PERBANDINGAN ANTARA:
KELOMPOK MINORITAS MUSLIM DI NEGARA-NEGARA NON-ISLAM DENGAN
KELOMPOK NON-MUSLIM DI NEGARA-NEGARA MAYORITAS ISLAM
Oleh:
Anwarsyah
Nur
S-49:13.
Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku
supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia
diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.
A. PENDAHULUAN
Ketika kita membandingkan antara
kelompok minoritas Muslim di negara-negara non-Islam dengan kelompok non-Muslim
di negara-negara mayoritas berpenduduk Islam, secara umum pikiran kita akan
mengatakan betapa umat Islam selalu mendapat perlakuan diskriminasi apabila
mereka menjadi minoritas. Sementara kelompok non-Muslim selalu mendapat
perlindungan dan hidup dengan aman bila mereka berada di bawah negara-negara
yang berpenduduk mayoritas Islam. Kenyataan ini dapat kita lihat bagaimana umat
Islam diperlakukan secara berbeda dalam berbagai hal dengan penduduk mayoritas
non-Muslim lainnya seperti di Filipina Selatan (Bangsa Moro), India, Amerika
Serikat, Thailand (Suku Melayu Patani), Myanmar (Suku Rohingya), Inggris Raya,
Perancis, Jerman, Rusia dan negara-negara Eropa lainnya, China (Suku Uighur dan
Hui Hui) dsb.[1]
Sedangkan kalau kelompok minoritas
non-Muslim berada di bawah negara-negara yang berpenduduk mayoritas Islam,
mereka selalu mendapat perlindungan dan hidup dengan aman berdampingan dengan
umat Islam. Hal ini dapat kita lihat bahwa sangat jarang terjadi tekanan
diskriminasi terhadap penduduk non-Muslim tadi, dan kalaupun terjadi hanya
bersifat kasuistik.” Lihat pernyataan Akbar S Ahmed dalam karyanya “Muslims as Minorities” ”It is not difficult to see why Muslims who
live as a minority in non-Muslim countries like India or Israel are seen by
them as a problem. The reasons are relatively simple. Wherever Muslims live as
minorities they increasingly face problems or discrimination.”[2]
Fenomena diatas
muncul akibat dari pengalaman sejarah yang panjang terutama antar ketiga agama
samawi yang sama-sama lahir di Timur Tengah yakni; Yahudi, Kristen dan Islam.
Benturan selalu terjadi antar pemeluk ketiga agama ini, namun jarang terjadi
pemeluk ketiga agama tersebut konflik dengan agama-agama “Timur” seperti
Buddha, Khonghucu, Tao, Sinto dll. Kecuali dengan pemeluk agama Hindu dan Islam
sebagai minoritas di India.[3]
Sejarah mencatat
ada semacam krisis kepercayaan dalam hubungan antara Muslim dan non-Muslim.
Krisis ini timbul akibat dari sekian banyak permasalahan dulu dan sekarang yang
muncul secara sengaja maupun tidak di sengaja. Ibarat bom waktu, kalau
tidak diantisipasi secara obyektif akan meledak sewaktu-waktu dimana-mana saja.
Suatu hal yang tidak bisa dilupakan
dari ingatan, umat Islam telah banyak mengalami penderitaan akibat penindasan
dari non-Muslim. Tidak mudah untuk menghilangkan ingatan akan kebiadaban
perang Salib. Begitu juga pembantaian dan evakuasi umat Islam secara
besar-besaran dari Andalusia[4]
dan Sicilia.[5]
Masih banyak lagi peristiwa menyedihkan yang dialami umat Islam di saat mereka
menjadi minoritas. Peristiwa tersebut tidak hanya membekas dalam ingatan
sejarah tetapi juga memberi pengaruh kuat dalam fikih Islam. Agama adalah
memang milik Tuhan, tetapi fikih selamanya tetap milik sejarah. Dari
sinilah kemudian timbul beberapa fatwa dan ijtihad yang dalam konteks kekinian
nampaknya perlu direvisi.
Sementara itu, di
pihak non-muslim juga timbul keraguan dan kekhawatiran untuk menjalin hubungan
baik dengan mitranya umat Islam. Sebab, mereka juga pernah mengalami perlakuan
semena-mena dari sebagian kelompok mayoritas Muslim yang beraliran “keras” yang
memahami Islam secara sempit. Apalagi, masih banyak dai-dai Islam dengan
bekal pemahaman teks-teks keagamaan secara sempit menyuarakan sikap keras dalam
berhubungan dengan non-muslim. Kekhawatiran ini belakangan mendorong
kongres Amerika untuk mengeluarkan Undang-Undang Anti Penindasan Agama sebagai
upaya melindungi minoritas Kristen di dunia.
Sejarah memang
mencatat demikian, namun kepentingan bersama untuk mewujudkan masa kini dan
mendatang yang lebih baik adalah satu keharusan. Hubungan harmonis
keduanya mutlak diperlukan. Untuk itu, peranan umat Islam diharapkan
lebih besar. Saat menjadi mayoritas, satu sisi mereka dituntut untuk
memberikan rasa aman dalam diri minoritas, sementara di sisi lain mereka juga
dituntut untuk menunjukkan keagungan misi risalah yang dibawanya dengan tanpa
menafikan peranan minoritas sebagai mitra sejatinya dalam mewujudkan proyek
kebahagiaan bersama.[6]
Bagaimana
perbadingan antara kelompok minoritas Muslim di negara-negara non-Islam dengan
kelompok non-Muslim di negara-negara mayoritas berpenduduk Islam, dan mengapa
kelompok Muslim selalu mendapat perlakuan diskriminasi jika mereka menjadi
minoritas di negara-negara yang berpenduduk mayoritas non-Islam. Sementara
kelompok non-Muslim selalu mendapat perlindungan dan hidup dengan aman bila
mereka berada di bawah negara-negara yang berpenduduk mayoritas Islam. Masalah
tersebut akan menjadi pembahasan dalam makalah ini.
