduanya dalam satu bahasan atau topik, tetap akan mempunyai aspek-aspek positif dalam kajian akademis, bahkan lebih jauh bisa menemukan hal-hal yang baru dalam bidang keagamaan. Pernyataan ini tidak lepas dari anggapan, bahwa agama dan masyarakat, dalam pengertian lapisan sosial; diduga sebagai dua unsur yang saling mempengaruhi satu sama lain.
Dalam pernyataan tersebut agama difahami sebagai sebuah sestem kepercayaan, sedangkan lapisan sosial sebagai strata orang-orang yang berkedudukan sama dalam kontinum status sosial. Ada enam klasifikasi, yaitu:
1. upper-upper class;
2. lower upper class;
3. upper middle class;
4. lower middle class;
5. upper lower class;
6. lower-lower class.[18]

H. AGAMA SEBAGAI MOTIVATOR TINDAKAN SOSIAL
Masalah agama merupakan masalah sosial, tetapi penghayatannya amat bersifat individual. Apa yang difahami dan apa yang dihayati sebagai agama oleh seseorang, sangat bergantung pada latar belakang dan kepribadiannya. Hal ini membuat adanya perbedaan tekanan penghayatan dari satu orang ke orang lain, dan membuat agama menjadi bagian yang amat mendalam dari kepribadian atau privacy seseorang.
Oleh karena itu, agama senantiasa bersangkutan dengan kepekaan emosional. Meskipun demikian, masih terdapat kemungkinan untuk membicarakan agama sebagai suatu yang umum dan objek

I. KERUKUNAN ANTAR UMAT BERAGAMA: Kajian Sosiologis terhadap Pluralisme Agama di Indonesia
Islam adalah agama rahmatan lil’aalamiin. Dengan keyakinan bahwa keberadaan Islam mesti membuat nyaman berada di depan, di tengah, bersama atau dibelakang agama-agama lain. Persoalannya adalah kekuatan mana yang akan menang sebagai penguasa atau pemegang amanah pembawa agama Islam, bila umat lain masih belum senang melihat kemajuan umat Islam bahkan akan berupaya untuk menciptakan Islam agar terus terkesan lemah dimata agama-agama lain, maka sulit menerapkan kerukunan. Jikapun ada hanya kepura-puraan.
 Sebenarnya konsep yang telah dijelaskan dalam ajaran Islam tentang sikap umat Islam terhadap agama lain berkenaan dengan urusan agamanya adalah “bagimu agamamu dan bagiku agamaku”. Kemudian dijelaskan lagi “Tidak ada paksaan dalam masuk Islam’. Bahkan Rasulullah saw. pun menjadi contoh dalam mengejawantahkan kerukunan dengan tidak memaksa agama kepada Pamannya Abu Thalib, yang berbeda agama. Itu berarti siapa yang akan dibuat repot dengan toleransi, apakah Islam harus melayani atau dilayani atau biarkan saja sesuai dengan Sunnatullah.

J. AGAMA DAN MODERNISASI
Aspek yang paling spektakuler dari modernisasi adalah pergantian teknik produksi, yaitu dari teknik produksi yang bertumpu pada penggunaan “energi nyawa” ke energi tak bernyawa. Dalam perkembangannya proses pergantian teknik produksi hanya merupakan salah satu aspek dari proses modernisasi.
Dalam bidang ekonomi, modernisasi berarti tumbuhnya kompleks-kompleks industri besar, tempat barang konsumsi dan produksi diadakan secara massal. Hal ini berkaitan dengan kebutuhan atas pengaturan organisasi-organisasi sosial yang lebih rumit dalam merencanakan, melaksanakan, dan mengawasi orang atau kelompok orang dalam hal produksi, distribusi, dan konsumsi.
Ekonomi modern serupa itu menuntut adanya suatu masyarakat nasional yang memungkinkan terciptanya ketertiban dan ketenteraman sehingga menjamin lalu-lintas barang, orang, dan informasi. Sejalan dengan kemajuan teknologi komunikasi dan transportasi, mobilitas sosial dan ruang dari masyarakat semakin tinggi. Dalam konteks inilah, sistem nilai dan kepercayaan masyarakat mengenai dunia mengalami perubahan sehingga terjadi proses sekularisasi dan memudarnya fungsi agama,

