Kamis, 15 Desember 2011

KELOMPOK MINORITAS MUSLIM DI NEGARA-NEGARA NON-ISLAM DENGAN KELOMPOK NON-MUSLIM DI NEGARA-NEGARA MAYORITAS ISLAM


PERBANDINGAN ANTARA:
KELOMPOK MINORITAS MUSLIM DI NEGARA-NEGARA NON-ISLAM DENGAN KELOMPOK NON-MUSLIM DI NEGARA-NEGARA MAYORITAS ISLAM

 Oleh:
Anwarsyah Nur


S-49:13. Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.


A. PENDAHULUAN

            Ketika kita membandingkan antara kelompok minoritas Muslim di negara-negara non-Islam dengan kelompok non-Muslim di negara-negara mayoritas berpenduduk Islam, secara umum pikiran kita akan mengatakan betapa umat Islam selalu mendapat perlakuan diskriminasi apabila mereka menjadi minoritas. Sementara kelompok non-Muslim selalu mendapat perlindungan dan hidup dengan aman bila mereka berada di bawah negara-negara yang berpenduduk mayoritas Islam. Kenyataan ini dapat kita lihat bagaimana umat Islam diperlakukan secara berbeda dalam berbagai hal dengan penduduk mayoritas non-Muslim lainnya seperti di Filipina Selatan (Bangsa Moro), India, Amerika Serikat, Thailand (Suku Melayu Patani), Myanmar (Suku Rohingya), Inggris Raya, Perancis, Jerman, Rusia dan negara-negara Eropa lainnya, China (Suku Uighur dan Hui Hui) dsb.[1]
             Sedangkan kalau kelompok minoritas non-Muslim berada di bawah negara-negara yang berpenduduk mayoritas Islam, mereka selalu mendapat perlindungan dan hidup dengan aman berdampingan dengan umat Islam. Hal ini dapat kita lihat bahwa sangat jarang terjadi tekanan diskriminasi terhadap penduduk non-Muslim tadi, dan kalaupun terjadi hanya bersifat kasuistik.” Lihat pernyataan Akbar S Ahmed dalam karyanya “Muslims as Minorities”It is not difficult to see why Muslims who live as a minority in non-Muslim countries like India or Israel are seen by them as a problem. The reasons are relatively simple. Wherever Muslims live as minorities they increasingly face problems or discrimination.”[2]
Fenomena diatas muncul akibat dari pengalaman sejarah yang panjang terutama antar ketiga agama samawi yang sama-sama lahir di Timur Tengah yakni; Yahudi, Kristen dan Islam. Benturan selalu terjadi antar pemeluk ketiga agama ini, namun jarang terjadi pemeluk ketiga agama tersebut konflik dengan agama-agama “Timur” seperti Buddha, Khonghucu, Tao, Sinto dll. Kecuali dengan pemeluk agama Hindu dan Islam sebagai minoritas di India.[3]
Sejarah mencatat ada semacam krisis kepercayaan dalam hubungan antara Muslim dan non-Muslim.  Krisis ini timbul akibat dari sekian banyak permasalahan dulu dan sekarang yang muncul secara sengaja maupun tidak di sengaja. Ibarat bom waktu, kalau tidak diantisipasi secara obyektif akan meledak sewaktu-waktu dimana-mana saja.
           Suatu hal yang tidak bisa dilupakan dari ingatan, umat Islam telah banyak mengalami penderitaan akibat penindasan dari non-Muslim.  Tidak mudah untuk menghilangkan ingatan akan kebiadaban perang Salib.  Begitu juga pembantaian dan evakuasi umat Islam secara besar-besaran dari Andalusia[4] dan Sicilia.[5]  Masih banyak lagi peristiwa menyedihkan yang dialami umat Islam di saat mereka menjadi minoritas.  Peristiwa tersebut tidak hanya membekas dalam ingatan sejarah tetapi juga memberi pengaruh kuat dalam fikih Islam.  Agama adalah memang milik Tuhan, tetapi fikih selamanya tetap milik sejarah.  Dari sinilah kemudian timbul beberapa fatwa dan ijtihad yang dalam konteks kekinian nampaknya perlu direvisi.
Sementara itu, di pihak non-muslim juga timbul keraguan dan kekhawatiran untuk menjalin hubungan baik dengan mitranya umat Islam.  Sebab, mereka juga pernah mengalami perlakuan semena-mena dari sebagian kelompok mayoritas Muslim yang beraliran “keras” yang memahami Islam secara sempit.  Apalagi, masih banyak dai-dai Islam dengan bekal pemahaman teks-teks keagamaan secara sempit menyuarakan sikap keras dalam berhubungan dengan non-muslim.  Kekhawatiran ini belakangan mendorong kongres Amerika untuk mengeluarkan Undang-Undang Anti Penindasan Agama sebagai upaya melindungi minoritas Kristen di dunia.
Sejarah memang mencatat demikian, namun kepentingan bersama untuk mewujudkan masa kini dan mendatang yang lebih baik adalah satu keharusan.  Hubungan harmonis keduanya mutlak diperlukan.  Untuk itu, peranan umat Islam diharapkan lebih besar.  Saat menjadi mayoritas, satu sisi mereka dituntut untuk memberikan rasa aman dalam diri minoritas, sementara di sisi lain mereka juga dituntut untuk menunjukkan keagungan misi risalah yang dibawanya dengan tanpa menafikan peranan minoritas sebagai mitra sejatinya dalam mewujudkan proyek kebahagiaan bersama.[6]
Bagaimana perbadingan antara kelompok minoritas Muslim di negara-negara non-Islam dengan kelompok non-Muslim di negara-negara mayoritas berpenduduk Islam, dan mengapa kelompok Muslim selalu mendapat perlakuan diskriminasi jika mereka menjadi minoritas di negara-negara yang berpenduduk mayoritas non-Islam. Sementara kelompok non-Muslim selalu mendapat perlindungan dan hidup dengan aman bila mereka berada di bawah negara-negara yang berpenduduk mayoritas Islam. Masalah tersebut akan menjadi pembahasan dalam makalah ini.