B. PEMBAHASAN
1. Kesaksian Sejarah.
Di saat umat Islam berkuasa, agama-agama dibiarkan hidup dengan
bebas. Namun, ketika non-Muslim berkuasa – selain agama penguasa – semua
agama habis ditumpas. Demikian catatan hubungan Muslim dan non-Muslim
sepanjang sejarah. Pernyataan di atas tidak terlalu berlebihan, sebab
Islam adalah agama kemanusiaan yang sangat menjunjung tinggi harkat manusia
tanpa membedakan bangsa, agama dan warna (Lihat, Surah Al Hujarat ayat 13 di
atas). Risalahnya merupakan kelanjutan dari risalah agama-agama samawi
sebelumnya. Maka, disamping meyakini ajarannya, umat Islam sepanjang
sejarahnya membiarkan kelompok-kelompok non-muslim hidup dengan tenang di
negerinya.
Sebaliknya, Eropa yang mayoritas Kristen tidak
mengakui Nabi Muhammad saw. sebagai nabi. Penolakan ini kemudian mewarnai
sikap Eropa yang tidak mengakui keberadaan hak-hak minoritas Muslim.
Andalusia dan Sicilia adalah dua Negara yang dapat menjadi saksi. Saat
itu umat Islam tidak mempunyai pilihan kecuali pembunuhan, kristenisasi atau
evakuasi. Tiga pilihan yang membuat api Islam redup dan Andalusia
hanya tinggal kenangan sebagai sorga yang hilang (the lost paradise).
Fenomena di atas membuat seorang
cendekiawan Jerman, Adam Smith menyatakan , perbedaan terbesar antara Imperium
Islam dan Eropa yaitu adanya kelompok-kelompok agama lain di tengah-tengah umat
Islam. Sampai pada akhir abad ke-IV Hijriah, Koptik Mesir belum
menggunakan bahasa Arab dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini berarti
hampir 350 tahun Mesir dikuasai Islam, penduduknya yang Koptik dibiarkan
berbicara bahasa Koptik. Keberadaan umat Kristen di tengah masyarakat
Islam ini menyebabkan lahirnya prinsip-prinsip dasar kehidupan beragama yang
toleran, seperti dikembangkan dalam ilmu perbandingan agama.
Pada saat Islam muncul, dunia masih
menganut prinsip “Ejus region, Cujus
religio,” artinya setiap kerajaan memiliki agama sendiri-sendiri.
Maka, agama rakyat adalah agama penguasa. Di Barat prinsip tersebut masih
berlaku sampai paruh kedua abad ke-18 ketika pecah Revolusi Amerika dan
Perancis. Namun, sejak abad ke-6, Islam datang dengan prinsip ajaran yang
memberikan hak hidup, termasuk tradisi dan keyakinan lama, kepada bangsa-bangsa
yang didudukinya. Siasat ini membuat bangsa-bangsa Arab saat itu masuk
Islam dengan damai atau tetap hidup dalam kelompok-kelompok agama mereka.
Mereka adalah saksi sejarah akan tingginya nilai kemanusiaan yang dibawa oleh
agama Islam dengan memberikan hak-hak individu atau kelompok, bahkan hak sebagai
warga Negara secara penuh.
Hubungan umat Islam dengan penganut
agama-agama lain sejak awal sejarah Islam terlihat pada dua hal: Pertama, kehidupan normal antara sesama
umat manusia; Kedua, peran serta
non-Muslim di tengah masyarakat sebagai wujud tanggung jawab bersama.
Dalam konteks hubungan pertama, sejak permulaan dakwah Islam, antara Muslim dan
non-Muslim telah terjadi hubungan harmonis. Dengan para tetangganya,
ahlul kitab, Rasulullah selalu menunjukkan keramahan dan kebaikan hati.
Kerap kali beliau saling tukar-menukar hadiah dengan mereka.
Sampai-sampai, saking yakinnya Rasulullah tidak akan menolak hadiah, seorang
wanita Yahudi menaruh racun pada hidangan domba masak yang dihadiahkannya
kepada beliau. Ketika delegasi Kristen dari Habsyah (Sekarang bernama
Ethiopia) datang, beliau langsung menyambutnya di masjid dan menjamu mereka
seraya berkata: “Mereka telah memuliakan sahabat-sahabat kita, maka dari itu
saya harus memuliakan mereka”. Suatu saat, delegasi Kristen Najran datang
ke Madinah. Tanpa berat hati beliau sambut mereka di masjid dan beliau
perkenakan mereka untuk melakukan ritual keagamaan berdampingan dengan umat
Islam di tempat yang sama. Suatu fenomena yang tidak pernah terjadi saat
itu dalam hubungan antar umat beragama. Keharmonisan tersebut tetap berlanjut
pada masa-masa berikutnya.
Suasana saling menghormati antara
Muslim dan non-Muslim selalu mewarnai kehidupan beragama pada masa pemerintahan
Khulafa’ur Rasyidin, Dinasti Bani Umayah dan Bani Abasiyah. Memang
terkadang tidak selalu begitu, terutama saat penguasa menyimpang dari
prinsip-prinsip ajaran Islam. Yang terjadi adalah kezhaliman dan
penindasan. Tetapi, yang tidak boleh dilupakan, dampak kezhaliman
penguasa juga dirasakan oleh umat Islam, bahkan jauh lebih besar ketimbang yang
dialami oleh non-muslim.