K. SUKU JAWA ANTARA AGAMA DAN BUDAYA
            Dalam makalah ini penulis mencoba untuk memberikan contoh bagaimana interelasi antara agama dan budaya kuhususnya nilai-nilai tradisi Jawa dan agama Islam dalam bidang kepercayaan dan ritual. Suku Jawa merupakan suku terbesar jumlahnya di Indonesia dan merupakan penganut berbagai kepercayaan seperti Islam, Kristen, Hindu, Budha bahkan Aliran Kepercayaan dan lain-lain. Secara mayoritas dapat dipastikan bahwa suku Jawa adalah pemeluk agama Islam. Namun pengaruh agama dan budaya Hindu masih sangat kental bagi sebagian suku Jawa pemeluk agama Islam. Oleh karena itu interelasi antara agama dan budaya pada suku Jawa dapat dilihat dalam pembahasan singkat sebagai berikut.
Sejarah Islam di Jawa berjalan cukup lama. Selama perjalanan tersebut, banyak hal yang menarik dicermati, dan terjadi dialog budaya antara budaya asli Jawa dengan berbagai nilai yang datang dan merasuk kedalam budaya Jawa. Proses tersebut memunculkan berbagai varian dialektika, sekaligus membuktikan elastisitas budaya Jawa. Pada saat agama Hindu-Budha datang, memunculkan satu varian dialektika bercorak Hindu-Budha dengan corak khusus pengaruh budaya India. Demikian juga saat Islam datang dan berinteraksi dengan budaya Jawa, melebur menjadi satu. Dalam hal ini ada dua corak yang tampak dipermukaan, yakni Islam mempengaruhi nilai-nilai budaya Jawa dan Islam dipengaruhi oleh budaya Jawa.[19]
Dengan demikian penulis mencoba membahas bagaimana sesungguhnya keyakinan yang berkembang dari hasil interelasi agama (Islam) dan budaya Jawa, respon budaya Jawa terhadap Islam dan respon Islam terhadap budaya Jawa.