B. PEMBAHASAN
 1. Kesaksian Sejarah.
            Di saat umat Islam berkuasa, agama-agama dibiarkan hidup dengan bebas.  Namun, ketika non-Muslim berkuasa – selain agama penguasa – semua agama habis ditumpas.  Demikian catatan hubungan Muslim dan non-Muslim sepanjang sejarah.  Pernyataan di atas tidak terlalu berlebihan, sebab Islam adalah agama kemanusiaan yang sangat menjunjung tinggi harkat manusia tanpa membedakan bangsa, agama dan warna (Lihat, Surah Al Hujarat ayat 13 di atas).  Risalahnya merupakan kelanjutan dari risalah agama-agama samawi sebelumnya.  Maka, disamping meyakini ajarannya, umat Islam sepanjang sejarahnya membiarkan kelompok-kelompok non-muslim hidup dengan tenang di negerinya.  
           Sebaliknya, Eropa yang mayoritas Kristen tidak mengakui Nabi Muhammad saw. sebagai nabi.  Penolakan ini kemudian mewarnai sikap Eropa yang tidak mengakui keberadaan hak-hak minoritas Muslim.  Andalusia dan Sicilia adalah dua Negara yang dapat menjadi saksi.  Saat itu umat Islam tidak mempunyai pilihan kecuali pembunuhan, kristenisasi atau evakuasi.  Tiga pilihan yang membuat api Islam redup dan Andalusia hanya tinggal kenangan sebagai sorga yang hilang (the lost paradise).
           Fenomena di atas membuat seorang cendekiawan Jerman, Adam Smith menyatakan , perbedaan terbesar antara Imperium Islam dan Eropa yaitu adanya kelompok-kelompok agama lain di tengah-tengah umat Islam.  Sampai pada akhir abad ke-IV Hijriah, Koptik Mesir belum menggunakan bahasa Arab dalam kehidupan sehari-hari.  Hal ini berarti hampir 350 tahun Mesir dikuasai Islam, penduduknya yang Koptik dibiarkan berbicara bahasa Koptik.  Keberadaan umat Kristen di tengah masyarakat Islam ini menyebabkan lahirnya prinsip-prinsip dasar kehidupan beragama yang toleran, seperti dikembangkan dalam ilmu perbandingan agama.
          Pada saat Islam muncul, dunia masih menganut prinsip “Ejus region, Cujus religio,” artinya setiap kerajaan memiliki agama sendiri-sendiri.  Maka, agama rakyat adalah agama penguasa.  Di Barat prinsip tersebut masih berlaku sampai paruh kedua abad ke-18 ketika pecah Revolusi Amerika dan Perancis.  Namun, sejak abad ke-6, Islam datang dengan prinsip ajaran yang memberikan hak hidup, termasuk tradisi dan keyakinan lama, kepada bangsa-bangsa yang didudukinya.  Siasat ini membuat bangsa-bangsa Arab saat itu masuk Islam dengan damai atau tetap hidup dalam kelompok-kelompok agama mereka.  Mereka adalah saksi sejarah akan tingginya nilai kemanusiaan yang dibawa oleh agama Islam dengan memberikan hak-hak individu atau kelompok, bahkan hak sebagai warga Negara secara penuh.
           Hubungan umat Islam dengan penganut agama-agama lain sejak awal sejarah Islam terlihat pada dua hal: Pertama, kehidupan normal antara sesama umat manusia; Kedua, peran serta non-Muslim di tengah masyarakat sebagai wujud tanggung jawab bersama.  Dalam konteks hubungan pertama, sejak permulaan dakwah Islam, antara Muslim dan non-Muslim telah terjadi hubungan harmonis.  Dengan para tetangganya, ahlul kitab, Rasulullah selalu menunjukkan keramahan dan kebaikan hati.  Kerap kali beliau saling tukar-menukar hadiah dengan mereka.  Sampai-sampai, saking yakinnya Rasulullah tidak akan menolak hadiah, seorang wanita Yahudi menaruh racun pada hidangan domba masak yang dihadiahkannya kepada beliau.  Ketika delegasi Kristen dari Habsyah (Sekarang bernama Ethiopia) datang, beliau langsung menyambutnya di masjid dan menjamu mereka seraya berkata: “Mereka telah memuliakan sahabat-sahabat kita, maka dari itu saya harus memuliakan mereka”.  Suatu saat, delegasi Kristen Najran datang ke Madinah.  Tanpa berat hati beliau sambut mereka di masjid dan beliau perkenakan mereka untuk melakukan ritual keagamaan berdampingan dengan umat Islam di tempat yang sama.  Suatu fenomena yang tidak pernah terjadi saat itu dalam hubungan antar umat beragama. Keharmonisan tersebut tetap berlanjut pada masa-masa berikutnya.  
              Suasana saling menghormati antara Muslim dan non-Muslim selalu mewarnai kehidupan beragama pada masa pemerintahan Khulafa’ur Rasyidin, Dinasti Bani Umayah dan Bani Abasiyah.  Memang terkadang tidak selalu begitu, terutama saat penguasa menyimpang dari prinsip-prinsip ajaran Islam.  Yang terjadi adalah kezhaliman dan penindasan.  Tetapi, yang tidak boleh dilupakan, dampak kezhaliman penguasa juga dirasakan oleh umat Islam, bahkan jauh lebih besar ketimbang yang dialami oleh non-muslim.
            Dalam konteks hubungan kedua, sejarah membuktikan keikutsertaan warga non-muslim dalam pemerintahan Islam.  Dengan tercengang, ketika melihat banyaknya pegawai non-muslim dalam pemerintahan Islam, Adam Smith mengatakan: “Seakan-akan non-Muslimlah yang memerintah Negara Islam.”  Warga non-Muslim banyak menduduki posisi-posisi strategis dalam pemerintahan, seperti masalah keuangan dan kesekretariatan Negara.  Selama satu abad kementrian keuangan pada pemerintahan Bani Umayyah dipegang oleh sebuah keluarga Kristen secara turun-temurun.  Meskipun, secara obyektif masih kita dapati beberapa penguasa Islam seperti al-Mansur (754-775 M), al-Muttawakkil (847-861 M), dan al-Muqtadir (908-932 M) tidak memberikan kesempatan kepada mereka.
            Hubungan mesra tersebut juga dapat dilihat dalam sektor keilmuan. Banyak warga non-Muslim yang belajar kepada ulama-ulama Islam, seperti Sibawaih dan al-Farabi.  Peran serta warga non-Muslim yang sangat menonjol itu bahkan sempat menimbulkan kecemburuan dari kalangan umat Islam.
           Sampai di sini kita dapat melihat betapa warga non-Muslim mendapatkan hak warga negara penuh di tengah masyarakat Islam, bahkan menjadi warga negara istimewa.  Sampai-sampai, umat Islam sendiri mengeluh (cemburu) karena melihat fenomena tersebut.
           Dari fakta sejarah di atas optimis dapat menemukan jembatan penghubung ke arah kehidupan bersama yang bahagia dalam kerangka yang dapat disepakati semua pihak.