Dalam konteks hubungan kedua,
sejarah membuktikan keikutsertaan warga non-muslim dalam pemerintahan
Islam. Dengan tercengang, ketika melihat banyaknya pegawai non-muslim
dalam pemerintahan Islam, Adam Smith mengatakan: “Seakan-akan non-Muslimlah
yang memerintah Negara Islam.” Warga non-Muslim banyak menduduki
posisi-posisi strategis dalam pemerintahan, seperti masalah keuangan dan
kesekretariatan Negara. Selama satu abad kementrian keuangan pada
pemerintahan Bani Umayyah dipegang oleh sebuah keluarga Kristen secara
turun-temurun. Meskipun, secara obyektif masih kita dapati beberapa
penguasa Islam seperti al-Mansur (754-775 M), al-Muttawakkil (847-861 M), dan
al-Muqtadir (908-932 M) tidak memberikan kesempatan kepada mereka.
Hubungan mesra tersebut juga dapat
dilihat dalam sektor keilmuan. Banyak warga non-Muslim yang belajar kepada
ulama-ulama Islam, seperti Sibawaih dan al-Farabi. Peran serta warga
non-Muslim yang sangat menonjol itu bahkan sempat menimbulkan kecemburuan dari
kalangan umat Islam.
Sampai di sini kita dapat melihat
betapa warga non-Muslim mendapatkan hak warga negara penuh di tengah masyarakat
Islam, bahkan menjadi warga negara istimewa. Sampai-sampai, umat Islam
sendiri mengeluh (cemburu) karena melihat fenomena tersebut.
Dari fakta sejarah di atas optimis
dapat menemukan jembatan penghubung ke arah kehidupan bersama yang bahagia
dalam kerangka yang dapat disepakati semua pihak.
2. Minoritas, antara Hak dan
Identitas
Masalah hak-hak minoritas telah lama
diperdebatkan oleh generasi pertama umat Islam. Buku yang pertama kali
muncul menyangkut masalah ini adalah al-Maj
mu’ fi al-Fiqh karya Zaid bin Ali (W. 122 H). Sejak itu buku-buku fiqh
Islam tidak pernah lepas dari pembicaraan hak-hak internasional di bawah tema Bab al-Sair.
Yang dilakukan para ahli fikih
sebenarnya hanyalah sebatas penjelasan atas prinsip-prinsip umum yang telah
ditetapkan teks-teks alq ur’an.
Hak-hak asasi manusia, Muslim maupun tidak, bukan berasal dari hasil ijtihad
ulama terdahulu, tetapi lebih dari itu ia bersumber dari hikmah dan keadilan
Tuhan. Karena itu, ia berkaitan erat dengan masalah keimanan.
Pelecehan terhadap nilai-nilai suci (alqur’an). Atas dasar itu, sebagian
pemikir Islam menetapkan, hak-hak dan kewajiban tersebut tidak boleh
terpengaruh akibat perlakuan tidak baik terhadap minoritas Muslim di luar
Negara Islam. Maka, tidak boleh bagi Negara Islam untuk memperlakukan minoritas
non-Muslim sebagai tindak pembalasan setimpal, selama itu menyangkut pelecehan
hak-hak orang lain yang ditetapkan Islam.
Pelaksanaan hak-hak tersebut
hendaknya bukan atas dasar belas kasihan mayoritas terhadap minoritas,
melainkan berdasarkan ketetapan Tuhan. Dari sini, penggunaan istilah
“toleransi” dalam hubungan Muslim dan non-Muslim menjadi kurang tepat.
Kata toleransi berkonotasi belas kasihan yang diberikan secara sukarela yang
sewaktu-waktu dapat ditarik kembali. Padahal, ini menyangkut keimanan
seseorang yang tidak berlaku tawar-menawar.
Dalam prakteknya, pelaksanaan
hak-hak tersebut masih banyak mengalami hambatan. Sebab fikih Islam masih
memperkenalkan pembagian wilayah menjadi Darul
Islam dan Darul Harb. Yang
menjadi pemisah antara keduanya adalah keimanan. Berdasarkan pembagian
ini, para ahli fikih mengklasifikasikan masyarakat menjadi empat kelompok,
yaitu: di dalam negeri Islam (Darul Islam)
menjadi muslim dan dzimmy, sedangkan di luar negeri Islam (Darul Harb) menjadi musta’min (yang memilih perjanjian damai) dan
muharib (yang selalu ingin memerangi).
Saat ini pembagian tersebut tidak
lagi relevan. Sebab, negeri Islam tersebar di berbagai Negara yang
terhimpun dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI). Darul Harb saat ini tidak bisa diperuntukkan bagi Negara-negara
non-muslim. Bahkan, kebanyakan perang justru terjadi antara Negara-negara
Islam. Selain hanya sekedar hasil ijtihad ulama terdahulu, pembagian
tersebut lahir sebagai proses sejarah, khususnya masa-masa awal pemerintahan
Islam.
3. Kaum Minoritas Non-Muslim di Negara Islam
Masyarakat Islam adalah masyarakat yang
bertumpu pada aqidah Islam dan ideologi yang khas yang merupakan sumber
peraturan dan hukum serta etika dan akhlaknya. Masyarakat Islam
menjadikan Islam sebagai konsep hidupnya, konstitusi pemerintahannya, sumber
hukumnya, dan penentu arahnya dalam semua urusan kehidupan dan
hubungan-hubungannya secara individual dan komunal, material dan spiritual,
serta nasional dan internasional. Hal ini tidak berarti bahwa masyarakat Islam
memvonis mati segala unsur lain di dalamnya yang kebetulan memeluk agama selain
Islam.[7]
Hubungan antara sesama warga
negara, yang Muslim dan yang non-Muslim, sepenuhnya ditegakkan atas asas-asas
toleransi, keadilan, kebajikan, dan kasih sayang. Namun, sampai sekarang
asas-asas ini masih dalam dambaan dan harapan semua masyarakat modern untuk
mewujudkannya. Di tengah hiruk pikuk perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi serta peradaban manusia, asas-asas ini terus diupayakan, demi menjaga
keseimbangan dalam kehidupan umat manusia.