L. ANALISIS 
1. Keyakinan yang Berkembang dari Hasil Interelasi
Setiap agama dalam arti seluas-luasnya tentu memiliki aspek fundamental, yakni aspek kepercayaan atau keyakinan, terutama kepercayaan terhadap sesuatu yang sakral, yang suci atau yang ghaib. Dalam agama Islam aspek fundamental itu terumuskan dalam istilah aqidah atau keimanan, sehingga terdapatlah rukun iman yang di dalamnya terangkum hal-hal yang harus dipercayai/diimani oleh setiap Muslim.
Rukun iman adalah iman kepada Allah, iman kepada Malaikat, iman kepada para Nabi, iman kepada kitab suci, iman kepada hari akhir dan iman kepada qodho dan qodar. Namun demikian, di luar semua itu masih terdapat unsur-unsur keimanan yang lain yang juga harus dipercayai.
Kepercayaan-kepercayaan dari agama Hindu, Budha maupun kepercayaan animisme dan dinamisme dalam proses perkembangan Islam itulah yang berinterelasi dengan kepercayaan-kepercayaan dalam Islam.
Ritual-ritual yang dibuat atau dipakai orang–orang Jawa Islam yang masih disesuaikan dengan kebiasaan Hindu-Budha-nya, yaitu seperti adat mitoni (memperingati 7 bulan kehamilan), memperingati orang mati dengan ritual doa seminggu, 40 hari, nyatos, nyewu dan mendak,[20] ada adat selamatan, gerebek suro nyandran, kliwonan sedekah bumi, nyekar (ziarah kubur) dan masih banyak adat-adat kebiasaan Islam lain yang dihubungkan dengan budaya Hindu-Budha.
Pada aspek ketuhanan, prinsip ajaran tauhid Islam telah bersinkretis dengan berbagai unsur Hindu Budha maupun kepercayaan primitif. Sebutan Allah dengan berbagai nama yang terhimpun dalam asma` al husna telah berubah menjadi Gusti Allah, Gusti kang Murbeng Dumadi (al Khaliq), ingkang Maha Kuwaos (al Qadir), ingkang Maha Esa (al Ahad), ingkang maha suci, dll. nama-nama itu bercampur dengan nama dari agama lain, namun demikian, dalam kehidupan sehari-hari orang Jawa lebih terbiasa dengan menyebut Gusti Allah, sehingga orang Jawa sudah terbiasa mengucap ”Bismillah” ketika akan memulai pekerjaan apapun yang baik. Demikian juga ucapan “Ya Allah Gusti” ketika berdoa, “astaghfirullah” ketika merasa kecewa dan lain sebagainya.
Namun, penghayatan tentang prinsip tauhid itu akan berbeda tatkala pemahaman tentang ketuhanan itu masuk dalam dimensi mistik bercorak pantheistic.[21] Terdapatlah sebutan hidup (urip), sukma, sehingga Tuhan Allah disebut sebagai Hyang Maha Hidup, sukma kawekas yang mengandalkan bahwa tuhan sebagai dzat yang maha hidup, yang menghidupi segala alam. Berkaitan dengan sisa-sisa kepercayaan animisme dan dinamisme, kepercayaan mengesakan Allah itu sering menjadi tidak murni oleh karena tercampur dengan penuhanan terhadap benda-benda yang dianggap keramat, baik benda mati/ hidup.[22]
Kepercayaan terhadap mahluk jahat tidak saja ada pada agama Islam, tetapi juga ada dalam agama Hindu maupun kepercayaan primitif. Dalam Islam makhluk jahat itu disebut syaitan, yang dalam bahasa Jawa disebut setan, dan pemimpin setan disebut iblis, ada juga jin yang termasuk dengan golongan jahat, tetapi ada yang dapat dimanfaatkan untuk membantu manusia, sedangkan pada agama Hindu jenis mahluk jahat/roh-roh jahat sebagai musuh Dewa, antara lain Warta musuh Dewa Indra.  Roh jahat yang lebih rendah derajatnya dari musuh dewa disebut raksa, yang bisa menjelma menjadi binatang/manusia dan roh jahat pemakan daging jenazah adalah picasa.