2. Minoritas, antara Hak dan Identitas
          Masalah hak-hak minoritas telah lama diperdebatkan oleh generasi pertama umat Islam.  Buku yang pertama kali muncul menyangkut masalah ini adalah al-Maj mu’ fi al-Fiqh karya Zaid bin Ali (W. 122 H). Sejak itu buku-buku fiqh Islam tidak pernah lepas dari pembicaraan hak-hak internasional di bawah tema Bab al-Sair.
          Yang dilakukan para ahli fikih sebenarnya hanyalah sebatas penjelasan atas prinsip-prinsip umum yang telah ditetapkan teks-teks alq  ur’an.  Hak-hak asasi manusia, Muslim maupun tidak, bukan berasal dari hasil ijtihad ulama terdahulu, tetapi lebih dari itu ia bersumber dari hikmah dan keadilan Tuhan.  Karena itu, ia berkaitan erat dengan masalah keimanan.  Pelecehan terhadap nilai-nilai suci (alqur’an).  Atas dasar itu, sebagian pemikir Islam menetapkan, hak-hak dan kewajiban tersebut tidak boleh terpengaruh akibat perlakuan tidak baik terhadap minoritas Muslim di luar Negara Islam.  Maka, tidak boleh bagi Negara Islam untuk memperlakukan minoritas non-Muslim sebagai tindak pembalasan setimpal, selama itu menyangkut pelecehan hak-hak orang lain yang ditetapkan Islam.
           Pelaksanaan hak-hak tersebut hendaknya bukan atas dasar belas kasihan mayoritas terhadap minoritas, melainkan berdasarkan ketetapan Tuhan.  Dari sini, penggunaan istilah “toleransi” dalam hubungan Muslim dan non-Muslim menjadi kurang tepat.  Kata toleransi berkonotasi belas kasihan yang diberikan secara sukarela yang sewaktu-waktu dapat ditarik kembali.  Padahal, ini menyangkut keimanan seseorang yang tidak berlaku tawar-menawar.
           Dalam prakteknya, pelaksanaan hak-hak tersebut masih banyak mengalami hambatan.  Sebab fikih Islam masih memperkenalkan pembagian wilayah menjadi Darul Islam dan Darul Harb.  Yang menjadi pemisah antara keduanya adalah keimanan.  Berdasarkan pembagian ini, para ahli fikih mengklasifikasikan masyarakat menjadi empat kelompok, yaitu: di dalam negeri Islam (Darul Islam) menjadi muslim dan dzimmy, sedangkan di luar negeri Islam (Darul Harb) menjadi musta’min (yang memilih perjanjian damai) dan muharib (yang selalu ingin memerangi).
            Saat ini pembagian tersebut tidak lagi relevan.  Sebab, negeri Islam tersebar di berbagai Negara yang terhimpun dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI). Darul Harb saat ini tidak bisa diperuntukkan bagi Negara-negara non-muslim.  Bahkan, kebanyakan perang justru terjadi antara Negara-negara Islam.  Selain hanya sekedar hasil ijtihad ulama terdahulu, pembagian tersebut lahir sebagai proses sejarah, khususnya masa-masa awal pemerintahan Islam. 