Kenyataannya, berbagai konflik masih
terus terjadi di berbagai daerah dan Negara yang menggambarkan betapa toleransi
dan masalah keadilan merupakan dua hal yang banyak memunculkan problematika. Setiap
Muslim dituntut agar memperlakukan semua manusia dengan kebajikan dan keadilan,
walaupun mereka itu tidak mengakui agama Islam, selama mereka tidak menghalangi
penyebarannya, tidak memerangi para penyerunya, dan tidak menindas para
pemeluknya. Ketentuan ini berlaku di negara Islam (Darul Islam) maupun
di luar negara Islam. Khusus di negara Islam, para penganut agama selain Islam
(nonMuslim) biasa disebut dengan Ahludz Dzimmah. Kata dzimmah berarti
perjanjian, jaminan, dan keamanan. Mereka dinamakan demikian karena mereka
memiliki jaminan perjanjian Allah dan Rasul-Nya serta semua kaum Muslim untuk
hidup dengan aman dan tenteram di bawah perlindungan Islam dan dalam lingkungan
masyarakat Islam. Dengan demikian, negara Islam memberikan kepada orang-orang non-Muslim
suatu hak yang di masa sekarang mirip dengan apa yang disebut sebagai kewarganegaraan
politik (hak politik) yang diberikan oleh negara kepada rakyatnya. Dengan ini
pula kaum non-Muslim memperoleh dan terikat pada hak-hak dan kewajiban-kewajiban
semua warga Negara.[8]
Akad dzimmah berlaku untuk
selamanya dan mengandung ketentuan membiarkan orang-orang non-Muslim tetap
dalam agama mereka di samping hak menikmati perlindungan dan perhatian jama’ah
kaum Muslim, dengan syarat mereka membayar jizyah serta berpegang pada
hukum Islam dalam hal-hal yang berhubungan langsung dengan masalah-masalah
agama. Dengan ini mereka menjadi bagian dari Darul Islam.
4. Perlindungan Hukum Islam terhadap
Kaum Minoritas
Adanya akad dzimmah menumbuhkan
hak-hak yang bersama-sama berlaku di antara kedua belah pihak, yakni kaum
Muslim dan kaum non-Muslim (Ahludz Dzimmah), di samping
kewajiban-kewajiban mereka. Hak yang diperoleh oleh kaum non-Muslim (kaum
minoritas), seperti yang juga diperoleh kaum Muslim, adalah perlindungan dan
jaminan dalam berbagai hal. Di antara perlindungan yang diberikan kepada mereka
adalah sebagai berikut:
- Perlindungan terhadap pelanggaran dari luar negeri.
Sudah merupakan kewajiban seorang
imam atau penguasa dari negara Islam untuk melakukan penyelenggaraan
perlindungan seperti ini dengan kekuasaan yang diberikan kepadanya oleh syariah
(hukum Islam) serta kekuasaan militer yang berada di bawah wewenangnya. Seorang
imam wajib menjaga keselamatan kaum minoritas dan mencegah siapa saja yang
mengganggu mereka, melepaskan mereka dari tindakan penawanan dan menolak
kejahatan siapa saja yang mengarah kepada mereka.[9]
Imam Qarrafi[10]
mengatakan, apabila orang-orang kafir datang ke negeri Islam karena hendak
mengganggu orang-orang yang berada dalam perlindungan akad dzimmah, maka
wajib bagi umat Islam menghadang dan memerangi mereka dengan segala kekuatan
dan senjata, bahkan umat Islam harus siap mati untuk itu demi menjaga
keselamatan orang yang berada dalam dzimmah Allah swt. dan dzimmah Rasulullah
Saw. Menyerahkan kepada mereka tanpa upaya-upaya tersebut dianggap
menyia-nyiakan akad dzimmah.
b.
Perlindungan terhadap kezaliman di dalam negeri.
Perlindungan terhadap kezaliman yang
berasal dari dalam negeri adalah suatu yang diwajibkan oleh Islam, bahkan
sangat diwajibkan. Islam memperingatkan kaum Muslimin agar jangan sekali-kali
mengganggu dan melanggar hak Ahludz Dzimmah, baik dengan tindakan
ataupun ucapan. Allah tidak menyukai orang-orang zalim dan tidak pula memberi
mereka petunjuk. Sebaliknya Allah akan menyegerakan azab atas mereka atau
menangguhkan hukuman atas mereka di akhirat dengan berlipat ganda.[11]
Dalam perjanjian Nabi Muhammad Saw.
dengan penduduk Najran (yang
beragama Nasrani) disebutkan antara
lain: “Tidak diperkenankan menghukum seseorang dari mereka karena kesalahan
seorang lainnya.” Umar bin Khaththab sering menanyai orang-orang yang datang
dari daerah-daerah tentang keadaan Ahludz Dzimmah karena khawatir
ada di antara kaum Muslimin yang menimbulkan suatu gangguan terhadap mereka.
Para fuqaha’ (ahli-ahli hukum Islam) dari seluruh mazhab menegaskan
bahwa kaum Muslimin wajib mencegah kezaliman apa pun yang menimpa Ahludz
Dzimmah. Bahkan sebagian dari fuqaha’ itu menegaskan bahwa kezaliman
terhadap Ahludz Dzimmah lebih besar dosanya daripada kezaliman terhadap
sesama Muslim.[12]
c. Perlindungan nyawa, badan, harta, dan kehormatan.
Hak perlindungan yang ditetapkan
bagi Ahludz Dzimmah mencakup perlindungan keselamatan darah (nyawa) dan
badan mereka sebagaimana mencakup pula harta dan kehormatan mereka. Darah dan
nyawa mereka sepenuhnya dijamin keselamatannya dengan kesepakatan kaum Muslim.