Menurut keyakinan Islam, orang yang sudah meninggal dunia, ruhnya tetap hidup dan tinggal sementara di alam kubur/alam Barzah, sebagai alam sebelum manusia memasuki alam akhirat, hanya saja menurut orang Jawa, arwah orang-orang tua sebagai nenek moyang yang meninggal dunia berkeliaran disekitar tempat tinggalnya, atau sebagai arwah leluhur menetap di makam. Mereka masih mempunyai kontak dengan keluarga yang masih hidup sehingga suatu saat arwah itu datang ke kediaman anak keturunan, roh-roh yang baik yang bukan roh nenek moyang/kerabat disebut dayang, baureksa, atau sing ngemong. Dayang dipandang sebagai roh yang menjaga dan mengawasi seluruh masyarakat desa, dari sinilah kemudian timbul upacara bersih desa, termasuk membersihkan makam-makam disertai dengan kenduri maupun sesaji. Di sisi lain atas dasar kepercayaan Islam bahwa orang yang meninggal perlu dikirimi do’a, maka muncul tradisi kirim dongo (do’a), tahlilan tujuh hari, 40 hari, setahun dan seribu hari.[23]
Suku-suku bangsa Indonesia dan khususnya suku Jawa sebelum kedatangan pengaruh Hinduisme telah hidup teratur dengan religi animisme- animisme sebagai akar spiritualitasnya dan hukum adat sebagai pranata kehidupan sosial mereka. Adanya warisan hukum adat menunjukkan bahwa nenek moyang suku bangsa Indonesia asli telah hidup dalam persekutuan-persekutuan desa yang teratur, dan mungkin dibawa pemerintahan atau kepala adat desa.
Sebagian besar orang Indonesia mengaku beragama Islam, sikap keagamaan sehari-hari yang mereka hayati, dijiwai dalam batinnya oleh agama asli Indonesia yang kaya raya isinya, yang dipelihara dengan khusuk yang tidak mau dirombak oleh agama asing.
2. Respon Budaya Jawa Terhadap Islam
Islam di Jawa tidak lepas dari peranan Walisongo. Walisongo adalah tokoh-tokoh penyebar Islam di Jawa abad 15-16 yang telah berhasil mengkombinasikan  aspek-aspek sekuler dan spiritual dalam memperkenalkan Islam pada pada masyarakat. Mereka secara berturut-turut adalah Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, Sunan Drajad, Sunan Giri, Sunan Kudus sunan Muria, Sunan Gunung Jati. Wali dalam bahasa Inggris pada umumnya diartikan saint, sementara songo dalam bahasa Jawa berarti sembilan. Diduga wali yang dimaksud lebih dari sembilan, tetapi agaknya bagi masyarakat Jawa angka sembilan mempunyai makna tersendiri yang cukup istimewa. Para santri Jawa berpandangan bahwa walisongo adalah pemimpin umat yang sangat saleh dan dengan pencerahan spiritual religius mereka, bumi Jawa yang tadinya tidak mengenal agama monotheis menjadi bersinar terang.
Pulau Jawa selalu terbuka bagi siapapun yang masuk. Orang Jawa terkenal ramah sejak dulu dan siap menjalin kerjasama dengan siapapun. Termasuk ketika pedagang dan alim ulama` yang bertubuh tinggi besar, hidung mancung dan berkulit putih kemerahan. Mereka adalah para pedagang dan ulama` dari tanah timur tengah. kedatangan mereka ternyata membawa sejarah baru yang hampir merubah Jawa secara keseluruhan.
Agama Islam masuk ke Jawa sebagaimana Islam datang ke Malaka, Sumatra dan Kalimantan.[24] Bukti berupa adanya nisan raja-raja Aceh yang beragama Islam menunjukkan bahwa Islam telah barkembang di Kesultanan Aceh pada abad ke13 M, jadi bisa diperkirakan mungkin Islam telah datang ke Indonesia sejak abad itu/bahkan sebelumnya.[25]
Agama tauhid ini telah berkembang di Jawa, kaum pedagang dan nelayan banyak terpikat oleh ajaran yang mengenalkan tuhan Allah swt. ini. Salah satu benda yang baru bagi orang Jawa adalah nisan berukir kaligrafi seperti pada batu nisan di Leran, Gresik dimana pada batu nisan ini tertulis nama Fatimah binti Maimun wafat tahun 1082 M. Orang Jawa sendiri pada zaman itu masih jarang memberi petanda batu nisan bagi orang ynag meninggal, apalagi yang mewah. Islam di Jawa semakin meluas lagi seiring dengan para ulama yang selalu giat menyebarkan agama Islam.[26]