 3. Kaum Minoritas Non-Muslim di Negara Islam
Masyarakat Islam adalah masyarakat yang bertumpu pada aqidah Islam dan ideologi yang khas yang merupakan sumber peraturan dan hukum serta etika dan akhlaknya. Masyarakat Islam menjadikan Islam sebagai konsep hidupnya, konstitusi pemerintahannya, sumber hukumnya, dan penentu arahnya dalam semua urusan kehidupan dan hubungan-hubungannya secara individual dan komunal, material dan spiritual, serta nasional dan internasional. Hal ini tidak berarti bahwa masyarakat Islam memvonis mati segala unsur lain di dalamnya yang kebetulan memeluk agama selain Islam.[7]
            Hubungan antara sesama warga negara, yang Muslim dan yang non-Muslim, sepenuhnya ditegakkan atas asas-asas toleransi, keadilan, kebajikan, dan kasih sayang. Namun, sampai sekarang asas-asas ini masih dalam dambaan dan harapan semua masyarakat modern untuk mewujudkannya. Di tengah hiruk pikuk perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta peradaban manusia, asas-asas ini terus diupayakan, demi menjaga keseimbangan dalam kehidupan umat manusia.
Kenyataannya, berbagai konflik masih terus terjadi di berbagai daerah dan Negara yang menggambarkan betapa toleransi dan masalah keadilan merupakan dua hal yang banyak memunculkan problematika. Setiap Muslim dituntut agar memperlakukan semua manusia dengan kebajikan dan keadilan, walaupun mereka itu tidak mengakui agama Islam, selama mereka tidak menghalangi penyebarannya, tidak memerangi para penyerunya, dan tidak menindas para pemeluknya. Ketentuan ini berlaku di negara Islam (Darul Islam) maupun di luar negara Islam. Khusus di negara Islam, para penganut agama selain Islam (nonMuslim) biasa disebut dengan Ahludz Dzimmah. Kata dzimmah berarti perjanjian, jaminan, dan keamanan. Mereka dinamakan demikian karena mereka memiliki jaminan perjanjian Allah dan Rasul-Nya serta semua kaum Muslim untuk hidup dengan aman dan tenteram di bawah perlindungan Islam dan dalam lingkungan masyarakat Islam. Dengan demikian, negara Islam memberikan kepada orang-orang non-Muslim suatu hak yang di masa sekarang mirip dengan apa yang disebut sebagai kewarganegaraan politik (hak politik) yang diberikan oleh negara kepada rakyatnya. Dengan ini pula kaum non-Muslim memperoleh dan terikat pada hak-hak dan kewajiban-kewajiban semua warga Negara.[8]
Akad dzimmah berlaku untuk selamanya dan mengandung ketentuan membiarkan orang-orang non-Muslim tetap dalam agama mereka di samping hak menikmati perlindungan dan perhatian jama’ah kaum Muslim, dengan syarat mereka membayar jizyah serta berpegang pada hukum Islam dalam hal-hal yang berhubungan langsung dengan masalah-masalah agama. Dengan ini mereka menjadi bagian dari Darul Islam.

4. Perlindungan Hukum Islam terhadap Kaum Minoritas
Adanya akad dzimmah menumbuhkan hak-hak yang bersama-sama berlaku di antara kedua belah pihak, yakni kaum Muslim dan kaum non-Muslim (Ahludz Dzimmah), di samping kewajiban-kewajiban mereka. Hak yang diperoleh oleh kaum non-Muslim (kaum minoritas), seperti yang juga diperoleh kaum Muslim, adalah perlindungan dan jaminan dalam berbagai hal. Di antara perlindungan yang diberikan kepada mereka adalah sebagai berikut:
  1. Perlindungan terhadap pelanggaran dari luar negeri.
Sudah merupakan kewajiban seorang imam atau penguasa dari negara Islam untuk melakukan penyelenggaraan perlindungan seperti ini dengan kekuasaan yang diberikan kepadanya oleh syariah (hukum Islam) serta kekuasaan militer yang berada di bawah wewenangnya. Seorang imam wajib menjaga keselamatan kaum minoritas dan mencegah siapa saja yang mengganggu mereka, melepaskan mereka dari tindakan penawanan dan menolak kejahatan siapa saja yang mengarah kepada mereka.[9]
Imam Qarrafi[10] mengatakan, apabila orang-orang kafir datang ke negeri Islam karena hendak mengganggu orang-orang yang berada dalam perlindungan akad dzimmah, maka wajib bagi umat Islam menghadang dan memerangi mereka dengan segala kekuatan dan senjata, bahkan umat Islam harus siap mati untuk itu demi menjaga keselamatan orang yang berada dalam dzimmah Allah swt. dan dzimmah Rasulullah Saw. Menyerahkan kepada mereka tanpa upaya-upaya tersebut dianggap menyia-nyiakan akad dzimmah.
       b.  Perlindungan terhadap kezaliman di dalam negeri.
Perlindungan terhadap kezaliman yang berasal dari dalam negeri adalah suatu yang diwajibkan oleh Islam, bahkan sangat diwajibkan. Islam memperingatkan kaum Muslimin agar jangan sekali-kali mengganggu dan melanggar hak Ahludz Dzimmah, baik dengan tindakan ataupun ucapan. Allah tidak menyukai orang-orang zalim dan tidak pula memberi mereka petunjuk. Sebaliknya Allah akan menyegerakan azab atas mereka atau menangguhkan hukuman atas mereka di akhirat dengan berlipat ganda.[11]
Dalam perjanjian Nabi Muhammad Saw. dengan penduduk Najran (yang
beragama Nasrani) disebutkan antara lain: “Tidak diperkenankan menghukum seseorang dari mereka karena kesalahan seorang lainnya.” Umar bin Khaththab sering menanyai orang-orang yang datang dari daerah-daerah tentang keadaan Ahludz Dzimmah karena khawatir ada di antara kaum Muslimin yang menimbulkan suatu gangguan terhadap mereka. Para fuqaha’ (ahli-ahli hukum Islam) dari seluruh mazhab menegaskan bahwa kaum Muslimin wajib mencegah kezaliman apa pun yang menimpa Ahludz Dzimmah. Bahkan sebagian dari fuqaha’ itu menegaskan bahwa kezaliman terhadap Ahludz Dzimmah lebih besar dosanya daripada kezaliman terhadap sesama Muslim.[12]
      c. Perlindungan nyawa, badan, harta, dan kehormatan.
Hak perlindungan yang ditetapkan bagi Ahludz Dzimmah mencakup perlindungan keselamatan darah (nyawa) dan badan mereka sebagaimana mencakup pula harta dan kehormatan mereka. Darah dan nyawa mereka sepenuhnya dijamin keselamatannya dengan kesepakatan kaum Muslim. Menurut pendapat para ulama, membunuh mereka haram hukumnya. Nabi Saw. bersabda: “Barang siapa membunuh seorang mu’ahad (yakni yang terikat perjanjian keselamatan dengan kaum Muslim) tidak akan mencium bau harum surga, sedangkan harumnya dapat tercium dari jarak perjalanan empat puluh tahun (HR. Ahmad dan al-Bukhari). Dari hadits ini, sebagian ulama berpendapat bahwa seorang Muslim yang membunuh seorang Ahludz Dzimmah dapat dihukum mati dan sebagian yang lain tidak dapat dihukum mati. Hal seperti ini juga terjadi pada masa sahabat.[13]
Dalam hal perlindungan harta benda, para ulama dari semua mazhab bersepakat untuk melindungi harta benda kaum minoritas non-Muslim (Ahludz Dzimmah). Terkait dengan hal ini Umar bin Khaththab berpesan kepada Abu Ubaidah: “Cegahlah kaum Muslim dari bertindak zhalim terhadap mereka (yakni
Ahludz Dzimmah), mengganggu ataupun memakan harta mereka kecuali dengan cara-cara yang menghalalkannya.” Siapa pun yang mencuri harta milik seorang Dzimmi akan dipotong tangannya, siapa yang merampasnya akan dihukum dan harta itu pun akan dikembalikan kepada pemiliknya. Perlindungan yang sama yang diberikan kepada Ahludz Dzimmah juga terjadi dalam hal kehormatan. Islam juga memberikan perlindungan kepada Ahludz Dzimmah sama seperti yang diberikan kepada kaum Muslim. Siapa pun tidak boleh mencaci seorang Dzimmi ataupun menujukan tuduhan palsu terhadapnya, menjelekkannya dengan suatu kebohongan, memperguncingkannya dengan suatu ucapan yang tidak disukainya.
Itulah beberapa yang diberikan oleh Islam kepada kaum minoritas non-Muslim yang berada dalam naungan kekuasaan Islam. Adapun jaminan-jaminan yang diberikan kepada mereka di antaranya seperti berikut:

a. Jaminan hari tua dan kemiskinan.
           Islam memberikan jaminan kehidupan yang layak bagi orang-orang non-Muslim yang berdiam di daerah kekuasaan kaum Muslim serta keluarga yang menjadi tanggungan mereka. Bagi mereka yang sudah berusia tua dan sudah tidak lagi mampu bekerja atau sakit sehingga tidak lagi dapat mencukupi kebutuhan hidup mereka, maka mereka dibebaskan dari kewajiban jizyah, dan bahkan mereka berserta keluarganya kemudian menjadi tanggungan Baitul Mal (kas negara). Demikianlah yang dilakukan oleh Khalifah Abu Bakar dalam memperlakukan kaum minoritas. Jadi, para Ahludz Dzimmah yang benar-benar jatuh dalam kemiskinan harus mendapat perhatian khusus dari penguasa Islam untuk diberikan santunan atau bantuan untuk kehidupan mereka. Dengan ini maka berlangusunglah jaminan sosial dalam Islam sebagai suatu konsep umum yang meliputi seluruh anggota masyarakat, Muslim atau non-Muslim.

b. Jaminan atas kebebasan beragama
             Kebebasan beragama dan beribadah dijamin dalam Islam, baik bagi kaum Muslim maupun non-Muslim. Tidak diperbolehkan melakukan tekanan dan ancaman agar mereka memeluk agama Islam (QS. al-Baqarah (2): 256 dan QS. Yunus (10): 99). Dalam sejarah tidak pernah dikenal suatu bangsa Muslim memaksa Ahludz Dzimmah (non-Muslim) untuk memeluk Islam. Begitu juga Islam telah menjaga dengan baik rumah-rumah ibadah milik kaum non-Muslim serta menghargai kesucian upacara-upacara ritual mereka. Hingga sekarang pun tidak dijumpai negara-negara Islam yang memaksakan kepada penduduknya yang non-Muslim memeluk Islam. Yang terjadi justeru sebaliknya, banyak kaum Muslim di negara-negara yang mayoritas penduduknya non-Muslim mendapat tekanan dan ketidakadilan, sehingga kaum Muslim tidak dapat menjalankan agamanya dengan leluasa.[14]
Kebebasan beragama dijamin oleh Islam sejak zaman Nabi Muhammad Saw. Nabi tidak pernah memaksa rakyat Madinah yang tidak memeluk Islam untuk mengubah agamanya. Nabi Saw. hanyalah mendakwahkan Islam kepada mereka. Soal konversi ke agama Islam tergantung kepada kesadaran mereka. Hal ini berbeda dengan yang terjadi di Bizantium. Negara ini memaksakan agama tertentu kepada seluruh rakyat yang berada di bawah pemerintahannya. Rakyat tidak memiliki hak kebebasan untuk menganut suatu agama. Karena itulah, banyak rakyat yang tidak merasa senang dengan penguasa Bizantium.[15]

c. Jaminan atas kebebasan bekerja dan berusaha.
Kaum minoritas non-Muslim memiliki kebebasan untuk bekerja dan berusaha, memilih pekerjaan-pekerjaan bebas yang mereka inginkan, dan mengelola berbagai macam kegiatan ekonomi sama seperti kebebasan yang dimiliki oleh kaum Muslim. Selain hal ini, mereka juga dapat menikmati kebebasan penuh dalam perdagangan, industri, dan keterampilan. Dalam kenyataannya sekarang di negara-negara Islam sektor ekonomi banyak yang dikuasai oleh kaum non-Muslim, sehingga dalam masalah ini mereka menjadi pengendalinya. Hal ini terjadi juga karena adanya dukungan dari negara-negara maju yang kuat ekonominya, seperti Amerika Serikan dan negara-negara Eropa Barat.[16]