Menurut pendapat para ulama, membunuh mereka haram hukumnya. Nabi Saw.
bersabda: “Barang siapa membunuh seorang mu’ahad (yakni yang
terikat perjanjian keselamatan dengan kaum Muslim) tidak akan mencium bau harum
surga, sedangkan harumnya dapat tercium dari jarak perjalanan empat puluh tahun
(HR. Ahmad dan al-Bukhari). Dari hadits ini, sebagian ulama
berpendapat bahwa seorang Muslim yang membunuh seorang Ahludz Dzimmah dapat
dihukum mati dan sebagian yang lain tidak dapat dihukum mati. Hal seperti ini
juga terjadi pada masa sahabat.[13]
Dalam hal perlindungan harta benda,
para ulama dari semua mazhab bersepakat untuk melindungi harta benda kaum
minoritas non-Muslim (Ahludz Dzimmah). Terkait dengan hal ini
Umar bin Khaththab berpesan kepada Abu Ubaidah: “Cegahlah kaum Muslim dari
bertindak zhalim terhadap mereka (yakni
Ahludz Dzimmah), mengganggu ataupun memakan harta
mereka kecuali dengan cara-cara yang menghalalkannya.” Siapa pun yang mencuri
harta milik seorang Dzimmi akan dipotong tangannya, siapa yang merampasnya akan
dihukum dan harta itu pun akan dikembalikan kepada pemiliknya. Perlindungan
yang sama yang diberikan kepada Ahludz Dzimmah juga terjadi dalam hal
kehormatan. Islam juga memberikan perlindungan kepada Ahludz Dzimmah sama
seperti yang diberikan kepada kaum Muslim. Siapa pun tidak boleh mencaci seorang
Dzimmi ataupun menujukan tuduhan
palsu terhadapnya, menjelekkannya dengan suatu kebohongan, memperguncingkannya
dengan suatu ucapan yang tidak disukainya.
Itulah beberapa yang diberikan oleh
Islam kepada kaum minoritas non-Muslim yang berada dalam naungan kekuasaan
Islam. Adapun jaminan-jaminan yang diberikan kepada mereka di antaranya seperti
berikut:
a. Jaminan hari tua dan kemiskinan.
Islam memberikan jaminan kehidupan
yang layak bagi orang-orang non-Muslim yang berdiam di daerah kekuasaan kaum
Muslim serta keluarga yang menjadi tanggungan mereka. Bagi mereka yang sudah
berusia tua dan sudah tidak lagi mampu bekerja atau sakit sehingga tidak lagi
dapat mencukupi kebutuhan hidup mereka, maka mereka dibebaskan dari kewajiban jizyah,
dan bahkan mereka berserta keluarganya kemudian menjadi tanggungan Baitul
Mal (kas negara). Demikianlah yang dilakukan oleh Khalifah Abu Bakar dalam
memperlakukan kaum minoritas. Jadi, para Ahludz Dzimmah yang benar-benar
jatuh dalam kemiskinan harus mendapat perhatian khusus dari penguasa Islam
untuk diberikan santunan atau bantuan untuk kehidupan mereka. Dengan ini maka
berlangusunglah jaminan sosial dalam Islam sebagai suatu konsep umum yang
meliputi seluruh anggota masyarakat, Muslim atau non-Muslim.
b. Jaminan atas kebebasan beragama
Kebebasan beragama dan beribadah
dijamin dalam Islam, baik bagi kaum Muslim maupun non-Muslim. Tidak
diperbolehkan melakukan tekanan dan ancaman agar mereka memeluk agama Islam
(QS. al-Baqarah (2): 256 dan QS. Yunus (10): 99). Dalam sejarah tidak pernah
dikenal suatu bangsa Muslim memaksa Ahludz Dzimmah (non-Muslim)
untuk memeluk Islam. Begitu juga Islam telah menjaga dengan baik rumah-rumah
ibadah milik kaum non-Muslim serta menghargai kesucian upacara-upacara ritual
mereka. Hingga sekarang pun tidak dijumpai negara-negara Islam yang memaksakan kepada
penduduknya yang non-Muslim memeluk Islam. Yang terjadi justeru sebaliknya,
banyak kaum Muslim di negara-negara yang mayoritas penduduknya non-Muslim
mendapat tekanan dan ketidakadilan, sehingga kaum Muslim tidak dapat
menjalankan agamanya dengan leluasa.[14]
Kebebasan beragama dijamin oleh
Islam sejak zaman Nabi Muhammad Saw. Nabi tidak pernah memaksa rakyat Madinah
yang tidak memeluk Islam untuk mengubah agamanya. Nabi Saw. hanyalah
mendakwahkan Islam kepada mereka. Soal konversi ke agama Islam tergantung
kepada kesadaran mereka. Hal ini berbeda dengan yang terjadi di Bizantium.
Negara ini memaksakan agama tertentu kepada seluruh rakyat yang berada di bawah
pemerintahannya. Rakyat tidak memiliki hak kebebasan untuk menganut suatu
agama. Karena itulah, banyak rakyat yang tidak merasa senang dengan penguasa
Bizantium.[15]
c. Jaminan atas kebebasan bekerja
dan berusaha.
Kaum minoritas non-Muslim memiliki
kebebasan untuk bekerja dan berusaha, memilih pekerjaan-pekerjaan bebas yang
mereka inginkan, dan mengelola berbagai macam kegiatan ekonomi sama seperti
kebebasan yang dimiliki oleh kaum Muslim. Selain hal ini, mereka juga dapat
menikmati kebebasan penuh dalam perdagangan, industri, dan keterampilan. Dalam
kenyataannya sekarang di negara-negara Islam sektor ekonomi banyak yang
dikuasai oleh kaum non-Muslim, sehingga dalam masalah ini mereka menjadi
pengendalinya. Hal ini terjadi juga karena adanya dukungan dari negara-negara
maju yang kuat ekonominya, seperti Amerika Serikan dan negara-negara Eropa
Barat.[16]
d. Jaminan jabatan dalam
pemerintahan
Ahludz Dzimmah juga memiliki hak untuk menduduki
jabatan-jabatan dalam pemerintahan seperti halnya kaum Muslim, kecuali
jabatan-jabatan keagamaan, seperti imam, pemimpin tertinggi negara, panglima
tentara, hakim untuk kaum Muslim, penanggung jawab urusan zakat dan sedekah,
dan yang sejenisnya. Jabatan-jabatan seperti ini sangat terkait dengan agama
Islam dan ajaran-ajaran yang ada di dalamnya yang harus benar-benar dijaga dan
dipelihara oleh kaum Muslim.