Bagi orang Jawa hidup ini penuh dengan upacara, baik upacara-upacara yang berkaitan dengan lingkungan. Hidup manusia sejak dari keberadaannya dari rahim ibu, lahir, anak-anak, remaja, dewasa, sampai saat kematiannya atau upacara-upacara dalam kegiatan sehari-hari dalam mencari nafkah. Secara luwes Islam memberikan warna baru pada upacara-upacara itu, di antaranya kenduren atau kenduri atau selametan, mitoni, sunatan dll.[27]
Di Jawa penyebaran agama Islam harus berhadapan dengan dua jenis lingkungan budaya kejawen, yaitu lingkungan budaya istana yang telah menjadi canggih dengan mengolah unsur-unsur Hinduisme dan budaya pedesaan (wong cilik) yang tetap hidup dalam animisme dan dinamisme dan hanya lapisan kulitnya saja yang terpengaruh oleh Hinduisme, dari perjalanan sejarah pengalaman di Jawa tampak bahwa Islam sulit diterima dan menembus lingkungan budaya Jawa istana yang telah canggih dan halus itu. Namun ternyata Islam diterima secara penuh oleh masyarakat pedesaan sebagai peningkatan budaya intelektual mereka.[28]
3. Respon Islam terhadap Budaya Jawa 
Agama Islam mengajarkan agar para pemeluknya melakukan kegiatan-kegiatan ritualistis tertentu, yang dimaksud kegiatan ritualistis adalah meliputi berbagai bentuk ibadah sebagaimana yang tersimpul dalam rukun Islam, yakni syahadat, shalat, puasa, zakat dan haji. Khusus mengenai shalat dan puasa wajib di bulan Ramadhan, terdapat pula shalat-shalat dan puasa-puasa sunnah. Intisari dari shalat adalah do’a oleh karena arti harfiah shalat juga do’a yang ditujukan kepada Allah swt., sedangkan puasa adalah suatu pengendalian nafsu dalam rangka penyucian rohani.[29]
Sebagai institusi pendidikan, pesantren, adalah wujud kesinambungan budaya Hindu-Budha yang di-islamkan secara damai. Lembaga Guru Cula[30] juga ditemukan pada masa pra-Islam di Jawa. Lembaga ini pada saat Islam datang tidak dimusnahkan, melainkan dilestarikan dengan modifikasi substansi nuansa Islam. Secara historis, asal usul pesantren tidak dapat dipisahkan dari sejarah pengaruh Walisongo abad 15-16 di Jawa. Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang unik di Indonesia.
Islam adalah agama damai yang tidak mengenal sistem kasta seperti pada masa Hindu-Budha. Namun pada realitanya terdapat beberapa golongan yaitu golongan santri, abangan dan priyayi. Walaupun sebenarnya golongan ini tidaklah untuk membedakan status sosial seseorang, namun penggolongan ini ada berdasarkan pemahaman mana yang lebih baik diantara mereka tentang Islam yang dianut di Jawa dahulu dan sekarang atau tingkat kekuatan mereka menjalankan ibadah agama Islam. Sebenarnya penggunaan istilah abangan, santri, dan priyayi dalam klasifikasi masyarakat Jawa dalam golongan agama adalah tidak tepat, karena ke tiga golongan yang disebutkan tadi tidak bersumber pada sistem klasifikasi yang sama karena hanya abangan dan priyayi yang termasuk dalam penggolongan dalam ibadah agama Islam, sedangkan priyayi adalah suatu penggolongan sosial.[31]
Sebagian besar orang Jawa memeluk agama Islam, namun terdapat beberapa ragam dalam pengalaman ajaran Islam. Mereka mengaku orang Islam tetap dalam kategori umum, pengakuan semacam itu mereka sendiri dengan jelas membedakan antara para santri yaitu para orang Muslim yang taat menjalankan syariat dengan sungguh-sungguh dan para abangan yang tidak seberapa mengindahkan ajaran-ajaran Islam, sementara cara hidupnya lebih dipengaruhi oleh tradisi Jawa pra Islam.[32]