d. Jaminan jabatan dalam pemerintahan
Ahludz Dzimmah juga memiliki hak untuk menduduki jabatan-jabatan dalam pemerintahan seperti halnya kaum Muslim, kecuali jabatan-jabatan keagamaan, seperti imam, pemimpin tertinggi negara, panglima tentara, hakim untuk kaum Muslim, penanggung jawab urusan zakat dan sedekah, dan yang sejenisnya. Jabatan-jabatan seperti ini sangat terkait dengan agama Islam dan ajaran-ajaran yang ada di dalamnya yang harus benar-benar dijaga dan dipelihara oleh kaum Muslim.
Tugas-tugas di luar bidang keagamaan itu boleh diserahkankepada Ahludz Dzimmah bila mereka memiliki persyaratan khusus, seperti kecakapan, kejujuran, dan kesetiaan kepada negara. Hal ini menunjukkan betapa tingginya toleransi Islam terhadap penganut agama lain. Namun toleransi ini tidak sampai melewati batas yang dapat membahayakan aqidah kaum Muslim serta kelangsungan dan kejayaan pemerintahan Islam. Perlu ditegaskan di sini, bahwa adanya perlindungan dan jaminan terhadap kaum non-Muslim seperti di atas bukan merupakan pemberian gratis dari Islam. Islam memberikan hak-hak semacam itu sebagai imbangan dari kewajiban-kewajiban yang mereka lakukan. Artinya perlindungan dan jaminan itu akan diberikan kepada kaum non-Muslim jika mereka benar-benar melaksanakan kewajiban-kewajibannya sebagai warga negara. Jika kewajiban-kewajiban itu tidak mereka penuhi, maka perlindungan dan jaminan itu juga tidak bisa mereka peroleh. Kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi kaum Muslim Ahludz Dzimmah) adalah: 1) kewajiban keuangan seperti membayar jizyah, kharaj, dan pajak perdagangan, 2) mengikat diri dengan hukum-hukum konstitusi Islam dalam muamalah, transaksi-transaksi di sektor sipil dan sebagainya, dan 3) menghormati syi’ar-syi’ar Islam serta menjaga perasaan-perasaan kaum Muslim.[17]

5. Minoritas Muslim di Barat (Amerika dan Eropa)
            Terdapat perbedaan-perbedaan antara umat Muslim yang tinggal di Negara-negara Eropa dengan umat Muslim yang tinggal di Amerika Serikat dan Kanada (Amerika Utara). Perbedaan utama terletak pada komposisi umat Muslim dalam bidang sosial dan ekonomi.  Umat Islam di Amerika Utara sebagaian besar merupakan kalangan kelas menengah (middle class) seperti: dokter, ahli teknik, academisi sehingga masyarakatnya memiliki kepercayaan sosial yang lebih besar (a greater social confidence) yang memberikan rasa kepemilikan yang positif (a positive sense of belonging) terhadap agama yang mereka anut (Islam). Umat Islam di Amerika sudah berabad lalu tinggal terpencar di Negara Paman Sam ini dan tidak terkonsentrasi pada satu wilayah. Yang menarik bahwa Umat Muslim di Amerika tidak lagi mempertahankan identitas tradisional asal muasal Negara mereka. Mereka telah benar-benar terbaur dengan masyarakat Amerika baik cara makan maupun berpakaian.[18]
Sementara umat Muslim di Eropa, kebanyakan adalah kelas buruh atau pekerja bahkan lebih rendah status sosialnya (underclass) di bawah itu. Umat Muslim di Eropa kebanyakan berasal dari para migrant dari berbagai Negara di Afrika Utara dan Turki yang masih mempertahankan identitas tradisional Muslim mereka. Akibat mempertahankan identitas tradisional mereka, umat Islam di Eropa terpecah-pecah ke dalam masing-masing komunitas yang mengakibatkan tidak bersatunya umat Islam dalam menghadapi ancaman ataupun diskriminasi dari mayoritas non-Muslim di Negara dimana mereka tinggal. Bahkan menurut Ahmed S Akbar, mereka saling kecam dan lebih tertarik untuk saling menyerang satu sama lainnya daripada membentuk persatuan untuk mewakili umat Islam dalam berbagai hal (They seem more interested in attacking each other than representing the community).
Di samping minimnya pendidikan yang memadai dari umat Islam itu sendiri sehingga umat Islam tidak terwakili secara resmi di Parlemen di Negara dimana mereka tinggal.[19] Berbeda dengan di Amerika dimana umat Muslim telah memilki 2 (dua) anggota senat yang mewakili umat Islam Amerika yakni; Keith Elisson dan Andre D. Carson.
Umat Islam di Eropa sering mendapat kecaman oleh orang-orang dari non-Muslim khususnya pemakaian jilbab bagi wanita Muslim seperti di Perancis dan negara-negara Eropa lainnya. Berbeda dengan umat Muslim di Amerika yang lebih bebas beribadah dan tidak mendapat kecaman seperti yang ada di Eropa. Hal ini dimungkinkan karena kuatnya kebebasan demokrasi di Amerika. Menurut Ahmed S Akbar bahwa perkembangan Islam di Amerika juga terpengaruh dengan kuatnya kebangkitan Black Muslim yang melakukan dakwah-dakwah Islamiyah di seantero Amerika khususnya terhadap keturunan Afro-Amerika. Tertariknya kelompok ini masuk Islam karena Islam adalah agama yang tidak membeda-bedakan ras, asal usul, warna kulit maupun suku bangsa. Islam juga dipandang sebagai agama yang egalitarianism.[20]