Tugas-tugas di luar bidang keagamaan
itu boleh diserahkankepada Ahludz Dzimmah bila mereka memiliki
persyaratan khusus, seperti kecakapan, kejujuran, dan kesetiaan kepada negara.
Hal ini menunjukkan betapa tingginya toleransi Islam terhadap penganut agama
lain. Namun toleransi ini tidak sampai melewati batas yang dapat membahayakan
aqidah kaum Muslim serta kelangsungan dan kejayaan pemerintahan Islam. Perlu
ditegaskan di sini, bahwa adanya perlindungan dan jaminan terhadap kaum
non-Muslim seperti di atas bukan merupakan pemberian gratis dari Islam. Islam memberikan
hak-hak semacam itu sebagai imbangan dari kewajiban-kewajiban yang mereka
lakukan. Artinya perlindungan dan jaminan itu akan diberikan kepada kaum non-Muslim
jika mereka benar-benar melaksanakan kewajiban-kewajibannya sebagai warga
negara. Jika kewajiban-kewajiban itu tidak mereka penuhi, maka perlindungan dan
jaminan itu juga tidak bisa mereka peroleh. Kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi
kaum Muslim Ahludz Dzimmah) adalah: 1) kewajiban keuangan seperti membayar
jizyah, kharaj, dan pajak perdagangan, 2) mengikat diri dengan hukum-hukum
konstitusi Islam dalam muamalah, transaksi-transaksi di sektor sipil dan sebagainya,
dan 3) menghormati syi’ar-syi’ar Islam serta menjaga perasaan-perasaan kaum
Muslim.[17]
5. Minoritas Muslim di Barat
(Amerika dan Eropa)
Terdapat perbedaan-perbedaan antara
umat Muslim yang tinggal di Negara-negara Eropa dengan umat Muslim yang tinggal
di Amerika Serikat dan Kanada (Amerika Utara). Perbedaan utama terletak pada
komposisi umat Muslim dalam bidang sosial dan ekonomi. Umat Islam di Amerika Utara sebagaian besar
merupakan kalangan kelas menengah (middle
class) seperti: dokter, ahli teknik, academisi sehingga masyarakatnya
memiliki kepercayaan sosial yang lebih besar (a greater social confidence) yang memberikan rasa kepemilikan yang
positif (a positive sense of belonging)
terhadap agama yang mereka anut (Islam). Umat Islam di Amerika sudah berabad
lalu tinggal terpencar di Negara Paman Sam ini dan tidak terkonsentrasi pada
satu wilayah. Yang menarik bahwa Umat Muslim di Amerika tidak lagi
mempertahankan identitas tradisional asal muasal Negara mereka. Mereka telah
benar-benar terbaur dengan masyarakat Amerika baik cara makan maupun
berpakaian.[18]
Sementara umat
Muslim di Eropa, kebanyakan adalah kelas buruh atau pekerja bahkan lebih rendah
status sosialnya (underclass) di
bawah itu. Umat Muslim di Eropa kebanyakan berasal dari para migrant dari
berbagai Negara di Afrika Utara dan Turki yang masih mempertahankan identitas
tradisional Muslim mereka. Akibat mempertahankan identitas tradisional mereka,
umat Islam di Eropa terpecah-pecah ke dalam masing-masing komunitas yang
mengakibatkan tidak bersatunya umat Islam dalam menghadapi ancaman ataupun
diskriminasi dari mayoritas non-Muslim di Negara dimana mereka tinggal. Bahkan
menurut Ahmed S Akbar, mereka saling kecam dan lebih tertarik untuk saling
menyerang satu sama lainnya daripada membentuk persatuan untuk mewakili umat
Islam dalam berbagai hal (They seem more
interested in attacking each other than representing the community).
Di samping
minimnya pendidikan yang memadai dari umat Islam itu sendiri sehingga umat
Islam tidak terwakili secara resmi di Parlemen di Negara dimana mereka tinggal.[19]
Berbeda dengan di Amerika dimana umat Muslim telah memilki 2 (dua) anggota
senat yang mewakili umat Islam Amerika yakni; Keith Elisson dan Andre D.
Carson.
Umat Islam di
Eropa sering mendapat kecaman oleh orang-orang dari non-Muslim khususnya
pemakaian jilbab bagi wanita Muslim seperti di Perancis dan negara-negara Eropa
lainnya. Berbeda dengan umat Muslim di Amerika yang lebih bebas beribadah dan
tidak mendapat kecaman seperti yang ada di Eropa. Hal ini dimungkinkan karena
kuatnya kebebasan demokrasi di Amerika. Menurut Ahmed S Akbar bahwa
perkembangan Islam di Amerika juga terpengaruh dengan kuatnya kebangkitan Black Muslim yang melakukan
dakwah-dakwah Islamiyah di seantero Amerika khususnya terhadap keturunan
Afro-Amerika. Tertariknya kelompok ini masuk Islam karena Islam adalah agama
yang tidak membeda-bedakan ras, asal usul, warna kulit maupun suku bangsa.
Islam juga dipandang sebagai agama yang egalitarianism.[20]
6. Minoritas Muslim di Cina, Thailand dan Pilipina
Ketika kita berbicara Muslim sebagai
minoritas, maka hampir semua negara di dunia ini yang mayoritas penduduknya
non-Muslim pasti terdapat umat Muslim sebagai minoritas. Oleh karena itu tidak
semua negara dimana Muslim sebagai minoritas akan kita bahas dalam makalah ini.