Sedangkan priyayi menurut Robert Van Niel, terjadi dari para administrator, para pegawai sipil (birokrat) serta orang Indonesia yang agak baik pendidikannya dan agak berada, termasuk orang Jawa, baik di kota maupun di desa. Sampai ukuran tertentu mereka memimpin, mempengaruhi, mengatur/membimbing massa rakyat yang luas. Ia menyebut golongan ini elit. Adapun golongan priyayi mencakup para anggota dinas administratif yaitu birokrasi pemerintah serta para cendikiawan yang berpendidikan akademis. Mereka menempati kedudukan pemerintah dan tersusun menurut heirarki birokrasi mulai dari priyayi rendahan (seperti, juru tulis, guru sekolah, pegawai dll) sampai priyayi tinggi.[33]
Berbeda dengan stratifikasi horisontal, adapula klasifikasi masyarakat Jawa yang didasarkan pada ukuran sampai dimana kebaktian agama Islamnya/ukuran kepatuhan seseorang dalam mengamalkan syariat. Pertama, terdapat santri yakni orang Muslim saleh yang memeluk agama Islam dengan sungguh-sungguh dan dengan teliti menjalankan perintah-perintah agama Islam sebagaimana yang diketahuinya sambil berusaha membersihkan akidahnya dari syirik yang terdapat di daerahnya. Kedua, terdapatlah abangan yang secara harfiah berarti ”yang merah”, yang diturunkan dari pangkal ke atas abang (merah). Istilah ini mengenai orang Muslim Jawa yang tidak seberapa memperhatikan perintah-perintah agama Islam dan kurang teliti dalam memenuhi kewajiban- kewajiban agama. Cara hidupnya masih banyak dikuasai oleh tradisi pra Islam Jawa.
Jadi perbedaan antara santri dan abangan adalah diadakan bila orang digolongkan dengan mengarah kepada perilaku religiusnya, pengertian santri dan abangan dalam arti ini, dapat dianggap sebagai dua subkultur dengan pandangan dunia, nilai dan orientasi yang berbeda dalam kebudayaan Jawa.  
M. KESIMPULAN
Dari makalah di atas dapat diambil kesimpulan bahwa interelasi antara agama dan budaya adalah sangat erat hubungannya dengan tradisi kehidupan manusia sehingga agama sering melahirkan budaya ataupun peradaban bagi kenikmatan hidup umat manusia di permukaan bumi. Dalam pandangan beberapa sosiolog menyebutkan bahwa agama Islam disebut sebagai agama peradaban seperti statemen H.A.R Gibb dalam karyanya “Whither Islam”, yang dikutip oleh M. Natsir “Islam is indeed much more than a system of theology, it is a complete civilization” (Islam sesungguhnya jauh lebih dari sebuah system teologi saja, Islam adalah suatu peradaban/kebudayaan yang sempurna).[34]
Dalam kasus interelasi antara agama dan budaya bagi suku Jawa sebagai suku mayoritas di Nusantara merupakan hal yang menatrik untuk diteliti. Islam masuk di Jawa dengan cara damai yang diawali dari rakyat jelata hingga lambat laun masuk ke tingkat istana. Orang Jawa merespon dengan baik masuknya Islam ke Jawa. Karena Islam dengan mudah bersosialisasi dengan masyarakat Jawa. Orang-orang jawa terpikat dengan ajaran Islam yang mengenalkan ketauhidan/ keesaan Allah SWT. Islam bercampur dengan budaya Jawa karena Islam ditujukan untuk mempermudah penyebaran agamanya. Namun sampai saat ini budaya Jawa masih melekat pada ajaran-ajaran Islam yang masih sebagian besar dianut oleh orang jawa.
Islam di Jawa juga mengenal beberapa penggolongan tingkat ketaatan orang Jawa dalam menjalankan ajaran Islam. Mereka disebut golongan santri, priyayi dan abangan. Santri adalah golongan yang sangat taat pada syariat, priyayi adalah golongan birokrat, sedangkan abangan adalah golongan masyarakat yang tidak terlalu memperhatikan perintah-perintah agama.