6. Minoritas Muslim di Cina, Thailand dan Pilipina

            Ketika kita berbicara Muslim sebagai minoritas, maka hampir semua negara di dunia ini yang mayoritas penduduknya non-Muslim pasti terdapat umat Muslim sebagai minoritas. Oleh karena itu tidak semua negara dimana Muslim sebagai minoritas akan kita bahas dalam makalah ini.
            Sebagai sebuah negara terbanyak penduduknya, Cina merupakan negara dimana Partai Komunis sebagai pemegang kekuasaan setelah tumbangnya rezim nasionalis republik. Muslim di Cina dikenal sebagai suku bangsa Hui Hui yang terkonsentrasi sebagian besar tinggal di Provinsi Sinkiang (Xinjiang). Diperkirakan pada abad ke tujuh Muslim datang ke Cina berasal dari para pedagang dari Timur Tengah dan Asia Tengah melalui jalan Sutra. Para pedagang tadi kemudian menetap di Cina dan membentuk komunitas tersendiri di Cina bagian barat (Provinsi Sinkiang).
Kebijakan oppresif dan diskriminatif yang dilakukan Dinasti Manchu pada abad ke tujuh terhadap suku Hui Hui ini mengakibatkan timbulnya pemberontakan-pemberontakan kecil dari umat Muslim, namun dapat ditumpas oleh penguasa Manchu. Untuk meredakan gejolak umat Muslim, pada tahun 1912 ketika rezim republik berkuasa secara resmi menjadikan komunitas Muslim menjadi golongan 5 besar komunitas di Cina (five great peoples of China). Kebijakan politik Cina Komunis kemudian memberikan daerah otonomi khusus bagi umat Islam yakni Provinsi Xinjiang. Namun walaupun telah diberikan otonomi khusus masih juga terjadi tindakan represif dan diskriminasi dari rezim komunis, secara umum umat Islam menginginkan kemerdekaan bagi daerah-daerah yang berpenduduk mayoritas Islam. “Although repression is still possible and assimilation always likely it appears that fuller autonomy is not an option for Chinese Muslims. Major Chinese Muslim rebellions have not created long-lasting areas of Muslim independence.”[21]

            Mayoritas umat Islam di Thailand tinggal di 4 (empat) provinsi bagian selatan negara “gajah putih” tersebut yakni wilayah bekas Kesultanan Melayu Pattani. Kebijakan reppresif dan diskriminatif pemerintah Thailand yang mayoritas beragama Buddha terhadap umat Islam tanpak dengan dipaksakannya budaya Thailand seperti bahasa, pakaian dsb kepada umat Islam dimana umat Islam harus meninggalkan budaya Melayu seperti cara berpakaian, tulisan Jawi (Arab Melayu) dsb. Juga lapangan pekerjaan yang sulit diperoleh umat Islam di Pemerintahan. Kebijakan ini kemudian membuat umat Islam bersifat separatis yang kemudian memberontak membentuk organisasi perlawanan yang disebut NLFP (National Liberation Front of Pattani) atau Front Pembebasan Nasional Bangsa Pattani.[22] Sampai saat ini melalui mass-media sering kita dengar terjadi pemboman-pemboman yang dilakukan kelompok ini di Thailand Selatan.
            Sementara Bangsa Moro di Pilipina Selatan dengan organisasi perlawanannya MNLF (Moro National Liberation Front) atau Front Pembebasan Bangsa Moro juga sama nasibnya dengan minoritas Muslim di Negara mayoritas Katholik Pilipina, yakni mendapat perlakuan reppressif dan diskriminasi dari Pemerintah Pilipina. Namun MNLF sedikit lebih beruntung daripada NLFP atau Muslim Pattani di Thailand karena MNLF mendapat dukungan dari Organizations of Islamic Conference (OIC) dimana Negara-negara anggota OIC mendesak pemerintah Pilipina untuk memberikan otonomi khusus bagi Bangsa Moro yang Muslim dan mendapat bantuan financial dari OIC. Sementara masalah Pattani dianggap sebagai masalah dalam negeri Thailand saja.[23]
            Oleh karena itu dialog lintas agama sangat perlu dilakukan oleh semua pemeluk antar agama. Hal ini penting untuk mencari titik temu dalam menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi semua kelompok agama. Dialog sebagai alat perdamaian dan juga perkenalan sesungguhnya adalah ajaran Islam yang wajib dilaksanakan umat Islam seperti yang tercantum dalam Alquran (S. 49: 13) yang berbunyi: Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.

C. KESIMPULAN         
            Sebagai agama yang ajarannya penuh dengan toleransi dan selalu menghargai pemeluk-pemeluk agama lain, agama Islam tidak diskriminatif, tidak membeda-bedakan suku bangsa seseorang, juga warna kulit maupun asal muasal seseorang dan negara-negara mayoritas Muslim secara umum selalu melindungi serta memperlakukan minoritas non-Muslim sebagai mitra dalam hubungannya yang harmonis antar manusia di permukaan bumi sebagai perwujudan hubungan dengan sang Khalik (hamblun min al Allah wa hamblun min al nas). Hal ini menunjukkan bahwa ajaran Islam adalah ajaran yang bersifat universal dan untuk seluruh umat manusia. Sementara fakta terjadi apabila umat Islam menjadi minoritas di bawah pemerintahan yang mayoritas non-Muslim, umat Islam selalu mendapat perlakuan yang diskriminatif bahkan tindakan repressif yang melahirkan sifat-sifat separatis di kalangan umat Muslim.
            Umat non-Muslimpun seharusnya tidak bersifat diskriminatif maupun repressif kepada minoritas Muslim. Begitu juga sebaliknya, umat Muslim yang mayoritas harus bersikap elegan dan protektif terhadap minoritas non-Muslim sesuai dengan perintah Allah dalam Alquran sehingga sikap saling curiga antar mereka akan hilang dan melahirkan umat manusia yang hidup saling damai dan menghargai satu sama lainnya.


DAFTAR PUSTAKA


Akbar S. Ahmed, Discovering Islam, Making Sense of Muslim History and Society, London andNew York: Routledge, 1988

Akbar S. Ahmed, From Samarkand to Stornoway, Living Islam, London: BBC Books, 1991

Akbar S. Ahmed, Muslims as Minorities, London: BBC Books, 1993

Esposito. John L. Islam and Politics, Syracuse, New York: Syracuse University Press, 1984.

Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jakarta: UI Press, 1985

Ira M. Lapidus, A History of Islamic Societies, New York: Cambridge University Press, 1988.