Sebagai sebuah negara terbanyak
penduduknya, Cina merupakan negara dimana Partai Komunis sebagai pemegang
kekuasaan setelah tumbangnya rezim nasionalis
republik. Muslim di Cina dikenal sebagai suku bangsa Hui Hui yang
terkonsentrasi sebagian besar tinggal di Provinsi Sinkiang (Xinjiang).
Diperkirakan pada abad ke tujuh Muslim datang ke Cina berasal dari para
pedagang dari Timur Tengah dan Asia Tengah melalui jalan Sutra. Para pedagang
tadi kemudian menetap di Cina dan membentuk komunitas tersendiri di Cina bagian
barat (Provinsi Sinkiang).
Kebijakan oppresif
dan diskriminatif yang dilakukan Dinasti Manchu pada abad ke tujuh terhadap
suku Hui Hui ini mengakibatkan timbulnya pemberontakan-pemberontakan kecil dari
umat Muslim, namun dapat ditumpas oleh penguasa Manchu. Untuk meredakan gejolak
umat Muslim, pada tahun 1912 ketika rezim republik berkuasa secara resmi
menjadikan komunitas Muslim menjadi golongan 5 besar komunitas di Cina (five great peoples of China). Kebijakan
politik Cina Komunis kemudian memberikan daerah otonomi khusus bagi umat Islam
yakni Provinsi Xinjiang. Namun walaupun telah diberikan otonomi khusus masih
juga terjadi tindakan represif dan diskriminasi dari rezim komunis, secara umum
umat Islam menginginkan kemerdekaan bagi daerah-daerah yang berpenduduk
mayoritas Islam. “Although repression is
still possible and assimilation always likely it appears that fuller autonomy
is not an option for Chinese Muslims. Major Chinese Muslim rebellions have not
created long-lasting areas of Muslim independence.”[21]
Mayoritas umat Islam di Thailand
tinggal di 4 (empat) provinsi bagian selatan negara “gajah putih” tersebut
yakni wilayah bekas Kesultanan Melayu Pattani. Kebijakan reppresif dan
diskriminatif pemerintah Thailand yang mayoritas beragama Buddha terhadap umat
Islam tanpak dengan dipaksakannya budaya Thailand seperti bahasa, pakaian dsb
kepada umat Islam dimana umat Islam harus meninggalkan budaya Melayu seperti
cara berpakaian, tulisan Jawi (Arab Melayu) dsb. Juga lapangan pekerjaan yang
sulit diperoleh umat Islam di Pemerintahan. Kebijakan ini kemudian membuat umat
Islam bersifat separatis yang
kemudian memberontak membentuk
organisasi perlawanan yang disebut NLFP (National
Liberation Front of Pattani) atau Front Pembebasan Nasional Bangsa Pattani.[22]
Sampai saat ini melalui mass-media sering kita dengar terjadi pemboman-pemboman
yang dilakukan kelompok ini di Thailand Selatan.
Sementara Bangsa Moro di Pilipina
Selatan dengan organisasi perlawanannya MNLF (Moro National Liberation Front) atau Front Pembebasan Bangsa Moro
juga sama nasibnya dengan minoritas Muslim di Negara mayoritas Katholik
Pilipina, yakni mendapat perlakuan reppressif dan diskriminasi dari Pemerintah
Pilipina. Namun MNLF sedikit lebih beruntung daripada NLFP atau Muslim Pattani
di Thailand karena MNLF mendapat dukungan dari Organizations of Islamic Conference (OIC) dimana Negara-negara
anggota OIC mendesak pemerintah Pilipina untuk memberikan otonomi khusus bagi
Bangsa Moro yang Muslim dan mendapat bantuan financial dari OIC. Sementara
masalah Pattani dianggap sebagai masalah dalam negeri Thailand saja.[23]
Oleh karena itu dialog lintas agama sangat
perlu dilakukan oleh semua pemeluk antar agama. Hal ini penting untuk mencari
titik temu dalam menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi semua kelompok
agama. Dialog sebagai alat perdamaian dan juga perkenalan sesungguhnya adalah
ajaran Islam yang wajib dilaksanakan umat Islam seperti yang tercantum dalam
Alquran (S. 49: 13) yang berbunyi: Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling
kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi
Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha
mengetahui lagi Maha Mengenal.
C. KESIMPULAN
Sebagai agama yang ajarannya penuh
dengan toleransi dan selalu menghargai pemeluk-pemeluk agama lain, agama Islam tidak
diskriminatif, tidak membeda-bedakan suku bangsa seseorang, juga warna kulit
maupun asal muasal seseorang dan negara-negara mayoritas Muslim secara umum
selalu melindungi serta memperlakukan minoritas non-Muslim sebagai mitra dalam hubungannya
yang harmonis antar manusia di permukaan bumi sebagai perwujudan hubungan
dengan sang Khalik (hamblun min al Allah
wa hamblun min al nas). Hal ini menunjukkan bahwa ajaran Islam adalah
ajaran yang bersifat universal dan untuk seluruh umat manusia. Sementara fakta
terjadi apabila umat Islam menjadi minoritas di bawah pemerintahan yang
mayoritas non-Muslim, umat Islam selalu mendapat perlakuan yang diskriminatif
bahkan tindakan repressif yang melahirkan sifat-sifat separatis di kalangan umat Muslim.
Umat non-Muslimpun seharusnya tidak
bersifat diskriminatif maupun repressif kepada minoritas Muslim. Begitu juga
sebaliknya, umat Muslim yang mayoritas harus bersikap elegan dan protektif
terhadap minoritas non-Muslim sesuai dengan perintah Allah dalam Alquran
sehingga sikap saling curiga antar mereka akan hilang dan melahirkan umat
manusia yang hidup saling damai dan menghargai satu sama lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Akbar S. Ahmed,
Discovering Islam, Making Sense of Muslim
History and Society, London andNew York: Routledge, 1988
Akbar
S. Ahmed, From Samarkand to Stornoway,
Living Islam, London: BBC Books, 1991
Akbar
S. Ahmed, Muslims as Minorities, London:
BBC Books, 1993
Esposito.
John L. Islam and Politics, Syracuse,
New York: Syracuse University Press, 1984.
Harun Nasution,
Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya,
Jakarta: UI Press, 1985
Ira M.
Lapidus, A History of Islamic Societies,
New York: Cambridge University Press, 1988.
Kausar
Niazi, Fundamental Truths, Lahore
Pakistan: Taj Mahal Company Ltd, 1970.
M.B. Hooker, Islam In Southeast Asia, Leiden: E.J. Brill, 1988
Muchlis M.
Hanafi, Dr. MA. Lentera Hati, Bulletin PSQ, Edisi 13, November –
Desember 2006
Munawir
Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran,
Sejarah dan Pemikiran, Jakarta: UI Press, 1990.
Mushtaqur Rahman &
Guljan Rahman, Geography of the Muslim
World, Chicago: Iqra International Educational Foudation, 1991
Qardhawi, Yusuf. Minoritas
Non-Muslim di dalam Masyarakat Islam.Diterjemahkan oleh Muhammad al-Baqir,
Bandung: Karisma. Cet. Ke-3. 1994
Sheik
Muhammad Iqbal, The Mission of Islam,
New Delhi: Vikas Publishing House Ltd, 1990
[1] Lihat, Akbar S. Ahmed, Discovering Islam, Making Sense of Muslim
History and Society (London andNew York: Routledge, 1988), hlm. 110-11
[2]
Lihat, Akbar S Ahmed, Muslims as Minorities, (London: BBC
Books, 1993), hlm. 150.
[4] Sekarang negara ini disebut sebagai
Kerajaan Sepanyol, terletak di bagian selatan Benua Eropa. Khalifah Abdul
Rahman dari Dinasti Umayyah mulai berkuasa di Sepanyol tahun 756 M, dan ketika
Khalifah Abdul Rahman III berkuasa tahun 929-961 M. Cordova menjadi Pusat Ilmu
Pengetahuan di Eropa. Islam berkuasa di Sepanyol sampai tahun 1031 M. Lihat.
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari
Berbagai Aspeknya (Jakarta: UI Press, 1985). hlm. 78.
[5] Terletak di sebelah selatan negara
Italia di Laut Mediterania (Laut tengah). Ditaklukan Islam bersamaan ketika
Islam berkuasa di Andalusia (Sepanyol).
[6] Lihat, Muchlis M. Hanafi, Dr. MA. Lentera Hati,
Bulletin PSQ, Edisi 13, November – Desember 2006
[7]
Qardhawi, Yusuf. Minoritas Non-Muslim di dalam Masyarakat
Islam.Diterjemahkan oleh Muhammad al-Baqir. (Bandung: Karisma. Cet. Ke-3.
1994), hlm. 15
[8] Ibid.,
hlm. 19
[10] Lihat, dalam Qardawi, Yusuf, Ibid., hlm. 23
[16] Yusuf Qordhowi, Op. Cit., hlm 60.
[17] Ibid.,
hlm. 71
[18] Lihat, Ahmed S Akbar, From Samarkand to Stornoway, Living Islam
(London: BBC Books, 1991), hlm. 159-161.
[19]
Ibid.
[20] Ibid. Lihat juga, Mushtaqur Rahman & Guljan Rahman, Geography of the Muslim World (Chicago:
Iqra International Educational Foudation, 1991) hlm. 1. Sekitar 6 hingga 10
juta umat Islam tinggal di Amerika dan sebagian besar adalah keturunan
Afro-Amerika, “In the United States, the
number of Muslims estimated 6 to ten millions, 85% who convert to Islam are
Afro-American, owing to Islam’s strong emphasis on egalitarianism, equality,
and brotherhood, and denouncement of racial and class discriminations.”
[21] Lihat, Akbar S Ahmed, Discovering Islam, Op. Cit., hlm 110-11
[22] Lihat, M.B. Hooker, Islam In Southeast Asia (Leiden: E.J. Brill, 1988), hlm. 112-3
[23]
Ibid.
waah pas sekali makalah abang dengan tugas sya bang, mohon izin copas bang yaa
BalasHapushasanah keilmuan yang mencerdaskan terimakasih semoga Allah memberikan kesehatan dan ilmu yang manfaat.
BalasHapusAssalamualaikum
BalasHapusSyukran ilmunya, semoga jadi amal jariah
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusNegara Muslim Terbanyak
BalasHapus1. Indonesia
Ibukota : Jakarta
Jumlah penduduk muslim: 227.226.404
Benua : Asia
2. Pakistan
Ibukota : Islamabad
Jumlah penduduk muslim: 204.194.370
Benua : Asia
3. India
Ibukota : New Delhi
Jumlah penduduk muslim: 189.000.000
Benua : Asia
4. Bangladesh
Ibukota : Dhaka
Jumlah penduduk muslim: 148.607.000
Benua : Asia
5. Nigeria
Ibukota : Abuja
Jumlah penduduk muslim: 95.316.131
Benua : Afrika
6. Egypt
Ibukota : Kairo
Jumlah penduduk muslim: 87.336.965
Benua : Asia - Afrika
7. Iran
Ibukota : Teheran
Jumlah penduduk muslim: 81.529.435
Benua : Asia
8. Turki
Ibukota : Ankara
Jumlah penduduk muslim: 80.683.525
Benua : Eurasia alias Eropa - Asia
9. Algeria
Ibukota : Aljir
Jumlah penduduk muslim: 40.559.749
Benua : Afrika
10. Sudan
Ibukota : Khartum
Jumlah penduduk muslim: 39.027.950
Benua : Afrika