DAFTAR REFERENSI

Agus Subandi, Sosiologi Agama, Bandung: Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Jati Press, 2010.
Amin, M. Darori. Islam dan Kebudayaan Jawa, Yogyakarta:  Gama Media, 2002
Anthony Giddens, Kapitalisme dan Teori Sosial Moderen: Suatu Analisis dai Karya-karya Dukheim dan Max Weber, Terj. Soeheba K., Jakarta: UI Press, 1986.

A.S. Hornby, Oxford Edvanced Dictionary English, London: Oxford University Press, 2000.

Clyde Kluckhohn, Mirror for man: The Relation of Anthropology and Modern Life, London: Oxford Univ. Press, 1960.

E.F. Bozman, Everyman’s Encyclopedia, Fourth Edition, Vol. Ten, London: JM. Dent & Sons Ltd, 1959.

Emile Durkheim dalam Roland Robertson (Ed)., Sociology of Religion, Selected Readings, England: Pinguin Books, 1971.

Endang Saifuddin Anshari, Agama dan Kebudayaan, Mukaddimah Sejarah Kebudayaan Islam, Surabaya: Bina Ilmu, 1980
Geertz, Clifford, Abangan, Santri, Priyayi Dalam Masyarakat Jawa, Jakarta: Pustaka Jaya, 1981
Hariwijaya, M, Islam Kejawen, Yogyakarta: Gelombang Pasang, 2006
John R, Bennet, “Religion” dalam Encyclopedia Americana, Vol. 29., New York: Americana Corp, 2000.

KBBI, Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional Balai Pustaka, 2006.

Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi, Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1964.

M. Natsir, Islam dan Kebudayaan, dalam Capita Selecta, Bandung: Penerbit W. Van Hove, 1954.
Muchtarom Zaini, Islam di Jawa dalam Perspektif Santri dan Abangan, Jakarta:  Selemba Diniyah, 2002
Ridin Sufwan, dkk, Merumuskan kembali Interrelasi Islam Jawa, Yogyakarta: Gama Media, 2004
T.S. Eliot, Notes towards the definition of Culture, London. Oxford Univ. Press, 1948








[1] Disampaikan pada forum diskusi dalam Mata Kuliah Sosiologi Agama Semester III Prog. Study S3 Agama dan Filsafat Islam (AFI) PPS IAIN SU pada tanggal 7 Desember 2011 dibimbing oleh Prof. Dr. H. Syahrin Harahap, MA.
[2] Lihat. AS. Hornby, Oxford Edvanced Dictionary English (London: Oxford University Press, 2000), h. 447.
[3] Lihat, Endang Saifuddin Anshari, Agama dan Kebudayaan, Mukaddimah Sejarah Kebudayaan Islam (Surabaya: Bina Ilmu, 1980), h. 10
[4] John R, Bennet, “Religion” dalam Encyclopedia Americana, Vol. 29. (New York: Americana Corp, 2000), h. 342.
[5] E.F. Bozman, Everyman’s Encyclopedia, Fourth Edition, Vol. Ten (London: JM. Dent & Sons Ltd, 1959). H. 512.
[6] Lihat, Emile Durkheim dalam Roland Robertson (Ed)., Sociology of Religion, Selected Readings, (England: Pinguin Books, 1971). h. 42-54.
[7]  Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi (Jakarta: Iniversitas Indonesia, 1964), h. 77
[8]  T.S. Eliot, Notes towards the definition of Culture ( London. Oxford Univ. Press, 1948). h. 1
[9] Clyde Kluckhohn, Mirror for man: The Relation of Anthropology and Modern Life (London: Oxford Univ. Press, 1960), h. 25
[10] M. Natsir, Islam dan Kebudayaan, dalam Capita Selecta. (Bandung: Penerbit W. Van Hove, 1954), h. 3.
[11] Dalam sebagian masyarakat suku Jawa misalnya, walaupun sebagai pemeluk Agama Islam mereka tetap tidak meninggalkan upacara-upacara sesajen (berupa makanan, buah-buahan, bunga-bungaan dll) yang diletakkan di suatu tempat yang dianggap keramat, tampaknya pengaruh ajaran Agama Hindu masih terlihat dalam kasus ini. Juga acara siraman bagi suku Jawa dimana air diambil dari 7 mata air yang akan disiramkan kepada sepasang calon pengantin dengan acara khusus yang disiramkan kepada calon pengantin terutama dari keluarga kedua belah pihak dengan tujuan agar pengantin akan menjadi sepasang suami istri yang langgeng dan sejuk dalam menghadapi kehidupan rumah tangganya. Dan air sisa atau bekas siraman tadi kemudian diperebutkan oleh oleh orang-orang sekitarnya dengan kepercayaan bahwa apabila disiramkan kepada anak gadis atau jejaka mereka akan juga segera mendapat jodoh. Dikutip penulis dari acara siraman calon pengantin Anak Presiden SBY Ibas Yudhoyono dan Aliya Hatta Rajasa yang disiarkan  di seluruh TV nasional dan Media cetak pada tanggal 21-24 Nopember 2011.
[12] Lihat, Agus Subandi, Sosiologi Agama (Bandung: UIN Sunan Gunung Jati Press, 2010) h. 10