Kausar Niazi, Fundamental Truths, Lahore Pakistan: Taj Mahal Company Ltd, 1970.

M.B. Hooker, Islam In Southeast Asia, Leiden: E.J. Brill, 1988

Muchlis M. Hanafi, Dr. MA. Lentera Hati, Bulletin PSQ, Edisi 13, November – Desember 2006

Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Jakarta: UI Press, 1990.

Mushtaqur Rahman & Guljan Rahman, Geography of the Muslim World, Chicago: Iqra International Educational Foudation, 1991

Qardhawi, Yusuf. Minoritas Non-Muslim di dalam Masyarakat Islam.Diterjemahkan oleh Muhammad al-Baqir, Bandung: Karisma. Cet. Ke-3. 1994

Sheik Muhammad Iqbal, The Mission of Islam, New Delhi: Vikas Publishing House Ltd, 1990












[1] Lihat, Akbar S. Ahmed, Discovering Islam, Making Sense of Muslim History and Society (London andNew York: Routledge, 1988), hlm. 110-11
[2] Lihat, Akbar S Ahmed, Muslims as Minorities, (London: BBC Books, 1993), hlm. 150.
   [3] Kita masih ingat peristiwa dimana Lebih kurang 2000 muslim dibunuh, diperkosa dan dibakar hidup-hidup dalam kerusuhan di Gujarat India Februari 2002, dan Masjid Babri di Ayodhya Mumbay India dihancurkan oleh militan Hindu pada 1992 ,dimana dunia saat itu?   
[4] Sekarang negara ini disebut sebagai Kerajaan Sepanyol, terletak di bagian selatan Benua Eropa. Khalifah Abdul Rahman dari Dinasti Umayyah mulai berkuasa di Sepanyol tahun 756 M, dan ketika Khalifah Abdul Rahman III berkuasa tahun 929-961 M. Cordova menjadi Pusat Ilmu Pengetahuan di Eropa. Islam berkuasa di Sepanyol sampai tahun 1031 M. Lihat. Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya (Jakarta: UI Press, 1985). hlm. 78.
[5] Terletak di sebelah selatan negara Italia di Laut Mediterania (Laut tengah). Ditaklukan Islam bersamaan ketika Islam berkuasa di Andalusia (Sepanyol).
[6] Lihat, Muchlis M. Hanafi, Dr. MA. Lentera Hati, Bulletin PSQ, Edisi 13, November – Desember 2006
[7] Qardhawi, Yusuf. Minoritas Non-Muslim di dalam Masyarakat Islam.Diterjemahkan oleh Muhammad al-Baqir. (Bandung: Karisma. Cet. Ke-3. 1994), hlm. 15

[8] Ibid., hlm. 19
[9] Ibid., hlm. 22
[10] Lihat, dalam Qardawi, Yusuf, Ibid., hlm. 23
 [11]Ibid. hal. 25
[12] Ibid., hlm. 27
[13] Ibid., hlm. 28-30
[14] Ibid., hlm. 34
[15] Harun Nasution, Op. Cit., hlm 60.
[16] Yusuf Qordhowi, Op. Cit., hlm 60.
[17] Ibid., hlm. 71
[18] Lihat, Ahmed S Akbar, From Samarkand to Stornoway, Living Islam (London: BBC Books, 1991), hlm. 159-161.
[19] Ibid.
     [20] Ibid. Lihat juga, Mushtaqur Rahman & Guljan Rahman, Geography of the Muslim World (Chicago: Iqra International Educational Foudation, 1991) hlm. 1. Sekitar 6 hingga 10 juta umat Islam tinggal di Amerika dan sebagian besar adalah keturunan Afro-Amerika, “In the United States, the number of Muslims estimated 6 to ten millions, 85% who convert to Islam are Afro-American, owing to Islam’s strong emphasis on egalitarianism, equality, and brotherhood, and denouncement of racial and class discriminations.”
[21] Lihat, Akbar S Ahmed, Discovering Islam, Op. Cit., hlm 110-11
[22] Lihat, M.B. Hooker, Islam In Southeast Asia (Leiden: E.J. Brill, 1988), hlm. 112-3
[23] Ibid.

5 komentar:

  1. waah pas sekali makalah abang dengan tugas sya bang, mohon izin copas bang yaa

    BalasHapus
  2. hasanah keilmuan yang mencerdaskan terimakasih semoga Allah memberikan kesehatan dan ilmu yang manfaat.

    BalasHapus
  3. Assalamualaikum
    Syukran ilmunya, semoga jadi amal jariah

    BalasHapus
  4. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  5. Negara Muslim Terbanyak
    1. Indonesia
    Ibukota : Jakarta
    Jumlah penduduk muslim: 227.226.404
    Benua : Asia


    2. Pakistan
    Ibukota : Islamabad
    Jumlah penduduk muslim: 204.194.370
    Benua : Asia


    3. India
    Ibukota : New Delhi
    Jumlah penduduk muslim: 189.000.000
    Benua : Asia


    4. Bangladesh
    Ibukota : Dhaka
    Jumlah penduduk muslim: 148.607.000
    Benua : Asia


    5. Nigeria
    Ibukota : Abuja
    Jumlah penduduk muslim: 95.316.131
    Benua : Afrika


    6. Egypt
    Ibukota : Kairo
    Jumlah penduduk muslim: 87.336.965
    Benua : Asia - Afrika


    7. Iran
    Ibukota : Teheran
    Jumlah penduduk muslim: 81.529.435
    Benua : Asia


    8. Turki
    Ibukota : Ankara
    Jumlah penduduk muslim: 80.683.525
    Benua : Eurasia alias Eropa - Asia


    9. Algeria
    Ibukota : Aljir
    Jumlah penduduk muslim: 40.559.749
    Benua : Afrika


    10. Sudan
    Ibukota : Khartum
    Jumlah penduduk muslim: 39.027.950
    Benua : Afrika

    BalasHapus