                 [13] Lihat, Anthony Giddens, Kapitalisme dan Teori Sosial Moderen: Suatu Analisis dai Karya-karya Dukheim dan Max Weber, Terj. Soeheba K. (Jakarta: UI Press, 1986)
              [14]  Sistem religi yang berkeyakinan bahwa warga kelompok unilineal adalah keturunan dewa-dewa nenek moyang yang satu dengan lainnya mempunyai hubungan kekerabatan. Sedangkan Totem adalah benda atau binatang yang dianggap suci dan dipuja (pahamnya disebut: totemisme)     Lihat, Kamus Besar Bahasa Iindonesia (KBBI, (Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional Balai Pustaka, 2006), h. 1208

[15] Lihat, Emile Durkheim, Op. Cit.
[16] Agus Subandi,. Op. Cit.
[17] Seni berpikir secara teratur logis dan teliti yang diawali dengan tesis, antitesis, dan sintesis. Juga ajaran Hegel yang menyatakan bahwa  segala sesuatu yang terdapat di alam semesta itu terjadi dari hasil pertentangan antara dua hal dan yang menimbulkan dua hal yanglain lagi. Lihat, KBBI, Op. Cit., h. 261
[18] Ibid.
[19] Lihat, Ridin Sufwan, dkk, Merumuskan kembali Interelasi Islam Jawa, (Yogyakarta: Gama Media, 2004, h. V

[20] Melaksanakan selamatan tahunan untuk memperingati orang yang telah meninggal dunia dalam tradisi suku Jawa. Lihat,  KBBI., Op. Cit., h. 731

[21] Ajaran yang menyamakan Tuhan dengan kekuatan-kekuatan dan hukum-hukum alam semesta atau penyembahan/pemujaan kepada semua dewa dari berbagai kepercayaan. Ibid., h.  826
[22]  Lihat, M. Darori, Amin,  Islam dan Kebudayaan Jawa, (Yogyakarta: Gama Media, 2002), h 12
[23]  Ibid., h. 128

[24]  Lihat, M. Hariwijaya, Islam Kejawen, (Yogyakarta: Penerbit Gelombang Pasang, 2006), h. 16
[25]  Lihat, Ridin Sufwan, dkk, Merumuskan kembali Interrelasi Islam Jawa, (Yogyakarta, Gama Media, 2004), h. 31
[26]  M. Hariwijaya, Op Cit, h. 167
[27]  M.Darori Amin, Loc. Cit. h. 131
[28]  Ridin Sofwan dkk, Op. Cit, h. 32
[29]  M.Darori Amin, Loc. Cit. h. 130

[30] Suatu sistem pendidikan yang dilaksanakan di alam terbuka, pelopor pengembangannya adalah Sastrawan dan Budayawan India Rabindrananth Tagore. KBBI, O. Cit., h. 377

[31] Lihat, Clifford Geertz,  Abangan, Santri, Priyayi Dalam Masyarakat Jawa, Pustaka Jaya, Jakarta Pusat :1981 hal :IX.  Lihat juga, Clfford Geertz, Religion in Java, dalam Roland Robertson (Ed)., Sociology of Religion, Selected Readings, (England: Pinguin Books, 1971). h. 165-168.
[32]  Lihat, Muchtarom Zaini, Islam di Jawa dalam Perspektif Santri dan Abangan, Selemba diniyah, Jakarta  : 2002 hal: XXI       
[33]  Ibid., h. 9
[34] M. Natsir, Op. Cit.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar